Isu Terkini

500.000 Kasus Positif COVID-19: Mau Sampai Kapan?

Faisal Irfani — Asumsi.co

featured image

Nyaris tak ada kabar bahagia dalam konteks penanganan COVID-19 di Indonesia. Saban hari kita harus melihat kekurangan di berbagai sisi, membuat keinginan untuk menyamai kiprah Selandia Baru tak ubahnya mimpi yang kelewat muluk.

· Data Satuan Tugas Penanganan COVID-19 menunjukkan bahwa per 24 November 2020 terdapat 506.302 kasus positif COVID-19, dengan 425.313 orang dinyatakan sembuh dan 16.111 meninggal dunia. Setengah juta kasus positif tersebut tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

· DKI Jakarta menjadi penyumbang kasus positif tertinggi, sebanyak 127.164 (25,6 persen). Disusul setelahnya berturut-turut: Jawa Timur (58.679, 11,8 persen), Jawa Barat (48.064, 9,7 persen), Jawa Tengah (47,380, 9,5 persen), dan Sulawesi Selatan (19.896, 4,0 persen).

· Catatan Satgas Penanggulangan COVID-19 menyatakan bahwa ada lebih dari 1.600 klaster penyebaran virus di Indonesia.

· Capaian setengah juta kasus positif ini membikin Indonesia memimpin klasemen di kawasan Asia Tenggara, mengalahkan Filipina yang berada di angka 420.614 kasus.

· Sementara di tingkat dunia, Indonesia berada di posisi 21, tepat di bawah negara Asia lainnya, Irak, yang telah mengumpulkan 537.457 kasus.

Namun, data itu bukanlah satu-satunya masalah yang dihadapi pemerintah Indonesia sehubungan dengan penanganan COVID-19.

· Kemampuan penelusuran kontak (contact tracing) kita masih belum maksimal, dengan kata lain belum memenuhi rasio yang ditetapkan: 1:30. Pemerintah sendiri, diwakili juru bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, mengakui kekurangan itu dan tengah berupaya meningkatkannya.

· Kawal COVID-19 pernah merilis data dan publikasi yang menyebut kemampuan contact tracing di daerah-daerah Indonesia masih rendah. Rendahnya contact tracing, sebut Kawal COVID-19, punya korelasi dengan tingkat kematian yang tinggi.

· Kapabilitas Indonesia dalam melakukan tes juga jauh dari ideal. Sampai 23 November 2020, rasio tes Indonesia masih belum mencapai angka 1 untuk 1.000 orang, sebagaimana yang disyaratkan WHO. Padahal,  tanpa tes yang mumpuni, pemerintah tak bisa memahami bagaimana virus ini menyebar. Bila tak bisa memahami, kebijakan yang diambil pun berpeluang tak tepat sasaran.

Apa konsekuensi terburuknya?

· Bila tidak ada respons yang lebih serius, meningkatnya kasus positif COVID-19 bakal berdampak ke sistem kesehatan Indonesia, yang menuju titik kolaps.

· “Kasus penularan Covid-19 yang tak terkontrol dapat berakibat kolapsnya sistem kesehatan,” kata Eka Ginanjar, Ketua Tim Protokol Tim Mitigasi PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

· Ini terlihat di DKI Jakarta yang sampai detik ini tingkat keterpakaian tempat tidur dan ruang ICU di rumah sakit yang jadi rujukan penanganan COVID-19 sudah mencapai angka di atas 50 persen.

Tanggapan pemerintah: Presiden Joko Widodo menginginkan agar libur panjang akhir tahun, yang sebelumnya difungsikan sebagai pengganti libur Idul Fitri, dipangkas jumlahnya.

· Tapi, di saat bersamaan, pemerintah tetap melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang jatuh pada 9 Desember nanti.

· Keputusan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan pilkada dianggap penuh risiko sebab berpotensi menghasilkan kerumunan massa, terutama saat proses kampanye.

· Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memperlihatkan bahwa terdapat hampir seribu pelanggaran selama masa kampanye—dihitung dari 26 September hingga 25 Oktober.

· Rinciannya: 237 pelanggaran pada 10 hari pertama, 375 pelanggaran di 10 hari kedua, dan 306 pelanggaran di 10 hari ketiga.

· Ada 39.309 kampanye tatap muka, namun yang dilakukan secara online hanya 247 kegiatan.

Jadi, sampai di sini, kita paham betapa sembrononya cara kita menghadapi bahaya besar ini, bukan?

Share: 500.000 Kasus Positif COVID-19: Mau Sampai Kapan?