Isu Terkini

Baca Buku Digital Jadi Tren, Bagaimana Nasib Buku Cetak?

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image

Foto: Unsplash

Setahun sudah Indonesia hidup berdampingan dengan Covid-19. Keadaan ini mampu membuat tren digitalisasi di berbagai bidang mulai bermunculan.

Salah satunya adalah tren dalam hal membaca buku digital menyusul sejumlah penulis yang memutuskan untuk menerbitkan karyanya secara daring di masa pandemi.

Membaca buku digital juga digandrungi, lantaran masa pandemi membuat banyak orang lebih banyak beraktivitas di rumah, serta menghabiskan waktu dengan gawainya.

Kebiasaan orang membaca di Indonesia pun meningkat karena tren ini. Hal tersebut berdasarkan hasil survei yang dirilis The Digital Reader yang didukung oleh Amazon pada 10 November 2020.

Infografik Survei Kebiasaan Membaca Dunia 2020 ini menunjukkan adanya kenaikan minat baca masyarakat Indonesia sebanyak 1 peringkat, dari posisi 17 ke 16 di masa pandemi.

“35 persen pengguna internet secara global (termasuk di Indonesia) lebih banyak memanfaatkan waktunya untuk membaca,” demikian dikutip dari survei The Digital Reader.

Tren buku digital dimanfaatkan untuk donasi

Penulis yang di awal masa pandemi memutuskan untuk menerbitkan karyanya secara digital adalah penulis muda Marchella FP.

Kreator yang dikenal lewat karya intelektual “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” merilis buku digital berjudul “Tidak Ada yang Kemana-mana Hari Ini” pada April 2020.

Buku “Tidak Ada Yang Kemana-mana Hari Ini” ditulisnya, sebagai upaya merespon kondisi yang dialami semua orang ketika segala ruang geraknya harus dibatasi akibat pandemi.

“Sebagian keuntungan buku ini akan digunakan untuk membantu masyarakat dan pekerja seni yang terdampak Corona,” kata Cechel, panggilan akrabnya melalui pernyataan di akun Instagram pribadinya.

Ia mengungkapkan kebahagiaannya karena buku digital perdananya ini disambut hangat para pembacanya.

Sebulan kurang penjualannya, buku tersebut laris dibeli 3.566 orang yang ikut serta berdonasi dalam program penggalangan dananya.

“Senang sekali dan semoga bukunya bermanfaat,” ucapnya menyampaikan harapannya.

Mendekatkan Penulis dan Pembaca

Hikmah dari tren buku digital belakangan ini turut dirasakan oleh penulis lainnya, Dewi “Dee” Lestari.

Di masa pandemi, wanita yang juga dikenal sebagai musisi ini menerbitkan karya terbarunya berjudul “Rapijali”, dalam format buku digital bersambung.

Langkah ini bukan kali pertama dilakukan Dee. Sebelumnya, pada tahun 2018 ia menerbitkan buku dalam format digital berjudul “Aroma Karsa”.

Lebih jauh lagi, istri dari Reza Gunawan ini pernah menerbitkan novel “Perahu Kertas” menggandeng salah satu provider telekomunikasi di awal tahun 2000.

Ada pengalaman berkesan yang dirasakannya saat menerbitkan buku digital, sejak dirinya merilis “Aroma Karsa” yang melibatkan forum pembaca di dalamnya.

Konsep ini kembali berlanjut saat merilis “Rapijali” bersama salah satu penyedia layanan penerbitan daring.

Lewat forum ini, para pembaca bisa langsung memberikan komentar untuk setiap bagian cerita yang baru dirilis. Bahkan para pembaca saling melempar canda satu sama lain hingga menciptakan kedekatan personal dengan Dee.

Ia tidak pernah menyangka, perilisan buku digital justru melahirkan kedekatan dengan para pembaca secara personal.

“Berawal dari “Aroma Karsa”, lanjut ke “Rapijali” hubungan ini semakin dekat. Saya sampai dapat banyak sekali paket hadiah dari mereka selama pandemi ini, nggak habis-habis,” ujarnya kepada Asumsi.co, baru-baru ini.

Dee mengharapkan agar hubungan baik antara dirinya dengan Digitribe bisa terus terjaga dan senantiasa mendukungnya dalam berkarya.

Antisipasi pembajakan dalam perilisan buku digital

Meski lebih fleksibel dan mudah dijangkau oleh para penggemar buku. Tren buku digital ini juga mampu mendatangkan peluang masalah baru yang perlu diatasi oleh para penulis, apalagi jika bukan rentannya pembajakan.

Hal ini diantisipasi oleh penulis Raiy Ichwana yang baru saja merilis buku digital dalam format bersambung pada Februari lalu.

Ia membatasi akses buku digitalnya dengan merilis setiap bagian ceritanya di dalam mail list eksklusif.

Mail list ini berisikan 125 anggota yang merupakan pembaca yang membeli paket buku digital, serta produk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang ada di dalam ceritanya.

“Pembaca akan menerima kode akses khusus yang berbeda setiap rilis bagiannya. Kode akses ini terkoneksi dengan sistem keamanan yang sudah disiapkan,” jelasnya kepada Asumsi.co, Selasa (2/3/21).

Akses keamanan ini, kata dia, akan merekam aktivitas setiap pembacanya. Jika ada pembaca yang “bandel” melakukan tangkap layar pada naskah bukunya, maka akan terekam dan dilakukan pemblokiran.

“Sejauh ini, mungkin baru seperti itu sistem keamanan untuk merilis buku digital. Saya sih, percaya para pembaca ini orang-orang yang sangat menghargai karya penulis dan tidak nekat membajak,” ungkap dia.

Adapun perlindungan terhadap hak cipta sebuah karya, dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002. Terdapat sanksi pidana dan denda bagi pelaku pembajakan.

Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang tentang Hak Cipta berikut:

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit RP. 1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah). Atau pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa degan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum satu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai yang dimaksud padaayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyakRp. 500.000.000,00 (Limaratus Juta Rupiah).

Selain itu, perlindungan hak cipta karya digital, juga dilindungi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 32 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

  1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik[1] Orang lain yang tidak berhak.
  3. Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

Sedangkan, sanksi pidananya tertuang dalam Pasal 48 UU ITE, yaitu:

  1. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  3. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Buku cetak tetap tak terganti

Lucia Aryani, salah satu penikmat buku digital mengaku format bacaan ini sangat memanjakan para penikmat buku yang belum berani kembali mengunjungi toko buku saat ini.

Tak heran, menurutnya bila membaca buku digital menjadi tren terutama bagi kalangan milenial. Ia bahkan tergabung dalam komunitas baca buku digital melalui grup WhatsApp.

“Serunya membaca buku berformat digital terutama adalah sisi praktisnya,” ucapnya.

Ia menambahkan, kehadiran tren ini sungguh menjadi penghibur di tengah padatnya aktivitas bekerja di masa pandemi yang tak kenal waktu.

“Buku digital tetap bisa dinikmati lebih mudah di berbagai gawai sambil melakukan kegiatan lain,” katanya.

Lebih lanjut, wanita asal Sunter, Jakarta Utara ini meyakini masa depan buku di Indonesia akan lebih dikuasai buku digital.

“Terutama untuk segmen kalangan dewasa muda di pangsa urban. Cuma buku cetak masih akan tetap memiliki pangsanya sendiri, karena ada rasa yang tidak tergantikan dari memiliki dan membaca buku fisik,” tuturnya.

Pengamat Literasi Perpustakaan Anak Bangsa, Eko Cahyono menilai tren buku digital di masa pandemi tak akan serta merta menggeser kehadiran buku fisik.

Menurutnya, pembaca buku digital tetap akan selalu merindukan pengalaman membaca buku cetak.

“Pengalaman mencium wangi kertas sampai ditandatangani langsung penulisnya di halaman buku, itu yang tak akan tergantikan,” ucap peraih Kick Andy Awards ini.

Pria berdarah Jawa Timur ini pun mengaku ikut serta dalam arus tren buku digital yang tengah berlangsung saat ini.

Di perpustakaan umum yang didirikannya di Malang, ia menyiapkan komputer serta akses internet agar pengunjungnya bisa membaca koleksi buku digital yang hanya bisa diakses secara daring.

“Saya juga jadi banyak menyediakan bacaan e-book di perpustakaan saya, tapi ternyata tetap saja orang-orang lebih banyak pinjam buku cetak,” ungkapnya.

Share: Baca Buku Digital Jadi Tren, Bagaimana Nasib Buku Cetak?