Hiburan

Final Destination Tayang di Netflix, Warganet Akui Paranoidnya!

Irfan — Asumsi.co

featured image
Foto: Unsplash/Dino Motau

Pada 15 Mei 2021 lalu, Netflix Indonesia mengumumkan kalau film “Final Destination” sudah bisa ditonton di platform-nya. Lucunya, dalam pengumuman yang disampaikan lewat akun twitter-nya ini, Netflix menyebut film ini sebagai “yang selalu bikin kita mikir kejauhan tiap lihat truk bawa besi panjang di jalan”.

Sebenarnya seseram itukah efek menonton film karya sutradara James Wong ini?

Ternyata, banyak dari warganet mengatakan ya! Seorang pengguna twitter misalnya, menyebut kalau Final Destination membuatnya ngeri pada momen macet di jalan tol, datang ke dokter mata, antrean drive-thru, hingga alat pemotong rumput.

“Aku memandang semua itu dengan cara berbeda,” cuit akun @indrooow_.

Baca juga: Bioskop Tak Boleh Punah, Apa yang Harus Pemerintah Lakukan?

@FigoAllfarezz bahkan mengaku pengalamannya nonton Final Destination sampai terbawa mimpi. Bahkan dia ngeri saat hendak naik pesawat.

Final Destination memang film horor yang masuk dalam kategori gore. Mendulang sukses sejak debutnya pada tahun 2000, film ini segera sukses dengan deretan sekuelnya yang mulai dari Final Destination 2 pada 2003 hingga yang kelima di 2011. Kabarnya, film keenam dari Final Destination bahkan akan rilis tahun depan dengan janji yang lebih seram.

 Final Destination bercerita tentang seseorang yang tiba-tiba mendapat ilham atas beberapa kejadian yang akan terjadi. Di film pertamanya, ilham ini didapat oleh Alex Browing (Devon Sawa), seorang siswa SMA.

Dia mendapat penglihatan bahwa pesawat yang ia tumpangi bersama teman-temannya untuk sebuah kegiatan wisata akan meledak. Alih-alih percaya, ia mengacuhkan pandangan itu dan menganggapnya mimpi.

Namun, ketika beberapa kejadian kecil dalam mimpinya menjadi nyata, ia mulai percaya. Ia pun mengingatkan kawan-kawannya bahwa pesawat itu akan meledak. Tapi siapa peduli? Toh mereka sedang enjoy di perjalanan menuju destinasi liburan. Kawan-kawan Alex justru marah menanggapi peringatan Alex. Dan tak butuh waktu lama, bom! pesawat Volee Airlines Flight 180 yang mereka tumpangi meledak tak lama setelah lepas landas.

Alex dan beberapa kawannya selamat dari insiden itu. Tapi dimulailah serangkaian teror yang memburu para penumpang selamat. Inilah yang kemudian mengiringi adegan-adegan ikonik yang tertancap dan bahkan kadang membuat merinding penontonnya di dunia nyata.

Wajar film ini membawa ketakutan penontonnya karena proses-proses kematian di Final Destination terjadi lewat barang atau aktivitas sehari-hari. Penggambarannya pun cukup mengerikan.

Misalnya, kejadian kepleset di bathtub, tertusuk pisau di dapur, dihantam ratusan besi dari muatan truk yang berhenti di depan kendaraan kita, hingga tertimpa plang.

Berpengaruh Pada Keseharian

Benjamin Lee, editor seni di The Guardian dalam tulisannya menyebut Final Destination adalah film remaja paling suram yang pernah dibuat. Berbagi kesannya soal film ini, Lee menuturkan memang ada efek unik yang ia rasakan setelah menonton film tersebut di usia 15 tahun.

“Tidak didasarkan pada kualitas tetapi bagaimana mereka kemudian menyerang pengambilan keputusan saya sehari-hari,” kata Lee.

Menurut Lee, Final Destination menjadi lebih berkesan ketimbang film sejenis. Dia selalu berhati-hati pada kemungkinan kecelakaan yang bisa terjadi sebagaimana di film.

Berjalan melewati lokasi konstruksi akan membawa bayangan batu bata yang jatuh menghantam wajahnya. Kamar mandi pasti akan menyebabkan kesalahan fatal. Kursi dokter gigi memiliki segudang kemungkinan mengerikan.

“Unsur-unsur kehidupan sehari-hari yang tampaknya tidak berbahaya tiba-tiba menjadi alat penyiksaan. Ini membawa kerapuhan yang meresahkan ke dunia film dan pada gilirannya, pandangan dunia nyata remaja saya tentangnya,” jelas Lee.

Tetapi lebih dari itu, memberi hikmah bahwa kematian akan datang untuk kita dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menghentikannya. Musuh di Final Destination bukanlah penjahat yang bisa dijatuhkan dalam kobaran peluru. Selain itu, tidak ada akhir yang membuat penonton merasa aman.

“Kematian akan tetap bebas selama sisa waktu dan sementara kita mungkin bisa menipu sekali, bahkan mungkin dua kali, itu akan terus datang dan datang dan datang sampai kita tersingkir,” ucap dia.

Final Destination seolah juga menjadi antitesa dari film remaja pada masanya yang kebanyakan bercerita tentang gairah #YOLO dengan kematian yang jauh dari angan-angan. “Ini bukan film religius yang terbuka, tetapi saya membayangkan bagi beberapa orang yang menganut sistem kepercayaan tertentu, ada alur yang secara aneh meyakinkan di sini, bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan, bahwa kita semua adalah bagian dari rancangan besar,” kata Lee.

Baca juga: Hari Film Nasional 2021, Sejarah hingga Duka Dunia Perfilman di Pandemi COVID-19

Menghantui Produsernya

Jangankan untuk penonton, Craig Perry, produser Final Destination saja mengaku hidupnya menjadi penuh ketakutan karena film ini.

“Saya tidak bisa masuk ke ruangan tanpa merinci bagaimana saya bisa mati,” kata Perry kepada Consequence.

Dia mungkin bercanda, tapi ini mungkin masuk akal. Karena keterlibatannya yang luas dalam serial ini, mulai dari brainstorming set, potongan yang rumit hingga penulisan ulang skrip utama, sangat mungkin berpengaruh ke aspek lain dalam hidupnya.

Menurut Perry, hal yang membuat Final Destination menonjol dan pada akhirnya bertahan adalah pada gagasannya. Film ini mengajak penonton untuk memahami soal takdir. Baik kematian maupun kehidupan.

“Film lain tidak akan membuat anda berpikir saat keluar teater: Apakah saya pergi ke kiri atau ke kanan, dan apa artinya itu bagi hidup saya?” ucap dia.

Share: Final Destination Tayang di Netflix, Warganet Akui Paranoidnya!