Sumber foto: lexxion.eu
Massifnya perkembangan perusahaan teknologi di dunia, termasuk Indonesia, membuat regulator mau tidak mau harus beradaptasi. Apalagi negeri ini memiliki potensi ekonomi digital yang luar biasa besar.
Data Temasek dan Google tahun 2020 menyebutkan ekonomi digital bangsa ini akan melejit pada tahun 2025. Ada beragam bidang yang berkontribusi menyumbang ekonomi dari sisi digital.
Berdasarkan riset tersebut, diproyeksikan ekonomi digital Indonesia akan meningkat tiga kali lipat dari US$ 40 miliar menjadi US$ 124 miliar. Meroketnya itu didorong oleh beberapa industri. Pertama, e-commerce. E-commerce akan berkontribusi dari US$ 32 miliar di tahun 2020 menjadi US$ 83 miliar.
Kemudian online traveling dari US$ 3 miliar pada tahun 2020 menjadi US$ 15 miliar pada tahun 2025. Setelah itu, dari media online berpotensi naik dari US$ 4,4 miliar menjadi menjadi US$ 10 miliar. Terakhir, industri transportasi dan makanan berbasiskan internet dari US$ 5 miliar menjadi US$ 16 miliar.
Melihat besarnya potensi ekonomi digital tersebut, pemerintah merasakan harus menjaga stabilitas iklim dalam persaingan usaha. Terlebih, permainan algoritma menjadi senjata bagi perusahaan-perusahaan teknologi saat ini yang diisukan ditujukan untuk menetapkan harga. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah mengendus adanya indikasi algoritma untuk penetapan harga.
“Faktanya pada perkara yang kami tangani, produk dan jasa mereka untuk menentukan harganya sudah gunakan algoritma. Jadi, kami merasa sangat perlu untuk melakukan pemahaman mendalam, ada beberapa penelitian yang akan kami lakukan mengenai proses algoritma harga ini pada proses penentuan harga di Indonesia,” ujar Ketua KPPU Kodrat Wibowo.
Menurutnya, di zaman yang serba digital ini, memiliki tantangan dari sisi penegakan hukum pada online platform. Hukum persaingan makin kasat mata karena perilakunya tersembunyi.
“Maksud dari perilaku tersembunyi ini adalah penggunaan bigdata, teknologi algoritma sehingga KPPU akan lebih sulit menemukan secara sah dari kacamata hukum perilaku itu melanggar,” kata Kodrat.
Bisa Membahayakan
Dalam jurnal hukum bisnis Bonum Commune Februari 2021 yang ditulis Julienna Hartono, Julianda Rosyadi, dan Xavier Nugraha, menyebutkan algoritma harga memang menawarkan efisiensi dalam pengambilan keputusan terkait penentuan harga barang ataupun jasa. Teknologi ini pun bisa disalahgunakan.
Salah satu bentuk penyalahgunaannya adalah dengan menjadikan algoritma harga sebagai alat untuk menyesuaikan harga mengikuti harga yang digunakan oleh pelaku usaha pesaingnya. Pada titik inilah potensi pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat muncul.
“Pasal ini mengatur tentang larangan perjanjian penetapan harga. Perjanjian penetapan harga dilarang karena berimbas kepada konsumen yang harus membeli barang maupun jasa di atas harga kompetitif,” tulis mereka.
Maka itu, pengawasan untuk mencegah praktik semacam ini diperlukan. Kodrat Wibowo menyebutkan bahwa praktik pengawasan algoritma untuk penetapan harga sudah mulai dikembangkan oleh KPPU di sejumlah negara. Seperti halnya di negara-negara Eropa.
“Di Eropa sedang mengkaji dan menyiapkan pasal untuk masuk ke amandemen UU. Mereka menganggap algoritma itu entitas, as a person, dianggap sebagai manusia yang menentukan harga,” jelas dia.
Kasus
Sejumlah kasus pelanggaran persaingan usaha berbasis algoritma pernah terjadi di luar negeri. Salah satu dari kasus itu adalah kasus Poster Cartel Case. Kasus ini menyeret Amazon pada tahun 2015.
Kronologinya, terjadinya kongkalikong antara produsen yakni David Topkins seorang direktur perusahaan yang menjual poster secara online membuat kesepakatan harga dengan pedagang online lainnya di Amazon.
Tujuannya untuk menetapkan, menaikkan, dan menstabilkan harga poster yang dijual di seluruh AS lewat Amazon. David kemudian membuat algoritma di perusahaannya untuk menerapkan harga sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.
Menurut dokumen yang diajukan di pengadilan federal San Francisco, cara kotornya itu dilakukan dari September 2013 hingga Januari 2014. Departemen Kehakiman mengatakan kegiatan ini melanggar Undang-Undang Sherman (Undang-undang antitrust), undang-undang antimonopoli federal, dengan menyebabkan poster dijual dengan harga yang tidak kompetitif.
“Kami tidak akan mentolerir perilaku antikompetitif, baik itu terjadi melalui Internet menggunakan algoritma dengan penetapan harga yang rumit,” kata Asisten Jaksa Agung Bill Baer dari unit antimonopoli Departemen Kehakiman dalam sebuah pernyataan.
“Konsumen Amerika memiliki hak atas pasar online yang bebas dan adil, serta dalam bisnis fisik,” jelasnya.
Cara Kerja Algoritma
Ditulis Julienna Hartono, Julianda Rosyadi, dan Xavier Nugraha, berikut adalah gambaran cara kerja algoritma yang disalahgunakan untuk penetapan harga: