Membahas budaya politik dan sepakbola secara serius tentunya akan sedikit rumit. Teori yang muncul akan sangat luas dan melebar. Tidak hanya politik saja, akan muncul pula dari kajian budaya, antropologi, media dan komunikasi, hingga bisnis.
Tak bisa dipungkiri budaya sepakbola di Indonesia memang sangat erat disandingkan dengan politik, yang mana seperti kita pun ketahui awal mulanya terbentuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pun memang dilandasi alasan politik, tetapi dengan tujuan mulia, menjadikan sepakbola sebagai alat pemersatu bangsa.
Klub-klub di Indonesia pernah didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) cukup lama, di mana pada saat itu banyak pejabat daerah memiliki tugas ganda, selain sebagai abdi masyarakat juga sebagai pengurus tim sepakbola.
Setelah pemerintah mengeluarkan serangkaian aturan untuk menghentikan penggunaan dana APBD untuk klub-klub sepakbola profesional di Indonesia mulai 2012, bukan berarti sepakbola langsung memutus rantai hubungan dengan politik. Keduanya masih tetap erat, namun kali ini dengan jenis hubungan yang berbeda.
Kita masih ingat beredar foto di media pada 2014 ketika salah satu pendukung tim sepakbola dari Jawa Timur berbaris dan menyalakan flare untuk menyambut Ketua Umum Partai Golkar yang juga bakal calon presiden saat itu, Aburizal Bakrie, di Bandara Abdurrahman Saleh, Malang.
@KedanEramas @ERAMAS_01 @EramasPendukung @KamiEramas @era_sumut @kawan_eramas @sahabatijeck @eramas_sumut @SayberEramas @KampungEramas @ERAMAS_01 @EdyRahmayadi @Gerindra @sahabatijeck @DPDGerindraSU @pkssumut @PSMS_id @ayamkinantan @KAMPAKcyber @KAMPAK_VanJava #sumutbermartabat pic.twitter.com/Y4nj4fCZqR— RadenKamus79 (@RadenKamus) March 17, 2018
Di level daerah tingkat I dan tingkat II, kemesraan sepakbola dan politik pun kerap terjadi. Pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun ini, politik banyak sekali bersinggungan dengan sepakbola. Tercatat, calon Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi, menyatakan janjinya untuk membangun stadion bertaraf internasional khusus untuk PSMS Medan.
Surabaya – Puti Guntur, Saya Pengen Ngobrol dengan Bonek . . . ????️Pesona kekompakan bonek disetiap pertandingan Persebaya menjadi daya pikat berbagai kalangan. Hal ini yang membuat Puti Guntur Sukarno sangat ingin menjadwalkan bertemu dan sharing deng… https://t.co/KXnVtuTG4h pic.twitter.com/idohaCpp5p— beritajatim (@beritajatimcom) February 26, 2018
Calon Wakil Gubernur Jawa Timur, Puti Guntur, berusaha mendekatkan diri dengan kelompok supporter dan mencoba membuka dialog dengan Bonek, pendukung tim Persebaya Surabaya, walau akhirnya mendapat respon kurang baik. Salah seorang Bonek menyatakan pihaknya tidak bersedia didekati pada masa kampanye. Namun jikalau Puti sudah terpilih nanti, barulah boleh mendekati kembali.
Beberapa tahun lalu, pasangan calon gubernur dan wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, pun sempat menjanjikan stadion sekelas Old Trafford pada JakMania untuk tim kesayangan warga ibu kota, Persija Jakarta.
Setelah musim yg berat, saatnya skrg Persib berjaya, ayo kita terus dukung pangeran Biru !!! #PersibDay pic.twitter.com/0OHQR7apul— Yossi Irianto (@kang_yossi) January 21, 2018
Di Bandung sekarang, ada Yossi Irianto, calon Wali Kota Bandung yang mengunjungi manager Persib, Umuh Muchtar, untuk berdialog saat kampanye. Yossi sendiri merupakan mantan manajer Persib.
Mantan ketua PSSI dan sekarang calon Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Halid, turut menjanjikan lapangan sepakbola internasional di setiap kecamatan.
Riwayat Singkat Sepakbola dan Politik di Tanah Air
Menurut halaman resmi PSSI, federasi sepakbola Indonesia sendiri dibentuk karena alasan politis oleh seorang bernama Ir. Soeratin, seorang insinyur lulusan Jerman, yang menyadari sepenuhnya untuk mengimplementasikan apa yang sudah diputuskan dalam pertemuan para pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda yang dilaksanakan pada 28 Oktober 1928.
Sebagai seseorang yang menyukai sepakbola, Soeratin melihat sepakbola sebagai wahana terbaik untuk memaksimalkan jiwa nasionalisme di kalangan pemuda. Pada awal pembentukannya, PSSI banyak “menentang” berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah Belanda melalui perhimpunan sepakbolanya di Indonesia.
PSSI pun melahirkan “stridij program”, yakni program perjuangan seperti yang dilakukan oleh partai dan organisasi massa yang telah ada pada saat itu untuk melawan pendudukan Belanda.
Sejak awal terbentuknya, sepak bola di Indonesia memang sudah dekat dengan politik. Politik dinilai fleksibel mengikuti alur sepakbola dari waktu ke waktu, mulai dari masa perjuangan hingga ke masa kampanye politik zaman sekarang. Karena saking populernya, sepakbola dan supporter-nya adalah modal sosial yang cukup besar yang bisa digunakan untuk menggaet pemilih, dari berbagai kalangan usia, program menaikkan elektabilitas bisa dilakukan melalui sepakbola.
Sejak tujuan kampanye sendiri adalah meningkatkan partisipasi pemilih, seperti diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 4 Tahun 2017, jadi pendekatan dengan sepakbola adalah hal yang tidak melanggar aturan. Merupakan hal yang wajar jika kemudian kita melihat elit politik berasosiasi dengan klub untuk menarik banyak pendukung, melalui atribut dan simbol klub sepakbola yang digunakan pada saat kampanye.
Sebegitu seksikah sepakbola sehingga lapangnya banyak diperebutkan oleh para elit politik?