Pernikahan Atta Halilintar degan Aurel Hermansyah terus menjadi perbicangan masyarakat. Dengan pernikahan yang mewah, juga dihadiri orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo.
Namun, terasa ada yang kurang dari pernikahan tersebut. Orang tua Atta Halilintar, Halilintar Anofial Asmid dan Lenggogeni Faruk, tampak absen. Keduanya hanya mengirimkan salam dan permintaan maaf lewat video karena tak bisa hadir.
“Selamat menempuh hidup baru,” kata Halilintar Anofial Asmid, ayah Atta.
“Kepada Atta Halilintar,” sebut Lenggogeni Faruk, ibu Atta Halilintar. Kemudian, disambung lagi oleh sang ayah, “Dan istrinya Aurel, semoga dapat membina rumah tangga yang berbahagia dalam perlindungan dan ampunan Allah.”
Meski tak bisa hadir, keduanya juga menitipkan salam untuk besan, Anang Hermansyah dan Ashanty, serta Krisdayanti. Sebagai orang tua, Halilintar Anofial Asmid dan Lenggogeni Faruk memberikan pesan untuk anaknya agar menjadi suami yang baik.
“Salam pada besan kita, bapak Anang sekeluarga beserta istri, Ibu Ashanty, serta ibu Krisdayanti sekeluarga,” tutur Lenggogeni.
“Atta yang disayang, sekarang Atta menjadi suami, sudah melepas masa lajangnya dengan menjadi suami, ini adalah suatu amanah, suatu beban yang dipikul di bahu Atta, yang Atta mesti jalankan dengan sebaik-baiknya,” tambahnya.
Melihat kondisi tersebut, netizen sempat bertanya-tanya apakah boleh orang tua tak hadir saat pernikahan anaknya? Lalu, bagaimana dengan hukum di mata agama mengenai wali nikah? Asumsi.co akan membahasnya melihat dari sisi agama dan hukum.
Wali Nikah hanya untuk Wanita
Dalam Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah Volume 2 Nomor 2 Tahun 2020 menjelaskan mengenai wali nikah. Hukum pernikahan tidak sah jika wali nikah pihak perempuan tak hadir. Sementara, untuk mempelai pria tidak masalah, seperti yang terjadi pada pernikahan Atta Hlilintar dan Aurel Hermansyah.
Aturan yang ada dalam pekawinan antara lain adanya wali. Wali dalam perkawinan menjadi syarat sahnya pernikahan. Wali juga menjadi rukun dalam pernikahan. Hal ini sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama dan para sahabat Nabi.
Aisyah RA berkata bahwa Rasulullah bersabda bahwa wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal (tidaklah sah). Abu Daud juga mengatakan Rasulullah SAW bersabda “tidaklah sah nikah kecuali dengan adanya wali”.
Dalam praktiknya, untuk menyelenggarakan akad nikah yang sempurna, kadang kala terbentur kendala. Salah satunya adalah saat wali nasab yang berhak, berada di tempat yang berbeda. Jauh dari tempat pelaksanaan akad nikah, sehingga tidak dapat hadir. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan. Bisa jadi karena kondisi alam, misalnya sedang terjadi bencana, sehingga wali nasab yang tidak bisa hadir. Meski begitu, wali nikah pun bisa digantikan dengan wali hakim.
Akad Nikah
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bersama tuhan yang maha esa. Para ulama sepakat bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu syarat sah dalam pernikahan.
Ijab dan qabul itu terjadi dalam sebuah pernikahan yang lazim disebut akad.
Orang tua dalam pembahasan persetujuan pernikahan biasa disebut hanya dengan penyebutan “ayah” saja. Sebab, dalam hal perwalian, hanya Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya yang membolehkan wanita berhak menjadi wali, atau bagi wanita dewasa atau janda berhak atas dirinya sendiri dalam hal bertindak hukum termasuk menjadi wali untuk dirinya sendiri dalam pernikahan.
Sedangkan Imam malik, Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama mengatakan bahwa wali itu adalah laki-laki. Asy-Syafi’i dan Ibnu Qayyim merupakan dua tokoh ulama yang sangat luas ilmunya, sangat tajam analisisnya, dan sangat takut pada tuhannya. Sehingga tidak ada kekhawatiran bagi siapa saja yang bermaksud mengikuti pandangan mereka.
Sebab tidak mungkin mereka berfatwa hanya untuk kepentingan dunia. Ketertarikan penyusun terhadap Asy-Syafi’I dan Ibnu Qayyim, memicu hasrat.
Asy-Syafi’i berpandangan bahwa bagi gadis dewasa berakal, maka hak mengawinkannya ada pada wali, dan boleh dipaksa untuk dinikahkan.
Urutan wali nikah untuk perempuan menurut Imam Syafi’i adalah: Ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki, paman (saudara ayah), anak paman, dan seterusnya dan bila semuanya tidak ada, perwalian beralih ke tangan hakim.
Sebaliknya, Ibnu Qayyim al-Jawziyah melarang para wali baik ayah, atau selainnya menikahkan anak gadis yang sudah dewasa tanpa mendapat persetujuan dari anak gadisnya terlebih dahulu. Jelas dapat dipahami bahwa dalam hal ini persetujuan orang tua menurut Ibnu Qayyim tidak harus ada.
Ketentuan dan Syarat Nikah secara Hukum
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
a. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai tanpa adanya paksaan
b. Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun, dan wanita 16 tahun. Jika umur belum mencapai standar usia minimal, maka diperlukan suatu dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua baik pihak pria maupun wanita
c. Tidak terkait tali perkawinan dengan pihak lain
d. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu yang diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.
e. Tidak melanggar larangan kawin, yaitu mengenai larangan perkawinan antara dua orang karena berhubungan darah, semenda, sesusuan, perkawinan, dan larangan agama
f. Tidak sedang bercerai untuk kedua kalinya dengan suami istri yang akan dikawin
g. Ijin dari kedua orang tua bagi pasangan yang belum mencapai usia 21 tahun