Lebih dari 100.000 orang memenuhi jalan kota Minsk, ibu kota Belarus, untuk menuntut diturunkannya Alexander Lukashenko dari jabatan presiden. Aksi protes ini telah berjalan selama empat minggu berturut-turut. Salah satu pemantiknya: terpilihnya kembali Lukashenko sebagai presiden setelah menjabat selama 26 tahun.
Kemenangan Lukashenko ini ditengarai sarat kecurangan. Seorang petugas penyelenggara pemilu mengatakan dirinya diminta untuk menandatangani dokumen hasil perhitungan suara dengan jumlah yang dibiarkan kosong. Petugas lain yang menyadari adanya pelanggaran saat perhitungan suara langsung dipecat. Petugas-petugas ini diwawancarai oleh The Associated Press yang mengaku bahwa adanya tindakan-tindakan penipuan dan pemalsuan dokumen demi kemenangan Lukashenko.
Pada saat pemilihan umum, Lukashenko berhadapan dengan oposisi bernama Sviatlana Tsikhanouskaya yang mencalonkan diri untuk menggantikan suaminya, Sergei Tikhanovsky, aktivis dan oposisi yang keburu ditangkap sebelum pemilu berlangsung. Pencalonan Tsikhanouskaya mendapat dukungan dari puluhan ribu orang yang turun ke jalan saat kabar tersebut menyebar. Namun, saat hasil pemilu diumumkan, diketahui bahwa Tsikhanouskaya hanya mendapatkan 10% suara, sementara Lukashenko sebesar 80%.
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh sejumlah aktivis di negara tersebut menunjukkan bahwa keganjilan dan kasus-kasus kecurangan ditemukan setidaknya di 24% dari 5.767 tempat pengambilan suara. Pihaknya juga mengambil data dari seperempat tempat pengambilan suara, dan menemukan bahwa Tsikhanouskaya semestinya mendapatkan setidaknya 471.000 suara dari tempat-tempat itu saja. Seorang petugas penyelenggara pemilu juga mengatakan bahwa dirinya belum juga tahu hasil resmi dari perhitungan suara karena angka pastinya tidak pernah dirilis.
Selain karena telah dipimpin oleh tangan besi Lukashenko selama 26 tahun lamanya—membuatnya disebut sebagai “diktator terakhir di Eropa”, aksi protes menuntut turunnya Lukashenko juga dipantik oleh buruknya penanganan pandemi COVID-19 di negara ini. Lukashenko terkenal kerap menganggap remeh penyebaran virus ini, menyatakan bahwa vodka, sauna, dan traktor telah melindungi warga Belarus dari terjangkit virus. Ia pun menilai negara-negara lain telah berlebihan dalam menangani COVID-19, menyebutnya sebagai “sakit jiwa yang masif.”
Sikap menganggap remeh ini kemudian berlanjut pada penindaklanjutan yang setengah-setengah. Tenaga kesehatan tidak dilengkapi APD yang memadai, pelaporan kasus COVID-19 tersendat karena pengetesan yang minim. Pemerintah enggan untuk menetapkan lockdown atau karantina karena khawatir akan diterpa resesi. Namun, Bank Dunia melaporkan bahwa penanganan yang setengah-setengah ini justru membuat ekonomi Belarus berisiko untuk terkontraksi lebih dalam.
“Belarus akan terdampak keras oleh COVID-19. Tapi, pemulihan akan berlangsung lebih cepat jika protokol jaga jarak dapat diimplementasikan dan bantuan langsung tunai dapat diberikan ke pihak-pihak yang rentan,” ujar World Bank Country Manager for Belarus, Alex Kremer.
Hingga saat ini, aksi protes besar-besaran belum membuat Presiden Lukashenko tergerak untuk mundur. Ia justru mengkambinghitamkan negara-negara Barat yang dianggap telah jadi dalang di balik aksi protes. Pihak otoritas pun telah menutup jalan-jalan di pusat kota, menutup akses ke transportasi umum, dan mengerahkan polisi anti huru-hara untuk menangkap orang-orang yang masih melakukan protes.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam keterangan persnya melaporkan bahwa 6.700 orang telah ditahan karena melakukan aksi protes, beberapa di antaranya adalah jurnalis dan pejalan kaki yang sedang melewati jalan. Terdapat pula 450 laporan penyiksaan dan pelecehan kepada peserta aksi protes, dan kekerasan seksual kepada perempuan. Sejumlah orang masih dilaporkan hilang oleh keluarganya hingga saat ini.
PBB mengecam keras sikap represif aparat ini, dan mendesak pemerintah Belarus untuk mengadili pihak-pihak kepolisian yang telah melakukan kekerasan. “Kekerasan dan penghilangan paksa tidak dapat dibenarkan dalam situasi apapun, termasuk dalam situasi ketidakstabilan politik atau keadaan darurat lainnya,” ujar PBB dalam keterangannya. “Tidak ada orang yang boleh dipidana secara hukum karena telah berpartisipasi dalam aksi damai.”