Budaya Pop

Bioskop Tak Boleh Punah, Apa yang Harus Pemerintah Lakukan?

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Unsplash

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengajak masyarakat agar Hari Film Nasional pada 30 Maret mendatang, menjadi momentum kembali ke bioskop untuk menyaksikan film karya anak bangsa.

Direktur Jenderal Kebudayaan  Kemendikbud Hilmar Farid menyebut momen kembali ke bioskop dinilai tepat dilakukan saat Hari Film Nasional, sebagai bentuk apresiasi terhadap karya anak bangsa.

“Tentunya dengan menerapkan protokol Kesehatan 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak,” kata Hilmar melalui keterangan tertulis yang diterima Asumsi.co, Sabtu (20/3).

Namun, apa semudah itu mengajak orang untuk kembali menonton film di bioskop di tengah pandemi COVID-19 yang masih berlangsung sampai sekarang?

Perlu Ada Jaminan Aman ke Bioskop

Pengamat perflman dari Universitas Bina Nusantara, Ekky Imanjaya mengatakan, bioskop memang penting bagi industri perfilman di negara mana pun, termasuk Indonesia. Akan tetapi, pemerintah diharapkan bukan cuma sekadar menyerukan ajakan semata, melainkan juga perlu memberikan jaminan keamanan masyarakat dari segi kesehatan supaya merasa nyaman kembali menyaksikan film ke bioskop.

“Bioskop penting bagi perfilman, cuma kita lihat apakah lebih penting daripada nyawa seseorang? Sekarang juga kita lihat, sebagian bioskop sekarang sudah dibuka, tapi masih banyak penonton yang enggak mau datang,” kata Ekky kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon. 

Ia menyarankan, pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak pengelola bioskop untuk menyediakan alat tes untuk mendeteksi virus Corona kepada para pengunjung bioskop yang datang. 

“Mungkin misalnya, kalau dikasih GeNose ke pengunjung bioskop, harganya Rp10.000 sampai Rp20.000 sebelum mereka nonton, bisa merasa aman. Bisa juga misalnya, harga tiket Rp50.000 ditambah Rp20.000 buat GeNose yang bayar penonton mau enggak? Kalau enggak, dari pihak bioskop dibantu pemerintah mensubsidi,” ujarnya.

Ekky menegaskan, hal yang paling penting saat ini adalah rasa aman para pengunjung. Menurutnya, masyarakat saat ini merasa kalau vaksinasi yang sedang dilakukan pemerintah belum efektif untuk menjamin keamanan masyarakat.

“Meski ada vaksin, tapi belum menyeluruh. Vaksin juga cuma melindungi sekitar 60 persen. Mau enggak mau, ya memang tetap harus dari segi protokol kesehatan,” ungkapnya. 

Menurutnya, ajakan kembali menonton film ke bioskop kepada masyarakat, perlu kerja sama dan sinergi yang kuat antara pemerintah dengan pelaku industrinya. 

“Seperti asosiasi-asosiasi profesi perfilmannya, terutama juga Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru Kemendibud dan penting juga perwakilan dari penonton. LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Konsumen juga dilibatkan. Sayang banget kalau pemerintah cuma koar-koar kembali ke bioskop tapi masyarakat, penontonnya enggak merasa aman. Terus pemerintah enggak berpikir tindakan konkret yang perlu dilakukan supaya penonton merasa ini lho, jaminan keamanannya,” jelas dia.

Sineas Tunggu Stimulus Pemerintah

Para sineas saat ini terus berdiskusi dengan pemerintah soal paket stimulus untuk industri perfilman. Sejumlah permintaan dari sineas negeri disampaikan, seperti stimulus distribusi film, keringanan pajak hiburan untuk film Indonesia, pemberantasan pembajakan film, dan juga percepatan vaksinasi bagi pekerja industri film. 

Kampanye “Kembali Menonton di Bioskop” juga menjadi salah satunya. Pelaksanaan stimulus inilah yang tengah dinantikan oleh para sineas Tanah Air.

Founder sekaligus CEO Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko mengungkapkan, skema stimulus untuk industri perfilman Indonesia saat ini sedang dipersiapkan secara matang oleh Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian dengan berkomunikasi bersama para pelaku industri film Indonesia.

“Skema yang sedang dipersiapkan adalah skema yang memiliki efek trickle down dari hulu ke hilir. Jumlah pekerja industri film, animasi dan video Indonesia sekitar 50 ribu orang di tahun 2019. Pekerja bioskop saja ada rata-rata 10 orang per layar sebelum pandemi dengan jumlah layar 2, total ada 117 pekerja. Ini tentunya perlu menjadi perhatian,” jelas Angga saat dihubungi Asumsi.co.

Ia menerangkan, berdasarkan fakta yang diterimanya dari lapangan, di kala pandemi film yang dirilis di bioskop turun dari 129 ke 7 judul, sementara jumlah bioskop yang beroperasi dari 420 situs hanya beroperasi 190 situs. 

“Otomatis banyak pekerja film yang kehilangan pekerjaan. Stimulus ini sedang dirancang agar roda industri kembali berjalan, yaitu bioskop sebagai penyumbang 90 persen dan pemasukan sebuah film bisa beroperasi secara optimal,”

Stimulus ini diharapkannya juga mampu meningkatkan kepercayaan diri produser film untuk kembali memutar filmnya di bioskop dan berproduksi lagi. “Sehingga para pekerja film di semua sub sektor kembali bisa mendapatkan penghasilan,” pungkasnya. 

Bioskop Tak Tergantikan

Angga menilai tren menonton film secara streaming yang kian menjadi tren di masa pandemi, tentu tidak serta merta menjadi solusi terbaik agar penonton tak perlu menonton film di bioskop. 

Ia memang merilis salah satu film karya rumah produksinya, “Story of Kale” melalui layanan streaming pada tahun lalu. Akan tetapi, sesungguhnya ia merindukan perilisan film di bioskop karena suasana dan euforianya yang berbeda.

“Streaming tidak bisa menggantikan bioskop. Pertama, saat ini saja baru ada 3 jutaan unique user yang subscribe digital platform. Berbanding 52 juta tiket yang terjual di 2019, tentu jauh sekali. Kemudian, streaming hari ini masih sangat beresiko dibajak, sehingga membunuh economic value dari karya tersebut,” terangnya. 

Resiko pembajakan Ini, kata dia, tentunya sangat merugikan industri perfilman. “Tanpa ada business process yang sehat, sulit untuk melihat industri yang sustain. Sementara sustainability ini sangat mempengaruhi kesejahteraan pekerja” ucapnya.

Pria yang juga dikenal sebagai produser dan sutradara film ini juga mengingatkan bahwa bioskop memiliki rantai keterkaitan dengan beragam industri non perfilman. Hal ini, menegaskan bahwa eksistensi bioskop tidak boleh punah.

“Bioskop adalah experience economy yang mempunyai trickle down efek ke banyak industri lain, seperti retail, F&B (makanan dan minuman), parkir, property bahkan petani jagung yang jadi bahan popcorn. Sehingga nilai keekonomian bioskop penting karena menggerakan banyak hal lain selain orang-orang film,” jelas Angga.

Share: Bioskop Tak Boleh Punah, Apa yang Harus Pemerintah Lakukan?