Malaysia kini tengah diterpa isu yang cukup sensitif terkait persoalan agama. Hal itu bermula ketika Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur mengeluarkan keputusan tentang diperbolehkannya penggunaan kata “Allah” oleh kalangan nonmuslim.
Persoalan penggunaan kata “Allah” bagi nonmuslim di Malaysia memiliki sejarah panjang hingga ke tahun 1980-an. Pada tahun itu, Pemerintah Malaysia bahkan sampai mengatur belasan kata yang dikhususkan penggunaannya bagi muslim saja. Dalam artikel ilmiah yang ditulis oleh Dian Shah – mahasiswa doktoral dari Duke University, Amerika Serikat – berjudul The Allah Case: Implications for Religious Practice and Expression in Malaysia, pemerintah Malaysia sempat mengatur sampai 16 kata yang hanya bisa digunakan oleh muslim dan tidak bisa digunakan oleh nonmuslim pada tahun 1986.
Dalam artikel yang terbit di Oxford Journal of Law and Religion itu disebutkan bila Kementerian Dalam Negeri Malaysia adalah institusi yang mengeluarkan keputusan tentang kata-kata apa saja yang khusus diperuntukkan secara eksklusif oleh kalangan muslim dan tidak boleh dipergunakan oleh kalangan nonmuslim. Meskipun, dalam prosesnya, ada semacam keringanan aturan yang diterapkan bagi kalangan gereja.
Menurut catatan Shah, kitab injil berbahasa melayu masih bisa memakai kata “Allah”, tapi dengan peredaran yang terbatas. Kitab injil itu hanya bisa dipergunakan di gereja dan dibubuhi keterangan “bukan untuk muslim”. Dalam kasus-kasus lainnya, pemerintah Malaysia tidak melonggarkan aturan itu. Shah mencatat ada beberapa kasus mengenai pelarangan impor kitab injil yang mengandung kata-kata yang dianggap eksklusif untuk muslim.
Dalam perjalanannya, pengetatan aturan itu berlangsung naik-turun. Pada tahun 2002, pemerintah Malaysia sempat memberikan kelonggaran bagi terbitan mingguan berbasis Katolik, The Herald, untuk menggunakan kata “Allah” dalam publikasinya. Namun pada tahun 2009, pemerintah kembali mengetatkan aturan mengenai penggunaan kata “Allah” tersebut.
Kalangan Gereja Katolik Malaysia lama-kelamaan bereaksi terhadap aturan pemerintah Malaysia dengan menempuh judicial review. Kalangan Gereja Katolik Malaysia berargumen bahwa peraturan pemerintah Malaysia melanggar konstitusi mengenai kebebasan beragama, kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi.
Pemerintah Malaysia pun tidak ketinggalan menyiapkan argumennya. Pemerintah Malaysia beranggapan bahwa pelarangan hanya diterapkan kepada the Herald dan lebih ditujukan untuk menghindari “kebingungan beragama”. Pemerintah Malaysia rupanya menganggap bila kata-kata “Allah” dipakai di luar kalangan muslim, maka hal itu dapat mengancam ketertiban umum dan meningkatkan sensitivitas keberagamaan di tengah masyarakat.
Menurut Shah, pemerintah Malaysia berpendapat bahwa penggunaan kata “Allah” oleh the Herald bertentangan dengan kebijakan negara untuk mengontrol dan membatasi penyebaran agama selain Islam. Lebih lanjut, pemerintah Malaysia juga menekankan kepada the Herald agar dapat menggunakan kata alternatif untuk merujuk pada Tuhan.
Apa yang terjadi baru-baru ini, dimana Pengadilan Malaysia memutuskan untuk memperbolehkan penggunaan kata “Allah” di kalangan nonmuslim, merupakan bagian lain dari proses hukum yang selama ini ada terkait dengan peraturan kata-kata eksklusif bagi muslim tersebut. Proses hukumnya pun telah berjalan lama, yakni sejak tahun 2008. Dikutip dari Kompas.com, proses itu bermula ketika warga Malaysia beragama kristen, Jill Ireland Lawrence Bill, menggugat pemerintah karena telah menyita 8 piringan cakram padat dengan konten pendidikan kristen miliknya.
Dalam proses hukum yang dijalani Bill, pengadilan Malaysia mengabulkan gugatannya pada tahun 2014. Kedelapan cakram padat milik Bill pun dikembalikan lagi. Namun demikian, belum ada perubahan apapun terkait peraturan kata-kata “Allah”. Baru pada tahun 2017, Ketua Pengadilan Federal Malaysia kembali mengangkat persoalan itu secara lebih spesifik. Perjalanannya pun tidak mudah karena peradilannya sempat tertunda beberapa kali dengan berbagai alasan. Baru pada Rabu, 10 Maret 2021, pengadilan Malaysia bisa mengeluarkan keputusan mengenai penggunaan kata-kata “Allah” di kalangan nonmuslim.
Tegangan antara dua ideologi
Akademisi dari National University of Singapore, Jacklyn L. Neo, sempat mengemukakan analisisnya mengenai persoalan penggunaan kata “Allah” ini dalam artikel ilmiahnya berjudul “What’s in a Name? Malaysia’s “Allah” Controversy and The Judicial Intertwining of Islam with Ethnic Identitiy” yang terbit di International Journal of Constitutional Law tahun 2014. Dalam artikelnya itu, Neo berpandangan bahwa persoalan pembatasan kata-kata eksklusif bagi muslim itu tidak terlepas dari tegangan antara dua ideologi yang dominan dan melekat dalam sistem konstitusional Malaysia.
Menurut Neo, pembentukan sistem konstitusional Malaysia tidak terlepas dari tegangan persaingan antara ideologi “ethnonasionalisme” dan “pluralnasionalisme”. Ethnonasionalisme berpandangan bahwa Malaysia merupakan sebuah negara satu bangsa yang berbasiskan satu ras, satu bahasa, dan satu agama. Sementara ideologi yang lainnya, pluralnasionalisme, memiliki basis pemikiran yang intinya mengarahkan Malaysia untuk menjadi bangsa majemuk dan multietnis yang mampu menampung banyak ras, banyak bahasa dan banyak agama. Neo menambahkan, kedua ideologi itu selalu menjadi dasar yang menentukan dan kerap bertegangan dalam proses-proses hukum, politik dan dinamika masyarakat Malaysia secara umum.