Isu Terkini

Laporan Freedom House: Indonesia Negara yang Belum Sepenuhnya Merdeka

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Freedom House

Indonesia telah mencatatkan sejarah panjang menjadi negara demokrasi sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, serta lahirnya era Reformasi usai jatuhnya rezim otoriter pada tahun 1998. Negeri ini pun terus berupaya membangun pluralisme yang signifikan dalam politik dan media serta mengalami beberapa transfer kekuasaan secara damai antar partai.

Meski begitu, Indonesia masih terus berjuang melawan berbagai tantangan. Mulai dari korupsi sistemik, diskriminasi, kekerasan terhadap kelompok minoritas, ketegangan separatis di wilayah Papua, hingga pasal ‘karet’ pencemaran nama baik dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan penistaan agama yang dipolitisasi.

Kesempatan Berpolitik Belum Adil

Bebagai persoalan yang dihadapi Indonesia saat ini tercatat dalam laporan Freedom House. Hasilnya menunjukkan kalau saat ini Indonesia merupakan negara yang tidak begitu merdeka di masa modern, terutama bagi warga negaranya. 

Laporan Kebebasan Dunia Freedom House 2020 mengungkapkan sejumlah indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kebebasan di Indonesia, mulai dari proses pemilihan yang berlangsung serta partisipasi warga negaranya. 

Dari segi keadilan pada pemilihan kepala pemerintahan saat ini atau kepala otoritas nasional lainnya dilakukan melalui proses pemilu yang bebas dan adil, Indonesia memperoleh nilai 4/4. Nilai yang sama juga diperoleh dari aspek pemilihan perwakilan legislatif nasional saat ini.

Skor 4/4 juga diperoleh Indonesia dari aspek masyarakat untuk memperoleh hak yang sama berorganisasi di dalam partai politik sesuai dengan pilihan mereka. Meski kehadiran Partai Komunis Indonesia (PKI) tetap dilarang eksistensinya di tanah air. 

Kesempatan partai oposisi pemerintah untuk meraih dukungan masyarakat juga meraih nilai 4/4 yang artinya, tidak ada monopoli partai dalam sistem politik di Indonesia. Sayangnya, kesempatan berpolitik yang adil di Indonesia belum secara penuh merangkul berbagai segmen yang variatif mulai dari etnis yang beragam, agama, gender, hingga kelompok LGBT dengan peraihan skor 3/4.

“Perempuan memang sudah menikmati hak politik penuh, dan partai politik juga patuh pada kuota gender 30 persen keterlibatan perempuan di dalamnya. Namun perempuan seauh ini masih kurang terwakili dalam politik elektoral, meski Puan Maharani, putri mantan presiden Megawati dan cucu mantan presiden Sukarno terpilih sebagai Ketua DPR perempuan pertama,” tulis laporan tersebut.

Etnis Tionghoa juga masih kurang terwakili dalam politik, dalam laporan yang sama menyebutkan meski saat ini sudah ada dua partai dengan pemimpin yang berasal dari etnis tersebut, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Partai Indonesia Bersatu (Perindo). Kedua partai ini belum berhasil menembus ambang batas 4 persen untuk mendapatkan kursi di parlemen. 

“Kelompok LGBT juga kurang terwakili dalam politik elektoral dan tak disorot dalam keterlibatan pemungutan suara. Beberapa pemerintah daerah juga mendiskriminasi minoritas agama dengan membatasi akses ke kartu identitas, akte kelahiran, surat nikah, dan kebutuhan birokrasi lainnya, sehingga hak politik dan peluang mereka berpartisipasi di dalam pemilu pun terbatas,” lanjut laporan tersebut.

Kekerasan Agama dan Rendahnya Kebebasan Internet

Kebebasan berekspresi di Indonesia menurut laporan Freedom House juga masih rendah. Nilai kebebasan berekspresi yang diperoleh hanya sebesar 61 dari skala 100. 

Hal ini dilihat berdasarkan masih terbatasnya kebebasan pers dan media dalam menyampaikan pendapat, kebebasan beragama bagi warga negara sesuai dengan kepercayaan yang diyakininya, belum terbebasnya lingkungan akademik dari doktrin politik, serta kebebasan masyarakat menyuarakan pandangan pribadinya terhadap politik dan masalah sensitif, tanpa merasa takut bakal kena hukuman.

Freedom House bahkan menyoroti kebebasan beragama di Indonesia masih jauh dari harapan dengan perolehan skor 1/4. Aksi kekerasan dan perundungan terhadap kelommpok penganut kepercayan tertantu masih banyak terjadi di negeri ini.

“Kekerasan dan intimidasi terhadap komunitas Ahmadi dan Syiah terus berlanjut, dan pemerintah pusat terus mentolerir penganiayaan terhadap kelompok-kelompok ini,” tulis laporan Freedom House. 

Nilai kebebasan berinternet di Indonesia juga masih amat rendah dengan perolehan hanya sebesar 49 dari 100. Tolak ukur rendahnya nilai ini berdasarkan masih banyaknya penggunaan pasal pencemaran nama baik yang ada di Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang ITE yang tidak semestinya. 

Skor 1/4 diperoleh Indonesia dari segi penanganan korupsi, proses peradilan, dan keadilan hukum. Hal ini terlihat masih belum konsistennya penindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kasus korupsi dan sikap tebang pilih dalam menindak perkara yang dibawa ke pengadilan. 

Pentingnya Menghormati Kebebasan

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara pun angkat bicara soal laporan tahun 2020 yang dirilis Freedom House menggolongkan Indonesia sebagai negara yang tidak merdeka sepenuhnya.

Ia mengatakan, sebagai negara demokrasi dengan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, serta kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara sebagai bentuk pengawasan maka sudah semestinya hal ini dilindungi.

“Kritik dan saran harus jadi dasar pengelenggaraan pemerintahan harus dihormati dan dilindungi. Kebebasan berpendapat adalah kebebasan pribadi yang berkaitan dengan pikiran yang dimilikinya. Selain menghormati dan melindungi, negara juga dituntut untuk menahan diri dari campur tangan terhadap kebebasan berpendapat,” cuitmnya melalui akun Twitter @Bekahapsara.

Kebebasan berekspresi, lanjut dia merupakan bagian dari kebebasan menyatakan pendapat yang berhubungan dengan publik dan berkaitan dengan kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi serta pemikiran apapun.

“Ruang lingkup kebebasan berekspresi meliputi wacana politik, komentar sendiri dan tentang urusan publik, diskusi, jurnalisme, ekspresi budaya dan seni, pengajaran, wacana agama dan iklan komersial,” tuturnya.

Mural Bagian dari Kebebasan Ekspresi

Pada kesempatan ini, Beka Ulung Hapsara juga angkat bicara soal mural yang mengandung kritik terhadap pemerintah yang viral belakangan ini. Ia mengatakan mural masuk sebagai bagian dari ekspresi artistik yang posisinya juga harus dihargai.

“Kebebasan berimajinasi, menciptakan dan mendistribusikan ekspresi budaya harus bebas dari sensor pemerintah atau negara, campur tangan politik atau tekanan dari aktor-aktor non negara,” ucapnya.

Kebebasan artistik, lanjut dia juga mengenal pembatasan. Salah satunya adalah moral publik yang harus berdasarkan prinsip-prinsip yang tidak hanya berasal dari satu tradisi atau nilai saja.

“Selain melindungi moral publik, kebebasan berekspresi hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain,” terangnya.

Maka, dirinya menekankan pembatasan kebebasan berpendapat berekspresi hanya bisa dilakukan dalam dan untuk kondisi seperti diatur hukum, diperlukan di dalam masyarakat demokratis, melindungi ketertiban umum, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, dan melindungi hak dan kebebasan orang lain.

“Pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi juga harus melewati beberapa tahapan pengujian, yaitu legalitas, proporsionalitas, dan nesesitas,” pungkasnya.

Share: Laporan Freedom House: Indonesia Negara yang Belum Sepenuhnya Merdeka