Kedutaan Besar Republik Indonesia di Turki meminta kepada warga Indonesia untuk tidak tertarik pada lowongan kerja sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) di sana. Dikutip dari CNN Indonesia, Senin (5/4/2021), Duta Besar RI untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal menyebut kalau lowongan ART di Turki sangat rentan disalahgunakan menjadi perdagangan manusia.
Menurut Iqbal, Turki sampai saat ini bukan termasuk negara penerima ART. Dengan masyarakatnya yang relatif sudah mandiri, jasa ART di Turki menjadi sektor jasa yang tidak begitu dibutuhkan. Oleh karena itu, menjadi janggal kalau kemudian ada lowongan untuk jasa ART ke Turki.
Di sisi lain, ada lonjakan jumlah kasus perdagangan manusia yang melibatkan WNI, yang pada sebagian besar dipekerjakan sebagai ART di Turki. Berdasarkan data Iqbal, sepanjang 2020, jumlah total kasus yang melibatkan WNI dan masuk ke dalam kategori tindak pidana perdagangan orang mencapai 20 kasus.
“Sementara dalam jangka waktu Januari hingga hari ini pada tahun 2021, sudah tercatat 19 kasus. Sudah hampir sama dengan jumlah kasus setahun pada tahun lalu,” ujar Iqbal.
Namun, selama ini Turki dipercaya hanya dijadikan tempat transit. Sementara pelakunya merupakan warga dari negara-negara konflik yang berada di sekitar Turki dan menetap di negara yang dipimpin oleh Erdogan itu.
“Tawaran untuk bekerja sebagai ART di Turki itu sudah dipastikan adalah ilegal dan itu sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia,” ucapnya.
Melonjak Dalam Lima Tahun Terakhir
Berdasarkan laporan perdagangan orang di Turki sepanjang 2020 yang diakses Asumsi.co dari Office to Monitor and Combat Trafficking in Persons, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, selama lima tahun terakhir, pelaku perdagangan manusia memang mengeksploitasi korban domestik dan asing di Turki. Selain Indonesia, korban perdagangan manusia di Turki juga ada yang berasal dari Asia Tengah, Asia Selatan, Eropa Timur, Azerbaijan, Maroko, dan Suriah.
Data 2019 menunjukkan ada 134 korban dengan 11 orang korban berasal dari Indonesia. Sisanya adalah orang Uzbekistan sebanyak 44 korban, Suriah 31 korban, Maroko 28 korban, dan Kirgiztan 26 orang.
Pelaku perdagangan manusia dilaporkan mengeksploitasi korbannya untuk kerja paksa hingga eksploitasi seksual komersial. Beberapa pengungsi Suriah yang bermukim di Turki juga kerap jadi sasaran terutama dijual ke dalam pernikahan, di mana mereka rentan terhadap perbudakan rumah tangga dan perdagangan seks sekaligus.
Laporan ini membuat Turki berada di tingkat dua dalam tingkat kerentanan sebuah negara terhadap ancaman perdagangan manusia. Untuk diketahui, dalam laporan tahunan perdagangan manusia yang dirilis oleh Departemen Luar Negeri Amerika, tingkat kerentanannya dibagi menjadi tiga.
Tingkat satu untuk negara yang pemerintahnya sepenuhnya mematuhi standar minimum Trafficking Victims Protection Act (TVPA) of 2000; Tingkat dua yang pemerintahnya tidak sepenuhnya mematuhi semua standar minimum TVPA, tetapi melakukan upaya signifikan untuk menyesuaikan diri dengan standar tersebut. Tingkat ini dibagi lagi menjadi Tingkat dua dalam pantauan yang pemerintahannya tidak sepenuhnya mematuhi standar minimum TVPA, tetapi melakukan upaya signifikan untuk menyesuaikan diri dengan standar tersebut; Sementara tingkat tiga yang pemerintahannya tidak sepenuhnya mematuhi standar minimum dan tidak melakukan upaya signifikan untuk melakukannya.
Adapun upaya Turki yang membuatnya ada di Tingkat dua adalah Pemerintah Turki menunjukkan peningkatan upaya secara keseluruhan dibandingkan dengan periode pelaporan sebelumnya. Upaya ini termasuk mengidentifikasi lebih banyak korban dan mewawancarai lebih banyak calon korban.
Pemerintah Turki juga melakukan survei dan konsultasi untuk menyusun rencana aksi nasional yang baru dan menyelenggarakan pelatihan yang kuat tentang berbagai masalah anti-perdagangan manusia. Ini ditambah dengan upaya mengalokasikan dana untuk bantuan keuangan kepada para korban dan komisi nasional serta enam komisi provinsi untuk melaksanakan upaya anti-perdagangan manusia.
Harus Jadi Refleksi
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, menyebut imbauan agar WNI tidak tergiur tawaran ART di Turki harus dibarengi dengan refleksi pemerintah dalam mensosialisasikan aturan terkait penempatan pekerja. Menurutnya, pemerintah tidak pernah memberi sosialisasi secara tuntas terkait Kepmenaker No.294/2020. Dalam aturan itu, Turki memang menjadi satu dari 24 negara yang boleh menjadi tujuan PMI. Tapi, ART bukan salah satu jasa yang dibutuhkan Turki.
“Tapi berita yang sampai di kampung halaman berbeda. Bocornya informasi ke Turki itu karena tidak tuntasnya kebijakan dalam penempatan pekerjaan migran. Pemerintah Indonesia tidak tuntas mensosialisasikan ini, kalah sama calo di kampung-kampung,” kata Wahyu kepada Asumsi.co.
Iming-iming ini juga disambut karena banyak orang di daerah yang tengah mencari kerja. Padahal, pemerintah melalui Kepmenaker No.294/Tahun 2020 mengenai Pelaksanaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru mulai membuka kembali pengiriman PMI ke luar negeri dengan sejumlah syarat dan kriteria tertentu.
“Ini membuat keinginan orang-orang untuk bekerja ke luar negeri menumpuk sehingga yang dipilih akhirnya jalan pintas,” kata Wahyu
Wahyu juga menduga kalau Turki sebetulnya bukan tempat tujuan melainkan hanya tempat transit dengan tujuan akhir ke negara Timur Tengah. Pasalnya saat ini tidak ada penerbangan langsung ke Timur Tengah. Sementara permintaan yang tinggi dengan gaji yang juga besar untuk ART sampai saat ini masih didominasi oleh negara-negara Timur Tengah.
“Karena pasar pekerja imigran yang harganya tinggi itu hanya Timur Tengah,” ucap dia.
Padahal, sampai saat ini, pemerintah Indonesia masih menerapkan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah. Oleh karena itu harus ada kewaspadaan terutama kemungkinan pengiriman Pekerja Migran Indonesia ke wilayah konflik seperti Suriah, Libya, Irak.