Isu Terkini

Jika Garuda Jadi Perusahaan Swasta, Baiknya Dimiliki Siapa?

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Garuda Indonesia.com

Isu bakal dilakukannya swastanisasi maskapai Garuda Indonesia mencuat, menyusul kondisi keuangannya yang semakin memburuk imbas pandemi COVID-19. Pandemi ternyata bukanlah satu-satunya penyebab kerugian yang dialami Garuda Indonesia. Lantas, haruskah maskapai penerbangan kebanggan bangsa ini dijual?

Rugi Besar Hingga Masalah Manajemen

Garuda Indonesia saat ini memiliki utang mencapai Rp70 triliun. Utang ini, diprediksi bakal terus bertambah sebesar Rp1 triliun setiap bulannya. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan berdasarkan data pribadi kementeriannya, beban biaya Garuda Indonesia yang harus ditanggung setiap bulannya mencapai 150 juta dollar AS.

Beban biaya ini, kata dia tak sebanding dengan pendapatan yang diraih maskapai pelat merah ini yang tidak sampai separuhnya, yakni sebesar 50 juta dollar AS. Hal ini menunjukkan, Garuda Indonesia rugi 100 juta dollar AS atau sekitar Rp1,43 triliun per bulannya.

Erick menjelaskan, situasi pandemi COVID-19 merupakan salah satu faktor yang memengaruhi pergerakan bisnis Garuda Indonesia, hingga membuat rendahnya penerbangan penumpang. Maskapai ini merugi karena persoalan lainnya yaitu faktor penyewa pesawat alias lessor.

“Saat ini Garuda Indonesia bekerja sama dengan 36 lessor, sebagian di antaranya terlibat kasus korupsi dengan manajemen lama,” kata dia dikutip saat rapat bersama Komisi VI DPR RI baru-baru ini.

Ia menambahkan, Garuda Indonesia semakin terbebani dengan model bisnis yang kurang tepat. Menurutnya, Garuda Indonesia mesti mengubah bisnisnya dengan fokus pada pasar penerbangan domestik.

Gagasan ini didasari pada data kepariwisataan nasional yang menunjukkan 78 persen perjalanan wisata dengan Garuda Indonesia dilakukan turis domestik, sedangkan 22 persen lainnya turis asing

Sementara itu, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan harga sewa yang terlalu mahal, dengan penggunaan jenis pesawat yang terlalu banyak mulai dari Boeing 737-777, A320, A330, ATR, hingga Bombardier menjadi beban tersendiri. “Memang jenis pesawat juga terlalu banyak, sehingga efisiensi menjadi bermasalah,” ungkap Wamen BUMN.

Garuda Indonesia Lepas Pesawat Leasing

Pengamat Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono Wibowo angkat bicara mengenai hal ini. Ia mengatakan kalau saat ini, Garuda Indonesia memang tidak bisa lagi menutup-nutupi kerugian dan sengkarut masalah yang ada di dalam manajemennya.

Bahkan, Sony menyebut belakangan diketahui sejumlah pesawat sewaan (leasing) sudah mulai dikembalikan Garuda Indoensia ke perusahaan penyewanya.

“Sekarang memang pesawat-pesawat leasing juga mulai dilepas. Kode-kodenya dihapus, misalnya kita tahu di badan pesawanya ada kode “PK” yang menunjukkan ini kode Indonesia. Sekarang pesawat Garuda sudah tidak ada kode itu,” katanya kepada Asumsi.co, Jumat (18/6/21).

Baca Juga : Kondisinya Memburuk, Ini Sejarah Maskapai Garuda Indonesia

Menteri BUMN, lanjutnya menargetkan pesawat-pesawat sewaan yang dilepas, bisa ditarik lagi dan menggunakan kode Indonesia pada akhir tahun ini. Cuma hal ini menurutnya tidak akan semudah itu.

“Targetnya akhir tahun ini bisa kembali, tapi kalau kita lihat keadaan sekarang, sebenarnya pemasukan paling besar yang diperoleh Garuda ini karena ada haji dan umroh, kemudian wisata. Kalau melihat kondisi pandemi COVID-19 yang semakin parah saat ini, kayaknya agak sulit, meski pariwisata mulai bergerak pelan-pelan dan kalau haji dan umrah sih memang masih enggak jelas,” imbuhnya.

Ia menambahkan, Garuda Indonesia selama ini dikenal sebagai maskapai penerbangan nasional yang membawa lambang negara. Menjadikan privatisasi sebagai solusi masalah yang dihadapi Garuda Indonesia saat ini, menurutnya bisa memicu pro dan kontra di tengah masyarakat.

“Rakyat kita akan merasakan kehilangan atas kebanggaan terhadap Garuda kalau dijual atau diprivatisasi. Garuda ini kan, flag carrier maskapai yang membawa lambang negara,” ucapnya.

Padahal, kata dia sejak tahun 2000-an konsep flag carrier sudah mulai ditinggalkan hanyak negara, salah satunya Amerika Serikat.

“Amerika saja sekarang sudah enggak punya flag carrrier. Di Amerika saat ini ada 2 maskapai besar United Airlines dan Delta Air Lines. Tapi itu sekarang sudah bukan flag carrier. Mereka sudah enggak ada lambang negara Amerika di badan pesawatnya. Makanya untuk kepresidenan banyak negara punya pesawat sendiri enggak harus pakai maskapai milik pemerintahnya,” terangnya.

Disarankan Dijual ke WNI

Sony mengungkapkan jika privatisasi terhadap Garuda Indonesia dilakukan, maka penting untuk menentukan kepada siapa akan di jual. Ia menekankan, sebaiknya jika Garuda Indonesia dijual diprioritaskan untuk dibeli oleh warga negara Indonesia (WNI) supaya kebanggaan terhadap maskapai ini masih bisa dirasakan masyarakat.

“Apa kita mau memberikan privillege supaya orang kita yang beli? Memang harus didorong orang-orang kita saja yang membeli jangan sampai dibeli asing, saat ada perusahaan kita yang dibeli sama asing kan susah kita beli lagi,” kata dia.

Indonesia harus berkaca pada  AS atau Inggris yang saat ini sudah tak lagi memiliki maskapai nasional, tapi maskapai penerbangan mereka dikuasai bisnisnya oleh warga negaranya.

“Mereka sudah enggak punya flag carrier tapi maskapainya kebanyakan milik warga negaranya. Privatisisai emang perlu karena kita lihat manajemen Garuda saat ini sangat kesulitan dan enggak bisa mandiri mengelola bisnisnya,” terangnya.

Baca Juga : Garuda Indonesia Kecolongan Angkut Penumpang Positif COVID-19

Namun menurutnya, kemungkinan besar jika privatisasi dilakukan pemerintah Indonesia tetap membuka peluang besar bagi asing untuk membelinya.

“Tentunya diharapkan dibeli sama orang kita karena Garuda ini punya ikatan emosional dengan lambang negara kita. Cuma Menteri BUMN melihat kayaknya pemikirannya, siapa saja yang punya uang baik asing atau pengusaha atau orang kaya dari negara kita, silakan beli,” tuturnya.

Siapa Orang Indonesia yang Bisa Beli?

Menurut Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Raradiansyah melihat kondisi Garuda yang sudah dalam posisi mati suri seperti ini, memang hanya ada dua langkah penyelamatan yang bisa dilakukan.

“Pertama, bagaimana misalnya pemerintah tetap bertanggung jawab memberikan stimulus secara penuh kapasitas atau kerugian yang ditanggung Garuda atau yang kedua, menjual Garuda dengan memprivatisasinya kepada swasta,” kata dia saat dihubungi terpisah.

Bila pilihan pertama yang diambil, kata dia pemertintah mau tidak mau dihadapkan pada besarnya anggaran yang mesti disediakan untuk menyelamatkan kondisi keuangan Garuda Indonesia.

“Sementara kita masih dalam situasi pandemi COVID-19. Kalau pilih yang kedua, risikonya pemerintah akan kehilangan Garuda. Ini akan berbahaya bagi hajat hidup orang banyak. Kalau dimiliki swasta tentu harganya atau tarif tiketnya tidak bisa dikendalikan lagi, bagi masyarakat berpenhjasilan rendah (MBR) yang ingin menggunakan Garuda, otomatis akan kesulitan,” jelasnya.

Jika pemerintah Indonesia tetap ingin menjualnya kepada asing, ia menyarankan agar tidak memprivatisasinya secara penuh kepada mereka.

“Menurut saya sebaiknya di fifty-fifty saja. Ini jalan tengah, artinya separuh dimiliki swasta dan sepatuh lagi dimiliki negara. Buat perawatan diserahkan pada swasta atau manajemennya diserahkan ke swasta. Nah pemerintah tetap terlibat perlindungan penumpang, layanan konsumen dan nama baiknya apapun yang berkaitan dg kepentingan publik,” ujar Trubus.

Ia mengatakan, jika memang harus dijual ke swasta, pengusaha swasta nasional harus diprioritaskan. Ada dua nama yang disebut cocok untuk menjadi pemilik Garuda yaitu Pemilik CT Corp, Chairul Tanjung, dan Menteri BUMN Erick Thohir.

“Di kita kan, juga enggak kekurangan orang kaya. Misal jual ke Pak CT dikelola dalam perusahaan yang ada di bawah naungannya, Pak Erick Thohir kalau mau beli, lebih bagus. Jadi jangan berpikir pragmatis asal dapat duit. Nanti efeknya kita menderita enggak punya maskapai nasional,” tandasnya.

Share: Jika Garuda Jadi Perusahaan Swasta, Baiknya Dimiliki Siapa?