General

Catatan 20 Tahun Reformasi Usman Hamid: Indonesia Baru Lewati 2/3 Perjalanan

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Tak terasa Indonesia sudah melewati 20 Tahun Reformasi sejak lengsernya Presiden RI ke-2 Soeharto pada Mei 1998 silam. Anugerah yang paling dirasakan masyarakat Indonesia sampai hari ini adalah mengalir derasnya keran kebebasan.

Tentu kebebasan yang kita dapat hari ini tak serta merta membuat agenda reformasi selesai begitu saja. Masih ada jalan panjang dan banyak hal-hal yang mesti diperbaiki baik itu dari sisi politik, hukum, sosial, dan kemanusiaan.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan bahwa perjalanan reformasi Indonesia belum tuntas. Ada jalan panjang yang harus dilalui untuk terus menjaga bangsa dan negara ini dalam koridor demokrasi yang baik.

Saat berbincang bersama Asumsi, Usman mengatakan bahwa masyarakat Indonesia harus bekerja lebih keras lagi untuk mewujudkan cita-cita reformasi.

Baca Juga: Refleksi 20 Tahun Reformasi Kita

Indonesia Baru Melewati 2/3 Perjalanan

Sebenarnya sudah seberapa jauh Indonesia maju dan bergerak pasca 20 tahun setelah reformasi 1998?

“Sejauh 2/3 perjalanan. Jadi kalau kita lihat, reformasi kita dimulai untuk memperbaiki kerusakan sistem sosial politik yang diakibatkan oleh pemerintahan otoriter selama 32 tahun,” kata Usman.

Untuk itu, menurut Usman masih ada 1/3 perjalanan lagi yang harus ditempuh untuk menyempurnakan hal-hal yang berusaha dicapai di era sekarang ini seperti kebebasan, penegakan hukum, jaminan terhadap hak asasi manusia.

“Kita baru 20 tahun memperbaikinya, jadi barangkali kita perlu 1/3 lagi perjalanan dan harus lebih kerja keras lagi dalam bekerja dan lebih sabar lagi untuk memperbaiki apa saja yang belum kita capai,” ujarnya

“Tentu saja kita harus bersyukur atas segala yang sudah dicapai dan masih banyak lagi pekerjaan rumah yang menunggu,” katanya.

Apa Saja Pencapaian dalam 2/3 Perjalanan Reformasi Indonesia?

Usman mengungkapkan bahwa ada sejumlah hal yang boleh dibilang sebagai pencapaian dalam perjalanan 20 Tahun Reformasi. Beberapa di antaranya adalah kebebasan, tak adanya represi, hingga masyarakat bisa kritis

Baca Juga: Napak Tilas Reformasi 1998: Dari Trisakti Sampai Kuburan Massal Tanpa Nama di Pondok Ranggon

Soal kebebasan, Usman mengatakan bahwa di awal reformas, pembangunan kepercayaan publik itu dilakukan dengan membebaskan para tahanan-tahanan nurani. Orang-orang yang dianggap subversif, orang-orang yang dianggap menghina presiden atau melawan negara dibebaskan.

Dari mulai tahanan-tahanan dari Aceh, Timor, Papua, bahkan aktivis-aktivis mahasiswa seperti Budiman Sudjatmiko, aktivis buruh seperti Muchtar Pakpahan, semuanya dibebaskan.

Nah hari ini kan tidak ada lagi represi terhadap gerakan mahasiswa seperti yang dulu pernah terjadi di Trisakti, Atmajaya, UI, ITB, dan UGM. Tidak ada lagi juga mahasiswa yang diculik seperti 1998, pers juga enggak dikekang seperti di masa-masa itu, enggak ada pembredelan. Itu yang harus kita syukuri,” kata Usman.

Usman mengatakan bahwa dulu di dalam masyarakat yang bisu, yang enggak berani bersuara, dan enggak berani mengkritik, menyatakan pendapat itu adalah sebuah kemewahan.

“Namun sekarang itu dari pagi sampai kita tidur, orang bukan hanya mengkritik pemerintah, tapi sesama teman juga kadang-kadang mengkritik, sesuatu yang hanya mungkin dibayangkan di zaman dulu,” ujarnya.

Baca Juga: Panduan Reformasi Buat Kamu yang Belum Lahir Waktu Mei 1998

Cita-cita Reformasi yang Belum Tercapai

Meski kebebasan sudah dirasakan oleh masyarakat Indonesia sejak reformasi 1998, namun masih ada sejumlah cita-cita reformasi yang belum terwujud, salah satunya yakni pemberantasan korupsi. Di era saat ini, praktik korupsi malah makin subur.

“Saya kira sampai hari ini agenda pemberantasan korupsi masih belum selesai. Ada banyak orang terseret kasus korupsi oleh KPK dan KPK sendiri jadi satu lembaga yang cukup efektif untuk memberantas korupsi,” ucap aktivis berkacamata itu.

Apalagi, menurut Usman, usaha-usaha untuk menyerang dan melemahkan KPK juga terus berjalan. Bahkan, komisioner-komisioner KPK berkali-kali ditekan atau kewenangannya dilemahkan, sampai muncul wacana pembubaran KPK.

“Serangan terhadap investigatornya seperti Novel Baswedan bahkan hingga kini tidak mendapatkan perhatian, contohnya itu,” kata Usman.

HAM dan Martabat Manusia Harus Diprioritaskan

Menurut Usman, perjuangan demokrasi itu sama seperti perjuangan hak asasi atau perjuangan kebebasan. Di era reformasi saat ini, martabat manusia harus dikedepankan dalam masalah apapun.

Terlebih terpecahnya masyarakat dalam menilai peristiwa-peristiwa serius seperti penyerangan napi teroris di Mako Brimob Depok sampai tragedi bom di sejumlah gereja Surabaya.

Dalam melihat masalah itu, masih banyak pihak yang ingin mengesampingkan HAM, sehingga gegabah mendorong hukuman mati terhadap pelaku.

“Rendahnya pengetahuan soal hak asasi manusia membuat seseorang salah paham tentang hak asasi manusia. Misalnya saja soal hukuman mati. Apakah dengan mengeksekusi mati seseorang, itu bisa menimbulkan efek jera? Tidak,” ucap Usman.

“Bagaimana pun martabat manusia itu harus tetap dijaga. Kita boleh marah, kesal, takut tapi tetap pondasi dasar di dalam kehidupan itu harus dipegang, bahwa manusia pada akhirnya punya kesempatan untuk berubah,” ujarnya.

Baca Juga: Kepemimpinan Politik Bisa Hapus Kebijakan Hukuman Mati

Menurut Usman, mengakhiri hidup seseorang tak akan menyelesaikan masalah apa pun sehingga hal itu tidak dibenarkan.

Jadi menurut Usman, reformasi 20 tahun itu seperti secara perlahan membuka mata kita. Kalau kita mau bersyukur sebenarnya kita harus katakan bahwa kita punya kemampuan lebih untuk melihat masalah sekarang dan menyelesaikannya.

“Nah seharusnya kita memanfaatkan kemampuan yang lebih dalam melihat masalah hari ini, misalnya masalah HAM di Papua atau soal korupsi, itu untuk lebih bisa memahami dan mencari jalan keluarnya dan mengambil peran,” ujarnya.

Share: Catatan 20 Tahun Reformasi Usman Hamid: Indonesia Baru Lewati 2/3 Perjalanan