Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta jajarannya di Kementerian Agama agar memberi kesempatan yang sama kepada semua agama untuk memberikan doa versi agama masing-masing di setiap kegiatan mereka. Jadi, nantinya, ia berharap setiap acara tak hanya diawali dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an saja.
“Pagi hari ini saya senang rakernas dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Ini memberikan pencerahan sekaligus penyegaran untuk kita semua, tapi akan lebih indah lagi jika doanya semua agama diberikan kesempatan untuk memulai doa,” kata Yaqut saat memberikan sambutan dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kemenag 2021, Senin (5/4/21).
Yaqut menilai pembacaan doa dengan cara agama Islam mengesankan seolah Rakernas itu seperti acara ormas keagamaan Islan. Padahal, kata Yaqut, Kemenag sendiri tak hanya mengurus persoalan agama Islam saja, tapi melayani seluruh agama di Indonesia.
“Jadi mungkin, mungkin lain waktu bisalah, itu kan lebih enak dilihat itu kalau semua agama yang menjadi urusan di kementerian ini sama-sama menyampaikan doanya, kalau semakin banyak yang berdoa semakin mudah atau semakin probabilitas untuk dikabulkan itu semakin tinggi,” ujar Yaqut.
“Ini autokritik dan saya yakin besok-besok sudah berubah ini karena biasanya kalau menteri yang ngomong dianggap perintah. Kalau tidak, kebangetan Pak.”
Sekali lagi Yaqut menegaskan kalau Kemenag melayani semua agama. “Jadi jangan sampai muncul paradoks ya saya kira, jadi kita pengin Kementerian Agama melayani semua agama, tetapi dalam perilaku kita tidak mencerminkan itu semua.”
Usulan Menag Dikritik MUI: Menteri Kehilangan Akal
Waketum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengkritik keras usulan Menag Yaqut terkait doa semua agama di acara Kemenag tersebut. Menurut Abbas, Menag Yaqut seperti tak memikirkan matang-matang idenya itu.
“Jadi bingung sendiri yang dilakukan oleh Menteri Agama ini, kalau di daerah yang mayoritas Islam seperti di Aceh, itu cukup dengan (doa) ajaran Islam, tetapi kalau di Bali ya (doa) Hindu, kalau di NTT ya (doa) agama Katolik, kalau di Sulawesi Utara (doa) Protestan ya,” kata Anwar Abbas, Senin (5/4).
Menurut Abbas, Menag Yaqut harusnya lebih dulu melihat pembicara dan mayoritas peserta yang hadir dalam suatu acara Kemenag. Kalau pembicara atau peserta yang hadir lebih banyak ke satu agama tertentu, lanjut Abbas, doanya bisa disesuaikan saja.
“Kita kan negara demokrasi yang menjunjung tinggi toleransi, toleransi itu baru punya makna itu kalau dia diletakkan di tengah-tengah perbedaan. Kalau saya orang Islam, ya, ucapkanlah salam secara orang Islam,” ucapnya.
“(Jika) Salam juga mau digabung ya itu namanya homogenisasi dan itu tidak mencerminkan pluralitas.”
Lebih lanjut, Anwar pun mempertanyakan pemahaman Yaqut soal toleransi. Menurutnya, apa pentingnya membacakan doa agama tertentu tetapi tidak ada penganutnya yang hadir dalam acara Kemenag.
“Menteri Agama ini kurang ngerti tentang toleransi. Toleransi itu baru punya arti, baru punya makna (jika berada) di tengah-tengah perbedaan dan kita menghargai perbedaan itu.”
“Itu namanya Menteri yang menurut saya kehilangan akal, terlalu diobsesi oleh persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan itu tidak rusak oleh keberbedaan.”
Sementara itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyampaikan bahwa Menag Yaqut mestinya memikirnya lebih dulu soal idenya itu. Meski, ia tetap mengapresiasi apa yang diusulkan Menag Yaqut terkait doa semua agama.
“Saya sangat mengapresiasi pernyataan Pak Menteri. Ini menunjukkan kepedulian beliau yang sejatinya memang melayani semua agama,” kata Ketum PGI Gomar Gultom dilansir dari Detik, Selasa (6/4).
“Namun, praktiknya haruslah dipikirkan baik-baik. Sesungguhnya dalam berbagai kesempatan sudah ada semacam protokol yang baku, seseorang membacakan doa seraya meminta agar semua yang hadir berdoa menurut agama masing-masing.”
Apa Perlu Negara Intervensi Doa Semua Agama?
Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan menegaskan negara tak perlu ikut campur terlalu jauh terkait keyakinan, dalam hal ini perihal doa, dari setiap agama di Indonesia. Menurutnya, hal itu sudah masuk ranah keyakinan masing-masing.
“Menurut saya, soal doa itu kontekstual saja. Kontekstual dalam artian, ada kalanya perlu, ada kalanya tidak,” kata Halili saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (6/4).
Menurut Halili, untuk acara-acara resmi pemerintahan, dalam hal ini Kemenag, tidak perlu sampai harus membaca doa khusus agama tertentu, cukup dengan berdoa menurut agama masing-masing saja.
“Jadi ya, tidak perlu dipimpin untuk baca doa tertentu secara seremonial. Kecuali acara-acara khusus keagamaan, seperti hari-hari besar keagamaan, cukup doa menurut agama yang bersangkutan saja,” ucap Halili.
Sementara untuk forum-forum di luar pemerintahan, Halili menyebut doanya bisa menyesuaikan. Sehingga dalam hal ini, kata Halili, sebetulnya pemerintah atau negara tak perlu repot-repot mengurusi atau mengatur doa masing-masing agama.
“Negara tidak perlu intervensi terlalu jauh, apakah warganya harus doa tertentu atau tidak,” ujarnya.