Sumber Foto: Investor.id
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan saat ini likuiditas perbankan meningkat. Peningkatannya itu tak tanggung-tanggung. Besarannya sekitar Rp2.219 triliun, itu data terakhir pada Februari 2021. Sebelumnya, di periode yang sama, likuiditas perbankan mencapai Rp1.241 triliun.
Sebagaimana diketahui, likuiditas adalah kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek yang dimilikinya pada saat jatuh tempo. Sederhananya, perbankan perlu dana tunai sebagai cadangan perusahaan. Namun, jika dana cash yang disimpan terlalu besar, potensi perputaran uang sedikit yang terjadi di masyarakat.
Hal ini, menurut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso menandakan bahwa rendahnya daya konsumsi masyarakat di saat pandemi Covid-19. Lihat saja permintaan kredit per Januari 2021. Kata Wimboh, permintaan kredit turun menjadi -1,92 persen. Penurunan ini lantaran permintaan di masyarakat masih rendah.
“Bisa dilihat LDR perbankan 82 persen, artinya ada banyak likuiditas di bank. Namun, jika tidak ada permintaan, akan sulit memberikan kredit kepada masyarakat,” ujar dia.
Ekonom makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky mengatakan, keadaan seperti ini patut diwaspadai. Menurutnya, fenomena ini menunjukkan selain permintaan masyarakat yang belum meningkat, juga harapan ekonomi pulih di benak masyarakat masih jauh.
“Memang ini kembali lagi ke isu demand,” ungkap Riefky.
Sebab Kelebihan Likuiditas
Kelebihan uang diperbankan ini disebabkan adanya kebijakan Bank Indonesia yang menurunkan Giro Wajib Minimum (GMW) serta ada stimulus fiskal yang diberikan pemerintah. Di sisi lain, hal tersebut perlu untuk menjaga sisi likuiditas.
“Pada tahun 2020 pemerintah menempatkan uangnya di sektor pebankan sekitar Rp66 triliun sebagai deposit money. Ini merupakan kebijakan antara fiskal, moneter dan sektor keuangan, sehingga harus terus dijaga dari sisi likuiditas,” kata Wimboh.
Upaya Genjot Konsumsi
OJK telah meyiapkan langkah-langkah strategis seperti yang sudah dilakukan saat ini. Pemerintah dan otoritas saat ini terus berupaya memberikan beragam kebijakan agar masyarakat lebih mudah saat melakukan kredit. Khusus OJK, pihaknya telah berupaya mendorong penurunan suku bunga di bawah 10 persen.
“OJK dan BI juga menurunkan standar prudensial untuk memastikan adanya permintaan,” tuturnya.
Kendati begitu, Sri Mulyani Menteri Keuangan, menyatakan bahwa saat ini tengah mengevaluasi berbagai skema untuk mempercepat transmisi penurunan suku bunga.
Dalam suatu pembahasan yang dilakukan bersama OJK, BI, dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), timbul kesimpulan bahwa kemampuan tingkat suku bunga kredit antarbank tidak bisa seragam.
“Memang tidak dipungkiri ini berbeda dari satu bank ke bank lain. Pertama dari kondisi awal neraca mereka, cost of fund mereka dan landing rate mereka, sehingga tidak bisa digeneralisasi dari policy ini,” jelasnya.