Musisi sekaligus mantan vokalis grup band Drive, Anji, ditangkap polisi atas penyalahgunaan narkotika. Penyanyi dengan nama lengkap Erdian Aji Prihartanto itu ditangkap di sebuah rumah di kawasan Cibubur, Jakarta Timur, pada Jumat (11/6/2021).
Dari hasil penangkapan tersebut, polisi menyita barang bukti narkotika jenis ganja. “Dari tangannya, kami berhasil mengamankan narkoba yang diduga ganja,” ujar Kepala Unit Metro Jakarta Barat, Ajun Komisaris Hary Gasgari, dikutip dari Tempo.co.
Penangkapan Anji menambah daftar panjang penyalahgunaan narkotika, khususnya ganja, oleh para artis. Beberapa di antara yang menghebohkan adalah Dwi Sasono, Jefri Nichol, hingga Jeff Smith. Ketiganya mengonsumsi ganja untuk mengatasi sulit tidur dan menangani stres.
Baca juga: Polemik Kepmentan soal Ganja Tanaman Obat yang Terbit Lalu Dicabut | Asumsi
Menilik penggunaan ganja oleh kalangan artis, apakah ganja memang semudah itu digunakan untuk mengatasi gangguan tidur atau stres? Bagaimana sih sejarah penggunaan ganja yang sebenarnya?
Ganja memiliki sejarah panjang dalam penggunaannya oleh manusia. Penggunaan ganja dimulai di Asia. Melansir dari American Addiction Centers, ganja sudah ada sejak 5.000 tahun lalu. orang Mesir kuno menggunakan ganja untuk mengobati glaukoma serta peradangan umum. Di Tiongkok, Kaisar Fu Hsi menyebut ganja sebagai obat populer pada 2.900 SM. Pada 100 SM, orang Tiongkok menggunakan ganja untuk pengobatan yang diidentifikasi memiliki lebih dari 100 kegunaan.
Berbeda halnya di India. Pada 1.000 SM, orang India menggunakan ganja sebagai campuran minuman. Minuman itu disebut bhang yang merupakan campuran ganja, susu, dan bahan lainnya. Bahkan, minuman ini masih digunakan di India hingga sekarang.
Dalam buku berjudul Marijuana: The Unbiased Truth about the World’s Most Popular Weed, selain sebagai campuran minuman, ganja di Anak Benua Asia ini juga digunakan sebagai media pengobatan. Orang India menggunakannya sebagai anti-plegmatis dan anestesi. Selain itu, orang India kuno juga mengklaim ganja dapat menjadi obat untuk menyembuhkan kusta, disentri, serta demam. Ganja juga digunakan untuk memudahkan seseorang tidur dan meningkatkan kognisi. Bahkan, orang India menganggap ganja dapat memperpanjang usia.
Baca juga: Selinting Pembahasan RUU Narkotika dan Legalisasi Ganja | Asumsi
Ganja memiliki sejarah panjang dalam hal spiritual di India. Dikisahkan, Dewa Hindu Siwa beristirahat di bawah tanaman ganja dan memakan daunnnya setelah pertengkaran keluarga. Veda, kumpulan kitab suci kuno, menyebut ganja sebagai ramuan untuk melepaskan seseorang dari kecemasan. Dalam buku Marijuana: A Reference Handbook oleh Newton D pada tahun 2013, satu cerita dalam Veda menggambarkan setetes nektar surgawi jatuh di bumi dan menjadi tanaman ganja.
Masyarakat dari budaya kuno lainnya juga menggunakan ganja. orang Yunani kuno menggunakannya untuk peradangan, sakit telinga, dan pembengkakan. Sejarawan Yunani Herodotus menggambarkan ganja yang dihisap untuk tujuan spiritual, emosional, dan terkadang sebagai sarana ‘rekreasi’.
Bagaimana sejarah ganja di Indonesia?
Menurut Kamus Sejarah Indonesia, ganja atau cannabis sativa berasal dari Laut Kaspia. Meskipun begitu, ada yang melaporkan bahwa Jawa menjadi tempat bermulanya penyebaran ganja. Ganja disebut muncul pada abad ke-10. Dalam tulisan Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan oleh Dania Putri dan Tom Blickman pada tahun 2016, ganja mulanya digunakan sebagai sumber serat dan minuman keras. Sejumlah penulis Belanda pada masa penjajahan mencatat, daun ganja dicampur dan dibakar dengan tembakau yang banyak ditemukan di wilayah Aceh kala itu.
Di wilayah Aceh, ganja juga digunakan untuk memasak dan menjadi campuran makanan atau minuman. Sebagai bahan memasak, misalnya, benih ganja dicampur ke dalam masakan untuk meningkatkan kelembaban, citarasa, hingga warna. Dalam hal pengobatan, bunga ganjalah yang berperan. Bunga ganja direndam di dalam tuak dan disimpan di dalam bambu untuk dijadikan obat kuat.
Meskipun tanaman ganja banyak ditemukan di utara Pulau Sumatra, beberapa dokumen lain menemukan bahwa tanaman ini juga tumbuh di wilayah lain, seperti Jakarta, Bogor, dan Ambon pada zaman Hindia Belanda. Ganja digunakan oleh para pemilik warung untuk meningkatkan aroma maupun efek dari tembakau kering. Tembakau kering inilah yang kemudian dilinting dalam daun pisang dan dijadikan rokok.
Berbeda halnya dengan penggunaan ganja di Ambon. Dalam buku berjudul Herbiarium Amboinense yang terbit pada tahun 1941, ahli botani Jerman-Nelanda, G.E. Rumphius, menuliskan bahwa masyarakat Ambon mendapatkan biji ganja dari Jawa. Kemudian, orang Ambon membudidayakannya untuk dijadikan media pengobatan.
Masyarakat Ambon mengonsumsi ganja untuk mengobati penyakit gonorea. Bagian lain, seperti daun ganja, terkadang juga digunakan untuk mengurangi gangguan asma, sekresi empedu, hingga nyeri dada pleuritik. Penggunaan ganja di Ambon berlabuh pada tujuan ‘rekreasi’, daun ganja kering yang dijadikan teh ganja dikonsumsi untuk meningkatkan ketenangan psikis. Istilah itu disebut hayal yang kemudian dikenal dengan istilah khayal, tak jauh dari imajinasi dan fantasi.
Penggunaan ganja akhirnya menciptakan kekhawatiran. Dalam Konferensi Opium Internasional pada tahun 1912, studi mengenai penggunaan ganja dalam perspektif ilmiah perlu dilakukan. Tujuannya untuk menindaklanjuti secara legal apabila terjadi penyalahgunaan ganja.
Kepala Laboratorium Farmakologis Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan di Hindia Belanda, Willem G. Boorsma, ditunjuk untuk memeriksa penggunaan ganja di Hindia Belanda Timur. Hasilnya, Willem tidak menemukan hal-hal yang signifikan terkait penggunaan ganja. Meski begitu, pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk meningkatkan pemantauan penggunaan hingga budidaya ganja. Apabila tanaman ganja ditemukan di suatu daerah, kepala administrator daerah tersebut wajib untuk melaporkannya. Penggunaan ganja di suatu daerah pun dimasukkan ke dalam laporan tahunan.
Larangan penggunaan ganja pun meluas hingga skala internasional. Akhirnya, pemerintah Belanda memutuskan untuk membatasi akses ganja di Hindia Belanda. Hal itu diatur dalam Verdoovende Middelen Ordonnantie (Dekrit Narkotika) tahun 1927. Pokok bahasan dalam dekrit tersebut adalah konsumsi dan produksi opium, terutama monopolinya di Hindia Belanda. Sebab, ganja seringkali digunakan sebagai pengganti opium.
Sebelum dekrit tersebut disahkan, pemerintah provinsi atau daerah, termasuk Aceh, terlebih dahulu menerapkan aturan serupa pada tahun 1924. Dalam perundang-undangan itu, disebutkan bahwa pihak yang membudidayakan, menyimpan, memiliki, dan terlibat dalam transaksi ganja dihukum dengan denda 100 guilders. Penangkapan terkait ganja pun meningkat selama tahun 1930-an. Itulah masa-masa paling awal di mana upaya penegakan hukum atas ganja dimulai.