Budaya Pop

5 Pertanyaan Untuk (Bakal) Film ‘Bumi Manusia’

Derick Adeboi — Asumsi.co

featured image

Rumah produksi Falcon Pictures akhirnya membuat konferensi pers terkait produksi film terbaru mereka Bumi Manusia, pada Kamis, 24 Mei. Film Bumi Manusia diadaptasi dari novel “sakral” sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer yang berjudul sama dan merupakan novel pertama dari serial novel Tetralogi Buru.

Hanung Bramantyo menempati posisi sutradara, Iqbaal Ramadhan menjadi tokoh utama Minke, Mawar Eva menjadi Annelis Mellema, dan Ine Febriyanti menjadi Nyai Ontosoroh. Bagi pembaca setia karya-karya Pram, berita ini menjadi sebuah kejutan, dan menuai banyak pro-kontra. Wajar saja, karena novel Bumi Manusia bukan novel sembarangan, boleh dibilang ia adalah salah satu karya sastra terpenting dunia di abad ke-20, yang membuat Pramoedya pernah diusulkan untuk mendapatkan Nobel Sastra.

Langkah Falcon untuk mengadaptasi Bumi Manusia barangkali adalah sebuah langkah paling berani yang mereka lakukan. Berangkat dari hiruk pikuk yang muncul kemarin, nampaknya ada beberapa pertanyaan yang dapat kita lontarkan terkait produksi film Bumi Manusia ini.

Apakah Film ini akan jadi sebuah Film Romantik, Atau…?

Trek rekor Hanung dalam mengemas film berlatar biopik ataupun sejarah boleh dikatakan baik. Masalahnya, Bumi Manusia memiliki dimensi konflik yang rumit dan berlapis, membayangkan novel setebal 535 halaman (Penerbit Lentera Dipantara, 2011) dikompres dalam film berdurasi 2 jam pasti membutuhkan banyak suntingan adegan. Saat beberapa waktu lalu ketika Tetralogi Buru diangkat jadi sebuah pementasan teater berjudul Bunga Penutup Abad—diperankan Reza Rahardian dan Chelsea Islan—fokus cerita dominan pada latar tragedi-romantisme Minke dan Annelies. Kira-kira akan seperti apa ya film ini?

Apakah Iqbaal akan Mengubah Persepsi Masyarakat atas Minke?

Buat pembaca Bumi Manusia, Minke punya kedalaman makna yang lebih besar dari hanya sekadar tokoh dalam cerita. Ia diinspirasi dari tokoh jurnalisme Indonesia Tirto Adhi Soerjo. Minke sering diasosiasikan dengan perlawanan terhadap kolonialisme, penindasan, dan sejenisnya. Nah, sementara itu, trek rekor Iqbaal sebagai aktor dewasa belum begitu banyak. Ia sukses sih memerankan tokoh Dilan di film adaptasi novel Dilan 1990, tapi Minke adalah karakter yang sama sekali berbeda. Dan kita tahu Iqbaal berhasil bikin sosok Dilan melekat banget sama dia, kira-kira nasib Minke gimana ya ntar? Apakah berkat peran Iqbaal nanti, Minke akan jadi tokoh intelek yang digemari remaja? Hmmmm.

Apakah Anak Muda akan Mulai Membaca Pram?

Pram adalah sastrawan besar, buku-bukunya terpampang gagah di etalase toko buku; mulai dari Calon Arang, Arok Dedes, Tetralogi Buru, Bukan Pasar Malam, dan lain-lain. Tapi tentu Pram dengan karyanya sedikit berbeda segmen pembaca dengan yang novel populer—yang biasa dibaca remaja. Setelah film ini bisajadi novel-novel Pram akan laris dibaca para remaja, kutipan-kutipannya akan dipakai untuk jadi meme.

Iyalah, Dilan aja dengan “Jangan rindu! Berat. Kamu tak akan kuat. Biar aku saja.” berhasil jadi viral dimana-mana. Bukan tidak mungkin kutipan dari Bumi Manusia kelak dipakai remaja SMP yang boncengan bertiga ketika ditilang polisi, ”Kita telah melawan, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Tapi apadaya, kita tetap ditilang.”

Akankah Nyai Ontosoroh menyaingi Marlina?

Bumi Manusia mungkin memang diceritakan dari sudut pandang Minke sebagai tokoh utama, tapi jangan lupakan Nyai Ontosoroh. Barangkali Nyai Ontosoroh adalah tokoh paling unik di Bumi Manusia. Penasaran kenapa dia unik? Baca novelnya, atau tonton filmnya nanti, hehehe. Belum lama ini film Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak yang dirilis di bioskop Indonesia sukses mengacak-acak batin penonton lewat kehadiran tokoh perempuan “superheroine”. Semestinya sih, kalau karakter Nyai Ontosoroh digarap dengab maksimal di film ini, kita akan mendapatkan “superheroine” baru di perfilman Indonesia. Mudah-mudahan.

Dengan tahun politik yang makin dekat, apakah film ini akan jadi hal besar?

Nah, pertanyaan ini agak serius sedikit. Buat yang belum tahu, Pram menulis novel Bumi Manusia ketika dia jadi tahanan politik Orde Baru di Pulau Buru. Buku ini pun sempat dianggap terlarang selama beberapa waktu saat diterbitkan. Jadi, mustahil memisahkan Bumi Manusia dengan latar sosial-politik yang dijalani Pram saat itu.

Akan menarik nanti melihat pendapat tokoh-tokoh nasional tentang film ini, lebih lagi tahun depan akan dilaksanakan pemilihan umum (Pemilu). Karena ketika kita memperbincangkan Pram dan karyanya otomatis akan membuka pembicaraan tentang Lekra-komunisme, Orde Baru, dan situasi politik masa itu. Apakah topik-topik yang masih sering membuat netizen terbelah ini akan kembali terangkat lewat dirilisnya film ini? Kita tunggu saja.

Share: 5 Pertanyaan Untuk (Bakal) Film ‘Bumi Manusia’