Perkembangan teknologi berimplikasi kepada keluwesan dan kemasifan gerak politik. Jarak, ruang, dan waktu tidak lagi menjadi persoalan karena teknologi telah membuat semua serba dinamis dan terkoneksi. Arus informasi kemudian bergerak begitu cepat, bahkan dalam hitungan detik. Sekat-sekat pembatas arus informasi, seperti jarak dan ruang, menghilang.
Kemunculan media sosial perlahan menjadi basis kekuatan politik yang secara efektif mampu dimanfaatkan oleh masyarakat sipil. Awal kemunculannya digunakan sebagai sarana untuk menjalin dan menguatkan silaturrahmi yang sebelumnya terkendala jarak. Namun, lama-kelamaan, didorong juga dengan realitas politik, media sosial kemudian menjelma sebagai tempat pengadilan sosial bagi elit politik dan ‘CCTV’ masyarakat sipil untuk melihat tingkah pola elit politik dan elit pemerintahan.
Fenomena ini menjadi pertanda mulai kritis dan cerdasnya masyarakat Indonesia dalam menggunakan media sosial. Bila hakim di pengadilan memberi hukuman sesuai aturan perundang-undangan, maka netizen melalui media sosial (medsos) justru memberi hukuman secara sosial. Perkembangan fungsi medsos itu tidak terlepas dari tingkah polah pejabat pemerintah yang aneh-aneh, mulai dari perbuatan hingga keputusannya. Dengan transformasi medsos yang semakin kritis ini, seakan-akan lensa kamera seperti 24 jam mengarah kepada pemerintah.
Menjadi “hakim sosial” merupakan bukti perkembangan positif penggunaan medsos. Aspirasi dan penilaian masyarakat dapat tersalur dengan cepat melalui medsos. Bahkan, tak jarang melalui dunia maya, masyarakat membuat semacam gerakan sosial yang jejaringnya luas dengan bantuan penyebaran lalu lintas informasi yang cepat. Mata netizen dalam media sosial ini begitu banyak, sehingga senantiasa 24 jam mengawal pemerintah. Perkembangan yang menarik karena keberadaan medsos menjadi semacam kekuatan dengan daya tawar politik yang tinggi.
Perbuatan-perbuatan pejabat negara yang dinilai nyeleneh, tak luput dari sindiran oleh netizen. Beragam meme –kritis dan menyindir– menjadi konsekuensi jika ada pejabat negara yang berbuat nyeleneh. Jika seorang elit politik dan pemerintahan telah menjadi bahan pembicaraan lewat meme, artinya penghakiman sosial telah diberikan oleh netizen melalui medsos. Meme yang dibuat netizen tidak berada pada ranah hukum pidana, tetapi beban moral karena mengarah kepada sisi malu si pelaku yang akan menjadi bahan pembicaraan luas oleh peselancar dunia maya.
Setya Novanto (mantan Ketua DPR), menjadi sosok yang sering masuk kedalam meme buatan netizen. Dalam setiap kasus yang menjeratnya, politisi yang satu ini begitu licin sehingga sering lolos. Kata “licin” yang dialamatkan tersebut, pada sisi lain dapat diartikan sebagai “kuat”. Kita tentu masih mengingat kasus Papa Minta Saham dulu. Kasus ini bermula ketika Menteri ESDM, Sudirman Said, melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR terkait pencatutan nama Presiden RI Joko Widodo dalam perbincangan tentang saham Freeport antara Presiden PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, Setya Novanto, dan pengusaha Riza Chalid. Saat kasus itu mencuat, Setnov sempat dicopot dari jabatannya sebagai Ketua DPR dan digantikan oleh Ade Komarudin, meskipun setelah itu Setnov kembali diangkat menjadi Ketua DPR.
Kemunculan meme terkait kasus ini dapat kita tangkap sebagai kegerahan masyarakat, khususnya diperlihatkan oleh para netizen, terhadap penanganan kasus yang melibatkan Setnov tersebut. Hal ini terbukti dengan meme-meme jenaka yang muncul. Bukan hanya mengarah kepada Setnov, tetapi juga kepada MKD. Dalam hal Setnov, meme yang muncul berupa “Setelah jaringan mama minta pulsa ditangkap, sekarang giliran jaringan papa minta saham yang harus ditangkap. Lalu juga ada, “Jangan tanyakan apa yang sudah negara berikan kepadamu, tapi tanyakan berapa persen saham yang bisa kau ambil dari negara.”
Meme yang mengarah kepada MKD tidak lepas dari kegeraman dan sorotan netizen terhadap sidang MKD. MKD ketika itu justru memberi pertanyaan-pertanyaan yang dinilai netizen tidak relevan dengan bahasan di sidang MKD perihal kasus Papa Minta Saham. Akhirnya, tidak perlu menunggu waktu lama, meme-meme lucu nan kritis tentang “Yang Mulia MKD” kemudian memenuhi jagat dunia maya. Pertanyaan-pertanyaan di MKD yang dinilai tidak relevan pun kemudian diaplikasikan dengan pertanyaan nyeleneh lain, misalnya, ada meme seperti: “Saudara pengadu, kenapa manusia bisa kesemutan sementara semut tidak bisa kemanusiaan?” #PertanyaanMKD. Kemudian, “Saudara pengadu, coba jelaskan kenapa dari hari Senin ke Minggu lama, tapi dari hari Minggu ke Senin cuma 1 hari? #PertanyaanMKD”. Segala ungkapan, atau kata-kata ngawur lainnya, oleh netizen kemudian diberi tanda #PertanyaanMKD.
Tidak berhenti sampai kasus Papa Minta Saham, beberapa waktu kemudian, tepatnya setelah keluarnya putusan Hakim Cepi Iskandar pada sidang praperadilan yang memutuskan Setnov tidak bersalah terkait status tersangkan kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) dan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak melanjutkan proses hukum atasnya, muncul tagar #ThePowerOfSetnov yang merupakan sindiran jenaka netizen tentang sudah tidak masuk akal lagi kuatnya Setnov di hadapan hukum.
Namun, jika kita lihat meme-meme yang kemudian muncul, tidak ada yang berkaitan dengan putusan tersebut, akan tetapi semuanya menyindir bagaimana kekuatan Setnov yang tidak masuk akal tadi. Misalnya, “Setnov bangun kesiangan, mataharinya langsung minta maaf”, “Setnov ikut uji nyali, setannya yang kesurupan”, lalu, “Setnov nyasar, Google Maps yang minta maaf”, dan “Di bioskop, Setnov mau ke toilet, filmnya di pause”. Semua meme-meme tersebut diikuti dengan tagar #ThePowerOfSetnov.
Dan terakhir, meme-meme terkait Setnov muncul pascakecelakaan mobil Fortuner yang ia tumpangi menabrak tiang listrik yang mengakibatkan “benjolan sebesar bakpao” pada kepala Setnov. Kecelakaan ini mengejutkan setelah seharian publik hanya mengetahui bahwa Setnov akan dijemput paksa oleh KPK terkait kasus korupsi yang membelitnya. Meme-meme yang kemudian muncul bukan malah menyoroti setnov, tetapi tiang listrik yang ditabrak, seperti ucapan semoga cepat sembuh yang justru dialamatkan kepada tiang listrik tersebut. Istilah “benjolan sebesar bakpao” tersebut kemudian juga menjadi bahan canda oleh netizen.
Selain kasus Setnov, meme-meme sebagai hukuman sosial lainnya juga terdapat dalam konteks lingkungan. Kita tentu masih ingat kasus seorang hakim dengan inisial PN di Pengadilan Negeri Palembang yang menolak seluruh gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau. Hal itu terkait kebakaran hutan yang menimbulkan korban asap di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, pada 2014 lalu. Meme yang muncul bukan karena putusan, tetapi justru muncul akibat pernyataan hakim PN yang dinilai netizen “nyeleneh”. Hakim PN mengatakan, “Membakar hutan itu tidak merusak lingkungan hidup karena masih bisa ditanami lagi”. Meme tentang pernyataan PN pun juga ramai di jagat dunia maya. Pernyataan hakim PN itu, oleh netizen diramaikan dengan tagar #LogikaPakHakim. Dan lagi-lagi medsos menunjukkan tajinya sebagai “Hakim Sosial”.
Meme-meme ngawur cepat bertebaran di jagat maya lengkap dengan berbagai caption menggelitik. Misalnya, “Membakar kantor Pengadilan tidak perbuatan jahat, karena bisa dibangun kembali. #LogikaPakHakim”. Kemudian juga ada, “Nonjok hakim itu bukan perbuatan kriminal, karena bisa diobati lagi. #LogikaPakHakim”. Dan logika-logika nyeleneh lainnya pun kemudian disandingkan sebagai sindiran atas pernyataan hakim Parlas tersebut.
Elit politik dan pemerintahan seharusnya bisa melihat bagaimana meme-meme tersebut merupakan ungkapan kegeraman netizen dan masyarakat luas terhadap tingkah polah mereka yang terkadang hanya mementingkan pribadi atau golongan tertentu. Meme-meme inilah yang kemudian menjadi penghukuman sosial bagi para pejabat bobrok tersebut. Jika secara hukum pejabat korup dan bobrok itu bisa invisible (tak terlihat), namun secara penghakiman sosial, mereka senantiasa diawasi oleh semua mata netizen dan akan selalu tampak.
Di sisi lain, netizen pun harus berhati-hati dalam mengekspresikan meme tersebut. Tentu ada batasannya. Namun, belakangan ini, terutama dalam situasi tahun politik, patut disesalkan juga bahwa meme-meme yang muncul bukan lagi dalam konteks “hakim sosial” seperti yang kita bahas dari tadi, tetapi justru berisi konten-konten SARA yang memecah belah dan syarat kepentingan politik praktis. Hal seperti ini patut kita akhiri karena sejatinya meme-meme tersebut merupakan ungkapan kritis yang dibalut cara jenaka dan ditujukan kepada pemerintah atau elit politik tertentu.
Yang menjadi perhatian dan digarisbawahi oleh para pejabat negara, bukanlah isi atau kata-kata dalam meme tersebut. Tapi bagaimana perilaku dan tingkah polah mereka ternyata senantiasa diperhatikan dan disorot oleh masyarakat luas. Apa yang mereka lakukan, berkat medsos, akan cepat sampai kepada masyarakat.
Ikhsan Yosarie adalah seorang peneliti di SETARA, Institut untuk Demokrasi dan Perdamaian.