Temuan Ombudsman RI dari hasil inspeksi mendadak (sidak) ke Lapas Sukamiskin pada Kamis, 13 September kemarin masih menjadi sorotan publik. Lembaga yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publikk itu mendapati sel narapidana korupsi Setya Novanto yang terbilang mewah dibanding sel lainnya.
Banyak pihak yang akhirnya menuntu agar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly bersedia mundur dari jabatannya terkait permasalahan tersebut. Seperti Ketua Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra Habiburokhman yang menantang Presiden Joko Widodo untuk memecat menteri pilihannya itu.
Tak hanya pengurus partai, Lebaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan juga meminta Yasonna untuk mundur dari jabatannya sebagai Menteri Hukum dan Ham karena gagal dalam membenahi sistem yang ada di lembaga permasyarakatan itu.
“LBH Keadilan meminta Menteri Hukum dan HAM mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kegagalannya melakukan perbaikan pengelolaan Lapas,” kata Ketua Pengurus LBH Keadilan Abdul Hamim Jauzie, dalam keterangannya, Minggu, 16 September 2018.
Sebagai menteri yang saat ini mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif dari daerah pemilihan (dapil) Sumatera Utara I, Yasonna juga memiliki beberapa sikap yang nampak blunder dan tidak tegas dalam beberapa kasus yang menimpa menyenggol kementeriannya.
Kerumitan dalam pengambilan keputusan terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang ingin melanggar mantan napi korupsi mencalonkan diri jadi anggota legislatif itu juga menyeret nama Yasonna. Politikus PDI-P itu awalnya enggan menandatangani PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut, karena dirinya peraturan itu melanggar UU.
Di tengah pro kontra PKPU tersebut, akhirnya Yasonna bersedia menandatanganinya. Kendati demikian, Yasonna menilai aturan yang baru itu berpotensi melanggar UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang pemilu. Benar saja, putusan Mahkamah Agung akhirnya membolehkan eks koruptor nyaleg.
Padahal jika Yasonna benar-benar ingin terlepas dari isu korupsi ia bisa lebih tegas dalam pengambilan keputusan terkait kisruh PKPU itu. Apalagi beberapa sebelumnya, Yasonna sempat dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus e-KTP. Kasus pada 2017 yang cukup memikat perhatian banyak media itu membuat Yasonna harus memenuhi panggilan KPK beberapa kali sebagai saksi.
Perdebatan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) beberapa waktu lalu juga sempat dibahas cukup lama. Beberap pihak mengatakan UU MD3 tersebut menjadi tameng untuk DPR agar tak tersentuh kritikan. Presiden Jokowi, melalui Menkumham Yasonna sempat bilang tak akan meneken UU tersebut.
Namun, pada ujungnya UU MD3 diberi nomor oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Menteri Yasonna Laoly mengatakan undang-undang itu bernomor 2 tahun 2018 tentang MD3. Setelah memberikan nomor, pria kelahiran Sumatera Utara itu mempersilakan masyarakat yang kontra untuk menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi.
“Maka sekarang sudah mulai bisa menggugatnya, karena sudah ada nomornya dan sudah sah menjadi undang-undang,” kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 15 Maret 2018 lalu.
Saat masa kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu, pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla sempat menawarkan program pemuatan materi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada kurikulum pendidikan umum. Hal itu tertuang dalam visi misi Jokowi- JK yang dimuat dalam dokumen pendaftaran pasangan capres dan cawapres yang diunggah Komisi Pemilihan Umum ke situs web www.kpu.go.id. Pasangan itu juga berjanji menyelesaikan masalah HAM masa lalu dan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer.
Nyatanya menjelang Pilpres 2019, janji untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu belum juga terealisasi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan bahwa tidak mudah bagi pihaknya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi pada masa lalu. Di lain sisi, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemerintah terus memberikan perhatian yang kuat pada upaya penghormatan, perlindungan, pemenuhan, dan penegakan Hak Asasi Manusia.
“Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari,” kata Jokowi saat berpidato dalam sidang tahunan DPR-DPD di Jakarta, Kamis, 16 Agustus 2018.