Isu Terkini

Beda Dalam Doktrin Agama, Bisakah Anggota FPI Jadi JAD?

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Nama Front Pembela Islam (FPI) disebut lagi. Kini bukan hanya terkait sidang Imam Besarnya, Habib Rizieq Shihab, tetapi karena dugaan sangkut pautnya dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). 

Sebagaimana diberitakan sejumlah media, Selasa (30/3/2021), dari rangkaian penangkapan yang dilakukan Polri, menyusul bom bunuh diri di katedral Makassar, Minggu (28/3/2021), ditemukan tersangka yang menyimpan sejumlah atribut FPI. Dalam konferensi pers, dua terduga, yakni AS dan SAS, bahkan disebut Polri berbaiat atau bersumpah setia kepada JAD di markas FPI. 

Kaitan antara FPI dengan JAD bukan kali ini saja terdengar. Pada 10 Februari 2021, merujuk pada pemberitaan CNN Indonesia, narapidana kasus terorisme yang juga pimpinan JAD, Zainal Anshori alias Abu Fahry menyebut kalau di tahun 2005 JAD sempat jadi sayap organisasi FPI Lamongan. Abu Fahry menyebut, kolaborasi ini didasari kesamaan semangat dalam nahi munkar atau melawan kemaksiatan. 

Namun pernyataan ini dibantah oleh FPI. Melalui eks Sekretaris Umumnya, Munarman, FPI memastikan kalau FPI Lamongan sudah dibekukan sejak 2013. Sebabnya, saat itu FPI Lamongan menyebut Dewan Pimpinan Pusat FPI adalah thagut atau berhala yang biasa diistilahkan oleh kelompok radikal ekstrem kepada kepemimpinan yang mereka nilai zalim. 

Dalam pemberitaan Republika, edisi 19 Februari 2021, Munarman juga menegaskan ketiadaan hubungan dengan Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang jadi induk JAD. Menurutnya, ISIS berpaham takfiri, mengkafirkan kelompok di luar kelompoknya. Sementara amalan agama yang dilakukan oleh FPI dianggap bertentangan dengan pemaham ISIS.

“FPI memiliki amaliyah maulid, tawassul, tabarruk, ziarah kubur. Sedangkan ISIS mengharamkan bahkan mengkafirkan semua amaliyah tersebut,” kata Munarman. Dengan alasan perbedaan ideologi inilah maka FPI menolak ide-ide ISIS.

Ideologi Takfiri ISIS 

Takfiri singkatnya adalah pemahaman yang menilai kelompok di luar pemahaman kelompoknya adalah sesat. Pada beberapa kelompok tertentu, kesesatan ini dipahami secara ekstrem sebagai wajib diperangi. 

Jamileh Kadivar, dari University of Westminster, London dalam “Exploring Takfir, Its Origins and Contemporary Use: The Case of Takfiri Approach in Daesh’s Media“, mencatat bahwa ISIS menggunakan interpretasi tunggal atas Islam dan memusuhi mereka yang menolaknya. Itu menjadi alasan ISIS menyerang sesama Muslim, baik dari Sunni apalagi Syiah. 

Dalam beberapa dokumen ISIS, Jamileh memaparkan perluasan klasifikasi di luar Islam yang boleh diperangi. Tidak hanya pada soal akidah, perkataan atau perbuatan, tetapi juga mereka yang mengadopsi demokrasi atau memperjuangkan nasionalisme, hingga faksi yang melawan ISIS. Itulah mengapa ISIS pun memusuhi Al Qaeda. 

Bella Widya dalam “Pemahaman Takfiri Terhadap Kelompok Teror di Indonesia Studi Komparasi JI dan JAD” menulis perkembangan ISIS sangat berpengaruh pada perkembangan JAD secara umum. Ini senada dengan dengan pernyataan tokoh JAD Aman Abdurrahman yang menyebut JAD setia pada ISIS. Aman, mengacu pada penelitian Widya, banyak memahami gerakan ISIS lewat media propagandanya, Dabiq. Aman juga aktif dalam menulis buku seri Tauhid yang pada intinya melegalisasi peperangan di Indonesia. 

Sementara FPI dari segi doktrin agama dan teologi sebetulnya senada dengan apa yang dipahami Nahdlatul Ulama. Mereka menekankan fiqih pada pandangan Sunni dengan Mazhab Syafi’i dan tauhid yang mengaju pada pokok pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiyah. Hal yang ditentang oleh doktrin ISIS. Dengan begitu, apa yang disampaikan Munarman terkait perbedaan ideologi ISIS dengan FPI bisa dibenarkan. 

Mungkinkah Terhubung? 

Peneliti terorisme Ridlwan Habib menilai, meski terdapat perbedaan dari sisi doktrin agama, tidak menutup kemungkinan adanya anggota FPI yang terlibat JAD. Namun, Ridlwan menyebut, keterlibatan ini dalam konteks ketidakpuasan mereka pada organisasi lamanya. 

“Mereka lalu memilih JAD yang secara langsung membolehkan melakukan serangan teror. Mereka ingin berjihad dengan kekerasan, dan kelompok JAD menghalalkan itu, karena itu mereka pindah ke JAD, ” katanya. 

Ridlwan menyebut aliran JAD adalah salafi-jihadis yang memperbolehkan serangan kepada orang kafir. Latar belakang salafi-jihadis memang berakar pada doktrin Wahabisme yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Najd, pada tahun 1700-an. 

“Meski begitu, tidak semua pengikut Wahabi menjadi salafi jihadi. Ada juga salafi dakwah yang pro pemerintah,” ujar Ridlwan. 

Saat euforia ISIS di 2015 memang ada sejumlah anggota FPI yang berafiliasi dengan JAD. Namun, setelah diketahui garis perjuangan ISIS membunuh sesama muslim, FPI berpaling. FPI kemudian lewat Habib Rizieq Shihab, sekitar tahun 2017, memilih untuk meninggalkan ISIS. 

“Pada penangkapan di Bekasi ditemukan atribut dan identitas bekas ormas yang sekarang sudah dilarang. Semuanya akan terbuka di pengadilan. Data pengadilan memang ada 35 mantan anggota Ormas yang sekarang dilarang itu yang menjadi anggota JAD, termasuk Zainul Anshori mantan pengurus di Lamongan, mereka sudah dipenjara,” kata Ridlwan. 

Ridlwan pun berpesan agar polisi menindak tegas provokator yang menyebut teroris adalah rekayasa atau konspirasi. Sebab, provokator itu bisa mempengaruhi penyidikan yang sedang berlangsung. Dalam JAD, kata Ridlwan, memang ada anggota kelompok teroris yang beroperasi di media sosial. Tujuannya untuk mengaburkan penyidikan polisi sekaligus membuat masyarakat tidak percaya. 

“Karena itu, pihak-pihak yang tidak percaya dan menyebut terorisme adalah rekayasa harus ditangkap dan dicek. Jangan-jangan dia adalah anggota teroris,” ujar alumni S2 Kajian Intelijen UI tersebut.

Share: Beda Dalam Doktrin Agama, Bisakah Anggota FPI Jadi JAD?