Isu Terkini

Pembangunan “Eco-tourism” di Taman Nasional Komodo Sejahterakan Masyarakat Setempat?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Foto: Kementerian PUPR

Proyek pembangunan “eco-tourism” di Pulau Rinca, kawasan Taman Nasional Komodo, mendapatkan penolakan keras dari masyarakat. Proyek ini dianggap membahayakan habitat komodo yang hanya terdapat di Nusa Tenggara Timur dan termasuk sebagai spesies yang rentan mengalami kepunahan.

Menanggapi itu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, menyampaikan bahwa pihaknya memastikan bahwa pembangunan sarana dan prasarana yang berpusat di Loh Buaya, Pulau Rinca tidak akan mengganggu habitat komodo.

Pertama, Wiratno mengklaim bahwa proyek pembangunan hanyalah merombak sarana dan prasarana yang telah ada. “Semuanya di lokasi sarana dan prasarana yang sama, yang dulu sudah ada dibongkar,” ujar Wiratno dalam konferensi pers (28/10).

“Jadi ini sebetulnya pengganti sarana prasarana yang terpencar-pencar menjadi satu sistem terpadu.”

Wiratno ikut menyebut bahwa proyek pembangunan ini hanya dilakukan di zona pemanfaatan atau zona hijau yang diperuntukkan untuk pusat pembangunan dan pengembangan wisata. Di Taman Nasional Komodo, zona hijau ini punya luas 824 hektar atau 0,4% dari total luas Taman Nasionak Komodo. Dari total luas tersebut, Wiratno mengklaim pembangunan hanya dilakukan di wilayah seluas sekitar 1 hektar.

“Walaupun persentasenya kecil, kami memastikan bahwa komodo tidak boleh menjadi korban pembangunan. Tidak boleh ada satupun komodo yang menjadi korban.”

Kedua, proyek pembangunan dikatakan telah mengantongi izin lingkungan hidup. “Izin lingkungan hidup sudah keluar per tanggal 4 September kemarin. Izin tersebut disusun sesuai dengan Permen LH No. 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup,” papar Wiratno yang ikut menyampaikan bahwa progress pembangunan saat ini telah mencapai 30% dan ditargetkan selesai pada Juni 2021.

Ia memastikan bahwa komodo yang berlalu-lalang di wilayah pembangunan akan tetap terlindungi. Setiap harinya, ada 10 ranger yang bekerja untuk memeriksa keberadaan komodo di reruntuhan, kolong bangunan, ataupun di kolong truk. “Di lembah-lembah loh yang jadi tempat atraksi itu ada sekitar 66 ekor komodo. Hanya 15 ekor yang aktif berinteraksi dengan pengunjung. 15 ekor saja.”

Wiratno menyebutkan penataan sarana dan prasarana di Loh Buaya, Pulau Rinca ini bertujuan untuk menggerakkan ekonomi di wilayah setempat. Menurutnya, selama ini, sebagian besar pendapatan pariwisata di wilayah tersebut tidak banyak masuk ke penduduk setempat sendiri. Data yang ia pegang pada 2013 menunjukkan bahwa dari Rp270 miliar pendapatan di Kabupaten Manggarai Barat, 76%-nya masuk ke operator kapal dan wisata dan 22% ke hotel dan restoran. Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya 2% dan retribusi daerah hanya 0,45%.

“Saya punya data detail tentang siapa saja yang mendapatkan manfaat ekonomi dari keberadaan komodo ini. Yang jelas, unsur masyarakatnya masih kurang. Makanya harus ada community-based. Eco-tourism harus didorong terus. Sehingga masyarakat setempat menjadi salah satu pelaku utama dari ekowisata yang khas di Taman Nasional Komodo ini,” lanjut Wiratno.

Peringatan Rusaknya Habitat Komodo dan Minimnya Keterlibatan Masyarakat Setempat

Sebelumnya, WALHI NTT menilai proyek pembangunan di wilayah Pulau Rinca ini telah mengganggu dan mengancam ekosistem komodo. Komodo merupakan jenis hewan yang soliter atau memiliki sifat penyendiri, kecuali di saat musim kawin. Sentuhan-sentuhan pembangunan dinilai akan berdampak pada perubahan habit alami komodo dan mengganggu keberadaan komodo.

Apalagi, meskipun proyek pembangunan hanya dilakukan di sebagian kecil wilayah Pulau Rinca, habitat terbesar reptil ini terletak di pulau tersebut dan di Pulau Padar. Secara ekologi, keduanya mempunyai topografi yang paling cocok dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan spesies ini.

WALHI mengecam segala bentuk pembangunan yang menghilangkan keaslian habitat komodo dan mendesak pemerintah untuk mengembalikan tujuan awal pembentukan Taman Nasional Komodo sebagai kawasan konservasi. Pihaknya menilai bahwa seluruh kebijakan pembangunan di kawasan ini semestinya berbanding lurus dengan semangat konservasi hewan purba ini. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mestinya turun tangan menghentikan pembangunan skala besar di Taman Nasional Komodo.

“Kami melihat fenomena ini membuktikan kekhawatiran kami di awal. Bahwa proses menjadikan kawasan konservasi Pulau Rinca di dalamnya juga masuk urusan-urusan wisata yang berbasis pada infrastruktur skala besar,” ujar Direktur WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi dalam rilis persnya (26/10).

“Pemerintah provinsi dan nasional harusnya lebih fokus pada urusan sains dan konservasi kawasan ekosistem komodo dibandingkan urusan pariwisata yang berbasis pada pembangunan infrastruktur skala besar yang merusak ekosistem komodo,” lanjutnya menegaskan.

Masyarakat setempat pun menyatakan bahwa belum ada kesepakatan tertulis antara warga dengan pemerintah terkait pembangunan ini. Warga setempat telah mengajukan sejumlah syarat yang mesti dipenuhi pemerintah sebelum proses pembangunan dilakukan. Pertama, agar ekosistem dan kehidupan satwa komodo di wilayah itu tetap terlindungi. Kedua, agar masyarakat setempat dipekerjakan dalam mengelola kawasan wisata. Ketiga, pembangunan tidak merusak mata pencaharian warga sekitar yang umumnya merupakan nelayan.

“Masyarakat juga meminta ada sumbangsih untuk masyarakat di sini, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan hal-hal semua itu butuhnya secara tertulis. Ada pengakuan dari pemerintah dengan masyarakat Pasir Panjang. Cuma yang kita tunggu sampai sekarang belum ada secara tertulisnya,” ujar Sumardin yang merupakan salah satu warga desa Pasir Panjang, Pulau Rinca.

Masyarakat setempat yang tergabung dalam sejumlah kelompok masyarakat sipil peduli Komodo pun telah menyurati UNESCO, meminta organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan dunia di bawah PBB itu untuk turun tangan mengkaji rencana pemerintah dan menginvestigasi situasi teranyar di Taman Nasional Komodo. “Kami selaku masyarakat yang sekian tahun telah diwasiatkan oleh leluhur untuk menjaga komodo sebagai saudara telah dicederai oleh bangunan investasi di dalam alam komodo,” kata Akbar, salah satu perwakilan koalisi.

Share: Pembangunan “Eco-tourism” di Taman Nasional Komodo Sejahterakan Masyarakat Setempat?