Aparat di AS sempat ingin membubarkan demo di Washington, DC dengan senjata pancaran sinar panas. Saya ulangi: Pancaran. Sinar. Panas.
Akal bulus ini diwartakan oleh NPR dalam laporan investigatifnya yang terbit kemarin (16/9). Alkisah, saat aksi #BlackLivesMatter sedang heboh-hebohnya dan demonstran mengepung Gedung Putih, 1 Juni 2020, kepala polisi militer di Departemen Pertahanan punya gagasan cemerlang. Ia bertanya apakah Garda Nasional yang bercokol di Ibukota AS punya stok “senjata-senjata alternatif” yang dapat digunakan untuk menghalau para demonstran.
Tepatnya, polisi militer bertanya apakah Garda Nasional memiliki senjata pelantang bunyi bernama Long Range Acoustic Device atau LRAD, serta sebuah perkakas gahar bernama Active Denial System atau ADS. Dalam surat mereka kepada Garda Nasional, polisi militer mengaku bahwa kedua peralatan tersebut akan “memberikan pasukan kita kemampuan yang tak mereka miliki, sehingga kami dapat menangani musuh dari jarak yang lebih jauh dari jangkauan senjata laras pendek.”
Kesampingkan sejenak fakta mengganggu bahwa ia menyebut demonstran “musuh”, dan fokus pada kedua alat yang ia minta. Pertama, LRAD. Mesin pelantang tersebut bisa dipakai untuk mengeluarkan perintah sekaligus menggusah kerumunan dengan bunyi bising yang mengguncang gendang telinga. Meski sekilas terkesan mengerikan, permintaan penggunaan LRAD sebetulnya wajar-wajar saja. Malah, menurut hukum AS, aparat yang mengurai massa demonstrasi wajib menggunakan LRAD.
Sebab, perintah agar massa bubar dengan damai harus bisa didengar oleh semua orang. Bila tak dipatuhi, barulah aparat berhak untuk membubarkan paksa dengan kekerasan.
Yang mengerikan adalah permintaan penggunaan ADS, alias senjata pemancar panas. ADS pertama dikembangkan pada awal 2000-an oleh militer AS sebagai senjata pengurai massa. Alat tersebut menggunakan teknologi gelombang mikro untuk menembakkan sinar tak terlihat yang akan membuat kulit sasarannya terasa panas. Ya, kamu tidak salah baca: ADS pada dasarnya bekerja layaknya senjata laser.
Di atas kertas, Death Star mini ini seharusnya jadi alat pengurai massa yang lebih manusiawi dan tidak semenyakitkan gas air mata–terlebih lagi gas air mata kedaluwarsa. Namun, pengembangan ADS penuh dengan masalah. Pada 2008, misalnya, militer AS mengundang sejumlah reporter untuk menjadi sukarelawan “ujicoba” ADS. Mereka berjanji bahwa meski pancaran laser tersebut akan memberikan sensasi panas, kulit tidak akan luka bakar sedikitpun.
Tentu saja itu tidak terjadi. WIRED mewartakan bahwa beberapa sukarelawan mengalami kulit melepuh parah, bahkan seorang petugas Angkatan Udara sampai harus diopname di pusat penanganan luka bakar. Lebih ruwet lagi, insiden AU tersebut ditutup-tutupi oleh militer AS.
Usut punya usut, penyebab luka-luka tersebut sederhana saja: tidak ada pelatihan yang memadai untuk para operator senjata tersebut meski rancang bangun senjata tersebut membuatnya sulit dioperasikan oleh pemula. Akurasi dari senjata tersebut pun dipertanyakan, padahal ADS digadang-gadang sebagai senjata yang selalu tepat sasaran dan hanya akan menyakiti target tertentu saja.
Sejak saat itu, ADS sekali-dua kali dibawa dalam operasi militer, tapi tak pernah digunakan langsung di lapangan. Namun, jangan pikir para politisi dan petinggi militer AS telah melupakan senjata mengerikan tersebut. Pada 2018, Presiden Donald Trump sedang pusing memikirkan kebijakan baru yang dapat mengetatkan aturan imigrasi dan mencegah membanjirnya imigran gelap. Kaki tangannya tiba pada solusi sederhana: pakai saja ADS.
Saran tersebut diutarakan oleh petinggi Bea Cukai dan Perbatasan, yang bertugas menjaga perbatasan negara tersebut. Saking keji dan tak masuk akalnya permintaan tersebut, kabarnya bahkan Menteri Keamanan Dalam Negeri Kirstjen Nielsen sampai mencak-mencak. Ia menyatakan bahwa selama ia menjabat, penggunaan senjata tersebut tak akan pernah diizinkan di AS. Kabar buruk: Nielsen mundur dari posnya pada April 2019.
Oleh karena itulah permintaan penggunaan ADS begitu kontroversial. Senjata tersebut tak hanya terbukti serampangan, tak sesuai fungsi, dan sukar dioperasikan dengan baik. Penggunaannya dianggap tak layak di medan perang, dan terlalu keji untuk mencegah imigran gelap masuk berbondong-bondong. Seolah tak belajar dari pengalaman, kini aparat ingin memakainya untuk membubarkan demonstran.
Saya membayangkan, pada suatu tempat di galaksi nun jauh di sana, Darth Vader membaca berita ini dan terpingkal-pingkal.
“Dasar amatir,” cibirnya, sebelum terpeleset di kamar mandi.