Bayangkan sebuah ruang publik dengan suasana pedagang kaki lima di pinggir jalan Jakarta. Dengan asap berbagai jenis kendaraan dan parkir motor yang menghalangi trotoar, cobalah kalian duduk di salah satu warung kaki lima tersebut. Tiba-tiba, datang segerombolan ondel-ondel dengan lantunan musik (atau terkadang tidak ada musik sama sekali) yang menari-nari dengan satu atau beberapa anak remaja yang datang meminta sumbangan. Familiar?
Bisa dibilang peristiwa tersebut menjadi fenomena baru di Jakarta beberapa tahun belakangan. Ngamen dengan ondel-ondel ini alhasil menjadi sesuatu yang baru dan mengundang kontroversi. Mengapa para pengamen ini menggunakan ondel-ondel untuk mengamen? Apa motivasi mereka menggunakan ondel-ondel, yang notabene merupakan warisan luhur budaya Jakarta, sebagai alat mencari nafkah di jalanan? ASUMSI pun mengkaji dan berbincang langsung dengan para pengamen dan budayawan Betawi untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Sebelum memahami bagaimana ondel-ondel terkomodifikasi oleh para pengamen di jalanan Jakarta, penting untuk memahami latar belakang historis dan kultural ondel-ondel yang memiliki beberapa versi.Dikemukakan dalam penelitiannya, Ayu Nova Lissandhi menyatakan bahwa ondel-ondel dijadikan boneka untuk ritual masyarakat Betawi pada zaman animisme. Versi lain mengatakan bahwa ondel-ondel adalah boneka yang melambangkan kesejahteraan dan juga merupakan asimilasi budaya Betawi dan Tionghoa. Terlepas dari beragam versi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ondel-ondel memiliki daya tarik tersendiri dan menambah kekayaan budaya Betawi.
Sejarah ondel-ondel juga menceritakan perbedaan pandangan antara Betawi tengah dan Betawi pinggir. Berdasarkan Lissandhi, Betawi tengah dikenal dengan ajaran pendidikan Islam struktural yang kuat. Sedangkan Betawi pinggir lebih mengedepankan kesenian dan Islam kultural. Alhasil, Betawi tengah memandang ondel-ondel sebagai ‘tontonan belis (setan)’ dan sedikit acuh terhadap perkembangannya. Sementara itu, Betawi pinggir melihat ondel-ondel sebagai budaya yang perlu dilestarikan karena pernah menjadi bagian dari adat.
Derasnya jiwa kesenian dalam orang-orang Betawi Pinggir dan adanya keharusan memenuhi kebutuhan hidup, ngamen ke tengah kota pun menjadi hal lazim dilakukan. Budaya ngamen ini juga dapat dikaitkan dengan fenomena ngamen dengan ondel-ondel yang marak belakangan ini.
Lalu, apa sebenarnya komodifikasi budaya? Secara sederhana, komodifikasi budaya adalah sebuah usaha mentransformasi hal apapun dan menjadikannya sebagai sesuatu dengan nilai ekonomis. Dalam konteks budaya, komodifikasi pun dapat dikaitkan dengan usaha-usaha memanfaatkan peninggalan budaya guna mendapatkan keuntungan.
Pemanfaatan ini tidak harus dipandang sebagai hal yang negatif karena dapat meningkatkan perekonomian pelaku komodifikasi dan juga melestarikan budaya. Seperti yang dilakukan para pengamen ondel-ondel dari Betawi pinggir ini, mereka dapat melestarikan budaya lokal mereka sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomis bagi pelakunya.
Untuk mencari tahu bagaimana pengamen ondel-ondel beraktivitas dan mengumpulkan pundi-pundi uang, ASUMSI pun ngobrol langsung dengan salah satu pengamen ondel-ondel yang beroperasi di sekitar Rawamangun. Ketika ditanya, para pengamen ondel-ondel ini mengaku bahwa mereka telah mengamen lebih dari setahun. Menurut mereka, motivasi awal dari kegiatan mengamen adalah untuk melestarikan budaya Jakarta yang sudah jarang dipertunjukkan.
“Buat melestarikan budaya lah, Bang! Biar enggak mati,” ujar Riwansyah, yang juga sering dipanggil Bang Bebek oleh para pengamen ondel-ondel lain.
Namun, mereka juga tidak memungkiri adanya alasan lain di balik kegiatan ngamen ini. Adanya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi pertimbangan lainnya.
“Lumayanlah buat beli susu, buat bayar kontrakan lah,” ucap Riwansyah.
Ketika ditanyakan apakah pernah menerima tawaran untuk tampil dalam acara tertentu, mereka mengakui pernah menerima tawaran untuk acara hajatan.
“Nah, iya pernah. Kemarin acara sunatan dibayar 3 juta, buat hiburan,” ungkap Riwansyah.
Sementara pendapatan mereka sehari-hari ketika mengamen juga bisa dinilai untung-untungan. Kalau mereka lagi beruntung, mereka bisa mengumpulkan sekitar Rp 60.000,00/orang. Sedangkan kalau sedang kurang beruntung, mereka dapat memperoleh Rp 35.000,00/orang.
“Kalau pagi sampe siang, 60 mah enggak kemana, Bang. Kadang mah 35,” lanjut Riwansyah.
Sebagai penutup, Riwansyah juga menyatakan bahwa sebenarnya harapannya adalah budaya Betawi seperti ondel-ondel mendapatkan tempat di tengah masyarakat luas. Alih-alih diusir, ondel-ondel yang menurutnya adalah ciri khas Jakarta bisa terus dilestarikan. Setidaknya, para pengamen ondel-ondel ini berharap tidak ditangkap ketika sedang berkeliling.
“Maunya sih enggak ditangkep-tangkepin, Bang…Makanya bolehin Bang! Kalau bisa didukung lah Betawi biar enggak mati gitu ya,” ungkap Riwansyah, ketika ditanya harapan untuk ondel-ondel dan budaya Betawi secara keseluruhan.
Selain berbicara dengan para pengamen, ASUMSI juga berbicara langsung dengan Bapak Agus Suparman, budayawan yang sedang menjabat sebagai Penasehat Sanggar Kalima Pancer. Menurut Bapak Agus, banyak anggapan bahwa fenomena ngamen ini mengganggu kelancaran jalan.
“Kalau menurut saya, ondel-ondel di jalan itu, sementara ini banyak masukan ke kami-kami mengganggu kelancaran jalan,” ungkap Pak Agus, ketika dihubungi oleh tim ASUMSI.
Sehingga Pak Agus pun berharap bahwa pemerintah dapat mengatur keberadaan ondel-ondel ini, bukan hanya mengusir. Terlebih, ondel-ondel ini juga merupakan budaya Betawi yang harus tetap terjaga dan sakral.
“Cuma harusnya ada pemimpin di atas itu mengatur tentang para sanggar ondel-ondel agar tetap menjaga marwah Betawinya,” lanjut Pak Agus.
Pak Agus pun menyatakan pentingnya peran pemerintah mengatur pengamen ondel-ondel tersebut dengan memberikan informasi untuk mereka terkait acara festival yang sedang membutuhkan pagelaran ondel-ondel. Ia pun berharap supaya diberikan suatu wadah supaya para pengamen ondel-ondel dapat berkumpul jika memang mereka harus berkeliling, setidaknya berada di tempat keramaian yang terpusat, seperti di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
“Sebenernya, yang begitu itu harus diarahkan. Misalnya, kayak pemimpin kita di atas memberikan arahan untuk mengisi acara festival, di hotel, gedung kesenian. Dia sekedar ngider lah di Taman Mini, di Ancol, di Ragunan. Mungkin itu tempat orang berkumpul dan harus ada kerja samanya dengan Pemerintah.. Mungkin agar bisa lebih terarah lagi,” tutup Pak Agus.