Ranah ide dan gagasan sudah seharusnya menjadi prioritas utama dalam politik, dan menjadi indikator kepentingan dalam setiap pencalonan kepala daerah, wakil rakyat, maupun Presiden. Masyarakat dan negara membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat yang memiliki inovasi, gagasan, dan kemajuan dalam berpikir. Level politik kita harus naik kelas. Politik kita tidak lagi berada hanya dalam ranah citra, popularitas, atau bahkan ranah politik uang. Membawa politik berbasis gagasan ke dalam arena politik, artinya kita menyingkirkan hal-hal yang membuat gelaran demokrasi tersebut tidak elok dan tidak bermartabat.
Popularitas bukanlah hal yang substansial, karena menjadi kepala daerah bukan untuk menjadi selebritis. Rekrutmen partai politik dalam menjaring calon menjadi penting untuk kita awasi bersama. Apakah partai hanya mementingkan popularitas dari calon yang melamar, “isi tasnya”, basis massa, atau melihat track record-nya?
Kaum millennial akan melihat apa, siapa, dan bagaimana setiap calon berkompetisi sebelum memilih. Toh, popularitas tidak menjawab kebutuhan rakyat dan daerah. Bagaimana caranya rakyat akan kaya, hidup sejahtera, dan berkecukupan jika keutamaan calon pemimpin dan wakil rakyat yang maju adalah popularitas? Lalu, untuk apa masa kampanye jika popularitas menjadi daya tarik partai politik dalam menjaring bakal calon kepala daerah?
Pemimpin dan wakil rakyat harus menghadirkan solusi atas permasalahan dan memberi inovasi untuk kemajuan. Untuk itulah butuh kepala daerah yang bergagasan, bukan hanya mengumbar senyum untuk rakyat. Ranah ide dan gagasan pun nanti juga akan bisa kita lihat pada baliho-baliho para calon. Apakah isinya seperti biasa, terdapat foto dan slogan normatif yang tidak jelas indikator dan pembuktiannya, atau ada sesuatu yang baru dan menarik. Sehingga, penyebaran baliho-baliho bakal calon pada masa prapendaftaran atau pascapendaftaran nanti, akan melahirkan diskursus-diskursus yang membangun di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa popularitas memang dibutuhkan oleh setiap calon, karena menjadi modal awal dan pertanda bahwa masyarakat sudah mengenal si calon. Namun, akan menjadi riskan jika popularitas itu yang kemudian menjadi jualan si calon. Kondisi seperti ini secara gamblang telah menggeser substansi dari politik itu sendiri, khususnya untuk konteks pemilihan umum. Pergeseran itu dari ranah esensi menuju eksistensi dan dari gagasan menuju ketokohan. Citra menjadi lebih bernilai ketimbang gagasan dan melahirkan politik ketokohan.
Jika citra yang menjadi andalan, nalar kritis menjadi teredam. Baliho-baliho nantinya hanya menghadirkan foto-foto dan slogan yang mudah diingat. Slogan pun juga bersifat normatif, seperti “bersih, jujur, adil dan sebagainya”. Diskursus dalam hal ini tidak akan berkembang, malah hanya akan menimbulkan tanda tanya yang mendasar. Dan politik tidak akan naik kelas, jika fenomena ini terus berlanjut.
Slogan, visi, dan misi calon seharusnya mengundang keberpihakan secara rasional atau ideologis dari setiap pemilik suara. Artinya, perlu ada sebuah narasi singkat yang konkret dan representatif yang menjadi penghubung antara ketiga hal tadi dengan pembaca atau masyarakat. Hal seperti ini sangat jarang atau bahkan belum terlihat pada baliho-baliho mereka yang akan bersaing di pemilu. Narasi singkat itulah yang akan memunculkan diskursus di kalangan masyarakat. Jika isi baliho itu hanya berupa foto dan 3 kata yang normatif, seperti “bersih, jujur, dan adil”, apa yang akan didiskursuskan?
Jika kita hubungkan antara ongkos politik yang mahal dengan slogan “bersih, jujur, dan adil”, yang menjadi pertanyaan adalah di mana letak keseiringan atau titik temu kedua hal ini? jika masyarakat dibiasakan untuk apatis terhadap politik dan dimatikan nalar kritisnya, siapa yang akan mengawasi atau mengingatkan pemerintah jika pertemuan dua hal tadi jatuh kepada hal negatif? Dengan demikian, politik kita tidak akan naik kelas.
Mendidik dan Terdidik
Pendekatan-pendekatan kepada masyarakat jangan lagi hanya bersifat simbolis, misalnya mengkampanyekan paslon dengan merujuk perilakunya, “Pilih si A karena ia bagus dan jujur”, atau dengan merujuk kondisi foto paslon di baliho-baliho paslon yang akan dipasang di setiap sudut kota, dengan kata-kata simbolis coblos pecinya atau coblos jempolnya.
Fenomena ini sering kita jumpai. Setiap calon kemudian berlomba membangun image atau citra dirinya secara simbolis yang mudah untuk diingat. Ini seperti mengajarkan anak kecil. Cara-cara seperti ini secara sadar atau tidak, jutru tidak memajukan dan tidak mendidik masyarakat dalam politik. Cara yang mendikte seperti ini tidak membangun nalar kritis dan hal-hal konstruktif lainnya.
Akan menjadi luar biasa ketika orang-orang memilih untuk mendukung si calon karena mendengar kegelisahannya terhadap daerahnya, kemudian mendengar solusi yang kongkrit dari si calon. Misalnya kegelisahan tentang ketimpangan pembangunan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kegelisahan ini dijawab dengan gagasan dan ditunjang dengan narasi yang mudah dicerna oleh masyarakat, sehingga melahirkan kesatuan visi bersama dalam pembangunan. Disanalah letak poin visi-misinya.
Gagasan harus menjadi modal utama calon untuk maju dalam pemilu. Dengan modal gagasan, maka persoalan tua dan muda tidak menjadi persoalan. Soal pengalaman nama-nama yang muncul dalam kontestasi pemilu, tentu tidak perlu diragukan (dengan asumsi proses rekrutmen partai berjalan maksimal). Calon yang memiliki gagasan menandakan ia memiliki prinsip dan road map yang jelas ketika memimpin. Dengan kata lain, pembangunan daerah yang dipimpinnya sudah ada di pikirannya.
Mengedepankan citra, artinya kita akan tetap mempertahankan level politik kita yang rendah. Di kala daerah atau negara lain tengah berlomba dengan gagasan yang maju, kita masih berkutat pada tahap si A tingkat elektabilitasnya rendah atau tidak populer. Ini juga menjadi bahan introspeksi bagi partai politik yang mengusung atau tengah menjaring calon yang akan diusung, bahwa nilailah gagasannya, bukan citranya. Jika citranya masih kurang populer, itulah momennya di masa kampanye, karena hal tersebut juga menjadi momen untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat.