Isu Terkini

Kampanye Unik SINDIKASI soal Pekerja Kreatif di Hari Buruh

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Nuansa berbeda ditunjukkan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) saat ikut serta dalam aksi peringatan May Day atau Hari Buruh pada Selasa, 1 Mei lalu. Apa yang berbeda? Jawabannya ada pada kalimat kampanye mereka.

Beberapa poster diangkat dengan kalimat-kalimat yang menggelitik. Terlihat remeh memang, tapi ternyata kalimat-kalimat yang disampaikan benar-benar nyata adanya di kehidupan para pekerja setiap harinya.

“8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam sayang-sayangan.”

“Ini project kerjaan atau bikin candi? Minta kemarin, deadline-nya besok #SayaFreelancer #SayaBukanJin.”

“Kurangi jam kerja, perbanyak bercinta.”

Kalimat-kalimat di atas hanya sebagian dari tulisan yang berada di poster kampanye SINDIKASI. Pesan dan tuntutan yang ingin disampaikan cukup jelas dan tak jauh berbeda dengan kamu buruh lainnya: perhatikan nasib, kondisi, dan kesejahteraan buruh!

Baca Juga: Cerita Perjuangan Guru Honorer Brebes dan Srikandi KASBI di Aksi May Day 2018 Jakarta

Guys, ada yang sudah tau apa itu SINDIKASI? Kalau belum, baiklah, Asumsi akan memaparkan penjelasan soal keberadaan SINDIKASI dan peran sertanya dalam pergerakan buruh terutama di industri pekerja kreatif Indonesia, hasil ngobrol-ngobrol dengan ketuanya, Ellena Ekarahendy.

Apa Pentingnya Membentuk Serikat Buruh Industri Kreatif?

Ellena pernah mengatakan dalam orasinya di May Day kemarin bahwa para pekerja industri kreatif itu sama saja dengan buruh lainnya dan tidak ada bedanya.

“Kita sering disebut kelas menengah, padahal kita juga sama dengan buruh lain,” kata Ellena.

Ellena menyebutkan bahwa SINDIKASI menyoroti dampak peralihan teknologi ekonomi digital pada pekerja media dan industri kreatif. Tak hanya itu saja, SINDIKASI juga menyoroti soal Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).

Salah satu poster SINDIKASI yang dibawa di peringatan aksi May Day 2018 di Jakarta, Selasa, 1 Mei 2018. Foto: dok. SINDIKASI.

Menurut Ellena, sangat penting bagi para buruh, termasuk pekerja di industri kreatif untuk berada di bawah satu serikat.

“Sebenarnya bukan cuma buat pekerja kreatif sih, justru bentuk serikat pekerja itu sebenarnya diperluin sama semua elemen pekerja. Cuma jadi spesifik soal pekerja industri kreatif dan media di era digital,” kata Ellena kepada Asumsi, Jumat, 4 Mei.

Baca Juga: (Galeri Foto): Sederet Aksi Buruh di May Day 2018 di Monas dan Seberang Istana Negara Jakarta

“Sekarang ini fleksibilitas tenaga kerja itu semakin meningkat kan dan para pekerja-pekerja ini dibuat terionisasi, dalam artian muncul sebagai individu, individu, dan individu. Jadi seolah-olah mereka terlepas satu sama lainnya,” ujarnya.

Pentingnya membentuk serikat buruh juga sebagai bentuk antisipasi terhadap kekuatan dan sistem yang lebih besar, yang dihadapi buruh.

“Sementara mereka dihadapkan dengan sistem besar, yang membuat mereka kayaknya enggak mungkin kalau misalnya hanya berupaya membangun bargaining position hanya sebagai individu terhadap sistem. Makanya ada serikat pekerja supaya ada suara kolektif,” ucapnya.

Kondisi Industri Kreatif di Indonesia

Menurut Ellena, pentingnya keberadaan sebuah serikat buruh bagi pekerja industri kreatif, salah satunya adalah agar bisa mengetahui dan memberi masukan terhadap perkembangan industri kreatif di Indonesia itu sendiri.

“Lanskap industri kreatif di Indonesia sendiri sangat luas banget, tinggal mau dilihat dari sisi apa dulu. Saya sendiri sih berupaya untuk melihat ekosistemnya, jadi dilihat apakah ada ekosistem yang bolong apa enggak, ada yang timpang atau enggak,” kata Ellena.

Salah satu poster SINDIKASI yang dibawa di peringatan aksi May Day 2018 di Jakarta, Selasa, 1 Mei 2018. Foto: dok. SINDIKASI.

Ellena mengatakan, misalnya dari sisi pemerintah sendiri saat ini jika bicara industri kreatif, itu lebih sering membahas soal pemodalan dan hak cipta, padahal ekosistemnya masih sangat luas.

“Kita juga bicara soal akses terhadap referensi, akses literasi, terus ada pendidikan juga, dan masih banyak hal lainnya.”

“Misalnya kalau dari aspek ketenagakerjaan, kita masih kurang banget soal kesadaran-kesadaran hak pekerja. Atau yang kedua, sekarang itu kan trennya para pekerja sering diinformalisasi, sehingga jadi enggak bisa dinaungi lagi sama UU Ketenagakerjaan.”

Baca Juga: Prabowo Tandatangani Kontrak Politik Dengan Kelompok Buruh, Bawaslu: Bukan Pelanggaran!

Selain itu, Ellena juga memaparkan bahwa banyak relasi kerja baru yang kemudian enggak bisa terakomodir oleh regulasi yang ada sekarang. Menurut Ellena, regulasi UU Ketenagakerjaan itu lebih banyak atau lebih relevannya ke buruh-buruh pabrik atau manufaktur.

“Tapi UU Ketenagakerjaan ini juga enggak kompatibel dengan relasi pekerjaan yang baru pada saat ini. Masih banyak para pekerja di industri kreatif itu yang enggak merasa dirinya sebagai pekerja, misalnya merasa dirinya budayawan, dan yang lainnya.”

Tantangan yang Dihadapi Pekerja Kreatif

Ellena mengatakan bahwa ada satu kekurangan dalam diskursus perburuhan di Indonesia. Kalau bicara buruh, kata Ellena, relasinya selalu merujuk pada buruh yang bekerja di pabrik, padahal dari dulu sudah ada pekerja informal seperti petani, nelayan, pedagang asongan, atau tukang tambal ban.

“Tapi kalau di ekonomi digital, kalau tantangan yang terberat nya adalah ketiadaan regulasi ketenagakerjaan yang memang relevan sama kondisi dan relasi kerjanya pada saat sekarang ini.”

“Yang kedua, ini masih normatif, soal jam kerja, hak cuti, upah lembur, terus jaminan sosial dan ketenagakerjaan, tapi yang kemudian jadi makin naik trennya itu adalah soal pekerja-pekerja yang kemudian punya relasi kerja baru seperti pekerja outsourcing dan freelancer.

Aksi Ketua SINDIKASI Ellena Ekarahendy bersama rekan-rekannya di May Day 2018 di jalanan Jakarta, Selasa, 1 Mei 2018. Foto: Twitter/@SudirmanAsun.

Apa Sih yang Diperjuangkan Sindikasi?

Dalam jangka panjang, SINDIKASI masih akan memperjuangkan soal regulasi. Menurut Ellena, kalau ada regulasi, maka hal itu akan bagus baik dari sisi UU Ketenagakerjaannya atau UU soal K3.

“Soalnya nanti kan itu turunannya pada bagaimana kita mendefinisikan profesi ini, apa aja yang harus diakomodir, standar pengupahan seperti apa, kode etik seperti apa, jaminan sosial, dan kebutuhannya seperti apa.”

“Yang kedua terkait dengan keselamatan, dan kesehatan kerja di industri kreatif itu karena akibat dari tekanan dan tanggung jawab kerja tidak bisa terakomodir.”

Ellena mengakui bahwa SINDIKASI memang punya salah satu strategi buat ngomongin soal isu ketenagakerjaan atau perburuhan lewat bahasa-bahasa yang unik di poster kampanye mereka.

Apalagi, isu perburuhan merupakan isu yang kurang populer dan SINDIKASI hadir untuk mendorong dan membangun jalan masuk untuk memahami isu tersebut.

“Bisa lewat isu jam kerja atau sayang-sayangan dan segala macam itu.”

Elena mengatakan bahwa masalah kesehatan mental jadi hal yang rentan menyerang para pekerja di industri kreatif. Resiko terbesar dari para pekerja di industri kreatif memang terkait masalah kesehatan mental, apalagi dalam kondisi sosial ekonomi dan politik sekarang yang membuat tekanan mental jadi semakin kuat.

“Maksudnya itu bukan cuma pekerja di industri-industri kreatif saja, yang kemudian harus mengalami stres dan depresi, tapi juga di sektor lainnya. Kita pengen bisa membawa narasi itu ke publik soal pentingnya hal itu,” ujar Ellena.

Share: Kampanye Unik SINDIKASI soal Pekerja Kreatif di Hari Buruh