Isu Terkini

Eulogi Buat Umbu Landu Paranggi, Bagaimana Cerita Sang “Presiden Malioboro”?

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Twitter @ganjarpranowo

Indonesia kehilangan sastrawan, Umbu Landu Paranggi. Ia tutup usia Selasa (6/4/2021) di Denpasar, Bali. Dikabarkan, Umbu meninggal dunia di Rumah Sakit Bali Mandara pukul 03.55 WITA di usia 77 tahun. 

Berpulangnya Umbu pun menjadi topik perbincangan populer di dunia maya. Namanya menjadi salah satu jajaran trending topic di Twitter. Warganet banyak menyampaikan ucapan duka cita mendalam atas wafatnya salah satu putra terbaik di bidang sastra negeri ini.   

Umbu menjadi sosok yang diakui intelektual Muslim Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, sebagai sastrawan yang menginspirasinya. Melalui situs pribadinya, ia menuliskan artikel yang menceritakan kesan terakhirnya sebelum sang sastrawan berpulang ke pangkuan Yang Maha Esa. Seperti apa sosoknya?

Sang Guru Tadabbur 

Cak Nun menceritakan, dalam tulisan “Mi’raj Sang Guru Tadaabur”, bahwa sebelum meninggal dunia pada dini hari tadi, Umbu sempat menjalani perawatan di ruang ICU. 

“Menjelang penghujung malam sebelum pukul 03.00 fajar hari, Allah Swt mengambilnya di RS Bali Mandara, sesudah tiga hari sebelumnya ia tidak makan apapun sampai dua hari kemudian harus di-ICU-kan di Rumah Sakit,” tulisnya dikutip dari caknun.com

Cak Nun mengatakan, Umbu menghadap Allah dalam keadaan berpuasa dari dunia. “Sebagaimana hampir seluruh usianya ia jalani dengan lelaku puasa atas berbagai tipuan kemewahan keduniaan, dengan kadar dan bentuk yang saya belum pernah menyaksikannya pada siapapun lainnya,” tuturnya.

Cak Nun menyampaikan ucapan duka cita seraya mengenang sosok Umbu yang selama ini dianggap berjasa dalam perjalanan hidupnya di masa muda. “Innahu lillahi wa innahu ilaihi roji’un. Kalimat itu saya tambahi akhiran “hu” karena saya memerlukan catatan setandas-tandasnya tentang kepergian hamba Allah yang amat sangat berjasa memproses pematangan hidup saya di usia remaja pada era 1970-an,” ungkap Cak Nun.

Ia juga menegaskan kesaksiannya bahwa Umbu yang pulang kembali ke haribaan Allah SWT, sebagaimana Sang Pencipta menciptakan fitrahnya sebagai manusia di dunia.

Umbu, kata Cak Nun, merupakan Guru Tadabbur dalam mengenal puisi sebagai bagian dari cara memaknai kehidupan. “Umbu adalah Guru Taddabur saya, pemegang cambuk yang mencambuki punggung kehidupan saya sampai saya menemukan puisi sebagai ujung dari tadabbur kehidupan, sehingga narasi utamanya adalah “kehidupan puisi”,” katanya.

Ia memaknai Umbu sebagai manusia hati. “Bukan manusia akal pikiran yang rewel dan ruwet atau bahkan meruwet-ruwetkan diri sebagaimana orang-orang sekolahan di abad ini,” ujarnya.

Hidup Mengabdi untuk Budaya dan Kemanusiaan

Sastrawan serta penulis dari Persada Studi Klub (PSK) Iman Budhi Santosa, menuliskan Umbu merupakan sastrawan yang lahir di Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur pada 10 Agustus 1943. 

Menurutnya, Umbu merupakan pribadi yang penuh semangat yang tanpa pamrih mengabdikan hidupnya di bidang kebudayaan dan kemanusiaan di negeri ini. 

“Dengan semangat pengabdian tinggi dan tanpa pamrih, ia menumbuhkan benih-benih kreator sastra, seni budaya dan kemanusiaan di Yogyakarta (Jawa) dan Bali,” ungkap Iman dalam tulisan “Metiyem’ Pisungsung Adiluhung untuk Umbu Landu Paranggi”.

Mengibaratkan Umbu sebagai petani, ia menyebut sang sastrawan tak pernah berhenti mencangkul, membajak, menebar benih, menyiang, mendangir, memupuk karya-karyanya.

“Walaupun demikian, setelah ribuan tumbuhan yang dibudidayakan tadi berbuah, ia tidak memungut hasilnya untuk pribadi. Bak seorang wong tani utun, ia sudah bahagia menyaksikan tanamannya tumbuh subur, bertunas, berbuah, memberikan manfaat nyata bagi manusia, hewan, burung, serangga, dan alam lingkungan di sekitarnya,” tuturnya.

Meski saat menempuh pendidikan di Yogyakarta tidak berhasil mencecap pendidikan formal di Taman Siswa seperti dicita-citakan, menurutnya Umbu merupakan sosok yang berhasil di bidangnya.

“Selama menjalani ‘bimbingan’ proses kreatif bersastra kepada orang muda di Yogya hingga Bali, ULP justru berhasil menerapkan proses ‘asah-asih-asuh’-nya Ki Hajar Dewantara (alm),” kata dia.

Hal ini, lanjutnya, ditunjukkan Umbu dengan kedekatan batin antara kakak dan adik, sentuhan-sentuhan pikir dan rasa yang berkesinambungan, serta pembelajaran dalam mengenal dan memaknai kehidupan.

“Umbu benar-benar menjelma ‘buku’ yang bakal terus dibaca dan dikaji oleh anak-anak asuhnya sampai tua,” pungkasnya.

Presiden Malioboro

Cak Nun menyebutkan Umbu Landu Paranggi, merupakan satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai “Presiden Malioboro” oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis kebudayaan 42 tahun yang lalu. Julukan tersebut diberikan karena Umbu telah membina komunitas seniman yang ada di kawasan Malioboro pada tahun 1960 hingga sekitar tahun 1970.

“Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran,” tuturnya.

Ia mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan “Pelopor Yogya” yang berkantor di ujung utara Jl Malioboro Yogyakarta. “Bersama ratusan teman-teman yang belajar nulis puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam “Persada Studi Klub”,” katanya.

Puluhan tahun kemudian usai mengenal Umbu, Cak Nun tiba-tiba menyadari ditinya tidak berbakat menjadi penyair. “Bahkan yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan “Kehidupan Puisi”, demikian menurut idiom Umbu,” pungkasnya.

Gelar ini, turut menjadi trending topic di Twitter yang berisikan unggahan duka cita dari para penggemar penyair yang meraih penghargaan dari Festival Bali Jani di bidang sastra ini.

Bahkan, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyampaikan ucapan duka cita dengan menyertakan sebutan “Presiden Malioboro” yang ditujukkan kepada Umbu. 

“Selamat jalan Umbu Landu Paranggi. Presiden Malioboro sekaligus guru dari para guru penyair Tanah Air,” cuit Ganjar melalui akun Twitter @ganjarpranowo disertai unggahan foto sang sastrawan.

Share: Eulogi Buat Umbu Landu Paranggi, Bagaimana Cerita Sang “Presiden Malioboro”?