Charles W. Elliot, mantan Presiden Harvard (1869-1909), dalam New York Times tanggal 5 Agustus 1917 sempat mengatakan bahwa kita yang lahir di negara demokrasi merupakan “tentara” bagi negaranya sendiri. Menurut Charles, kita memiliki hak dan tanggung jawab memilih para pelayan kita di pemerintahan dan menentukan isi undang- undang. Semua demi terciptanya kedamaian dan kesejahteraan negara. Hak dan tanggung jawab tersebut, Charles melanjutkan, membuat kita memiliki kesempatan yang lebih baik dari negara- negara aristokrat di mana haknya bergantung pada garis turun-temurun.
Sampai hari ini, kita sudah berpraktik sebaik-baiknya sebagai bagian dari salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Salah satu buktinya adalah kita bisa memilih calon pemimpin kita secara bebas; tidak ada paksaan untuk memilih calon tertentu dan semua WNI di atas 17 tahun dapat melakukannya. Tapi kebebasan dalam negara demokrasi, seperti Indonesia, berbeda dengan kebebasan yang dianut paham liberalisme. Demokrasi tetap mengharuskan adanya batasan tertentu untuk menghindari chaos.
Menuju pesta demokrasi di 2019 nanti, kebebasan kita dalam memilih pemimpin negara, dalam hal ini presiden dan wakilnya, sedang dipertanyakan di Mahkamah Konstitusi (MK). Juni lalu, Denny Siregar mengadvokasi 12 pemohon dengan berbagai latar profesi untuk melakukan judicial review terhadap pasal 222 UU No. 7 tahun 2017 mengenai ambang batas capres dan cawapres atau presidential threshold. Keduabelas orang tersebut di antaranya adalah Busyro Muqoddas (mantan Ketua KPK dan Ketua Komisi Yudisial), Hadar Nafis Gumay (mantan komisioner KPU), Bambang Widjajanto (mantan pimpinan KPK), M. Chatib Basri (mantan Menteri Keuangan), Faisal Basri (akademisi) hingga Rocky Gerung (akademisi).
Pasal 222 tersebut mengharuskan pasangan capres dan cawapres diajukan oleh satu atau lebih parpol yang memiliki perolehan kursi minimal 20% di DPR atau 25% suara sah secara nasional berdasarkan pemilu sebelumnya. Pemilu sebelumnya dijadikan tolak ukur karena Pileg dan Pilpres pada Pemilu 2019 nanti diadakan bersamaan. Berbeda dengan Pemilu 2014, presidential threshold sebenarnya sudah ada namun Pileg dan Pilpres diadakan dalam waktu berbeda sehingga hasil pileg tersebut lah yang menjadi ambang batas pencalonan.
Selain itu, para pemohon juga menilai bahwa pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945 ayat 2 pasal 6(A) yang tidak menyebutkan aturan persentase tersebut. Adanya syarat tersebut pun memungkinkan adanya calon tunggal. Yang paling memberatkan adalah tolak ukur yang berasal dari hasil pemilu sebelumnya. Kalau berdasarkan perolehan 2014, pasti parpol-parpol yang ada harus berkoalisi karena tidak ada dari mereka yang memenuhi syarat tersebut. Bisa jadi mereka berkumpul pada poros yang sama. dan, alhasil, kita akan melawan kotak kosong nantinya.
Berkaca pada Pilkada Makassar kemarin, pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu) harus melawan kotak kosong dan kalah. Tapi ternyata terjadi beberapa kejanggalan pada perhitungannya di mana media dihalang-halangi dalam meliput dan ada dugaan kecurangan disebabkan hasil yang berbeda dari data real count pada situs KPU. Bayangin deh kalau ini kejadian untuk Pilpres yang akan datang!
Lebih lagi, adanya pilihan kotak kosong menandakan kegagalan parpol menjalankan tugasnya. Tugas parpol dalam kaderisasi calon pemimpin negeri dan membentuk pemimpin politik, seperti tertuang dalam UU No. 2 tahun 2011, tidak terlaksana.
Di sisi lain, kalau kita membahas UUD 1945 pasal 6(A) juga terdapat ayat 3 yang mencantumkan aturan 50+1 perolehan suara untuk memenangkan pilpres. Apabila aturan presidential threshold dihilangkan, akan sulit mencapai kuorum tersebut. Berkaca pada Pilpres 2009 lalu, pilpres diadakan dua putaran karena ketiga pasangan Capres dan Cawapres tidak ada yang mencapai perolehan suara sebanyak itu.
Di antara Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto, akhirnya Megawati-Prabowo dan SBY-Boediono yang maju pada putaran selanjutnya. Diadakannya dua putaran seperti itu membuat negara harus mengeluarkan kocek lebih besar. Saya rasa kita semua tahu bahwa ongkos untuk pesta demokrasi di negeri ini tidaklah kecil. Kalau presidential threshold dihilangkan dan aturan mengajukan pasangan Capres dan Cawapres dilonggarkan, berapa calon yang harus kita pilih? Berapa banyak putaran pemilu yang harus diadakan supaya ada pasangan yang mencapai kuorum? Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan negara?
Aturan presidential threshold juga sebenarnya masih memungkinkan adanya lebih dari dua pasangan untuk kita pilih. Memang berapa calon yang kita butuhkan untuk dipilih? Apakah kuantitas pasangan Capres-Cawapres lebih penting dari kualitas program dan kemampuan memimpin mereka ke depannya?
Menurut saya, keberadaan presidential threshold memudahkan arah politik Indonesia dari awal. Misal dari hasil Pemilu 2014, tidak ada parpol yang memenuhi pasal 222 tersebut sehingga beberapa parpol harus berkoalisi. Koalisi parta di awal memperjelas dukungan partai pada pemerintahan yang akan datang. Kerja pemerintahan pun dapat (seharusnya) menjadi lebih efektif.
Sudah pasti terjadi transaksi-transaksi politik di baliknya. Seperti sekarang ini, beberapa kursi kementrian diisi tokoh-tokoh parpol. Di situlah tugas kita untuk terus mengawasi kinerja mereka dan aktif mengkritik, bukannya mengidolakan tokoh politik tertentu sampai lupa mengawasi kerja mereka.
Presidential threshold yang dinilai menyulitkan parpol baru mencalonkan pasangan Capres-Cawapres mereka mungkin salah. Bagi saya, memimpin dan menata negara besar seperti Indonesia bukanlah suatu hal mudah. Pilpres tidak sama seperti pemilihan Ketua Kelas yang bisa saja mengajukan diri walau enggak punya pengalaman memimpin. Mungkin memang ada baiknya bila parpol baru tidak langsung mencalonkan kandidat mereka.
Entah bagaimana akhir dari permohonan judicial review ini. Gagal atau berhasil, pendaftaran pasangan Capres-Cawapres sudah di depan mata. Mungkin dalam pemilu mendatang kita akan “terpaksa” mengaplikasikan pasal 222. Kita, sebagai “tentara demokrasi Indonesia” seperti yang Charles utarakan, juga harus menggunakan hak pilih kita supaya dapat memperoleh pemimpin terbaik.