Isu Terkini

Amazon Merekrut Orang untuk Mengintai Pekerja Mereka, dan Bukan Itu yang Paling Parah

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Amazon menerbitkan lowongan pekerjaan sebagai “Intelligence Analyst” dan “Sr Intelligence Analyst” yang salah satu tugas utamanya adalah melacak pengorganisasian serikat pekerja di perusahaan tersebut. Tepatnya, menurut salah satu uraian atas pekerjaan itu, seorang analis berkewajiban untuk “menginformasikan ke pemangku kepentingan aktivitas serikat pekerja yang mengancam perusahaan dan melacak sumber pendanaan aktivitas atau kampanye yang menentang Amazon”.

Ancaman-ancaman yang dimaksudkan oleh Amazon ini termasuk aksi protes, krisis geopolitik, dan konflik yang berdampak pada operasi—tetapi secara spesifik berfokus pada “serikat pekerja” yang disebutkan hingga tiga kali dalam deskripsi pekerjaan.

Iklan yang telah tayang sejak Januari lalu langsung dicabut setelah Vice.com melaporkan ini untuk pertama kalinya ke publik pada 1 September lalu. Perusahaan yang diwakili oleh seorang juru bicara berdalih bahwa “pekerjaan itu bukanlah deskripsi akurat dari lowongan” dan “dibuat atas kesalahan dan telah diperbaiki”.

Kebijakan Amazon ini dikecam oleh berbagai pihak, tetapi tentu tidak mengagetkan. Mantan-mantan pekerjanya kerap menyuarakan soal lingkungan kerja yang tidak manusiawi.

Mantan vice-president Amazon, Tim Bray, mengundurkan diri pada Mei lalu karena muak dengan budaya kerja di sana. Dalam sebuah tulisan di blog-nya, Bray mengungkapkan bahwa perusahaan telah memecat pekerja yang memprotes minimnya protokol kesehatan yang diimplementasikan di gudang. Ada pula pekerja yang dipecat setelah memprotes masalah lainnya, termasuk persoalan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan.

“Tetap menjadi bagian dari Amazon sama saja dengan menyetujui tindakan yang saya benci. Jadi saya mengundurkan diri,” ujarnya.

Pada 2018, video tentang Amazon yang secara terang-terangan menunjukkan sikap anti-serikat pekerja dan mendorong pekerja-pekerja di tingkat manajer untuk memata-matai pekerjanya bocor ke publik. Tentu, bukti-bukti itu selalu disangkal oleh perwakilan Amazon—yang mengatakan video itu tidak lagi digunakan dan dianggap tidak melanggar peraturan ketenagakerjaan yang berlaku di Amerika Serikat.

Akhir Agustus lalu, Open Markets Institute menerbitkan laporan yang membuktikan bahwa tindakan-tindakan itu bukan khayalan para pekerja. Amazon disebutkan telah melakukan pengintaian untuk menindas pekerja dan mengganyang serikat pekerja.

Laporan bertajuk “Eyes Everywhere: Amazon’s Surveillance Infrastructure and Revitalizing Worker Power,” menunjukkan bahwa pekerja telah diintai sejak menginjakkan kaki di tempat kerja: Amazon mewajibkan seluruh karyawannya untuk menanggalkan seluruh barang pribadinya ketika masuk gudang. Mereka hanya diperbolehkan membawa botol minum dan kantong plastik bening berisi uang tunai. Infrastuktur kamera keamanan yang masif dipasang di gudang untuk melacak dan memantau setiap gerak pekerjanya.

Memanfaatkan alat pemindai barang, Amazon dapat mengirimkan perintah kepada pekerjanya untuk menyelesaikan pekerjaan—seperti perintah untuk mengemas barang atau mengirimnya kepada pelanggan. Tetapi, alat tersebut juga bisa menghitung jeda antartugas. Ketika seorang pekerja tidak memenuhi standar produktivitas yang ditetapkan Amazon—seperti jumlah paket yang berhasil diproses per jam—perangkat lunak di alat pemindai itu bisa memberikan peringatan: pekerja ditegur karena menghabiskan terlalu banyak waktu di luar pekerjaan, diberikan surat peringatan, hingga berisiko dipecat.

Tak hanya di dalam gudang, pengintaian ini juga dilakukan kepada pekerja-pekerja yang bertugas mengantarkan barang. Perangkat lunak bernama “Rabbit” atau “Dora” digunakan untuk melacak lokasi pekerja untuk memastikan pekerja selalu mengambil rute yang telah ditentukan oleh Amazon.

Perangkat lunak ini akhirnya juga menghapus kebebasan dan hak individu untuk mengambil keputusan: perangkat ini hanya mengalokasikan waktu 30 menit bagi pekerja untuk makan siang, dan dua istirahat terpisah selama masing-masing 15 menit di siang hari. Pekerja pun dituntut untuk menyelesaikan 999 dari 1.000 pengiriman secara tepat waktu. Jika tidak berhasil, bersiaplah kehilangan pekerjaan.

Ambisi untuk mengintai dan mengendalikan pekerja ini juga terus dikembangkan oleh Amazon: perusahaan ini mematenkan gelang yang dapat “melacak dengan tepat di mana pekerja di gudang sedang meletakkan tangan mereka, dan memanfaatkan getaran untuk menggeser tangan ke arah berbeda.” Pelacakan secara ultrasonik ini dikatakan digunakan untuk “memantau kinerja masing-masing tugas yang telah diberikan.”

Tak hanya dalam hal pekerjaan, pengintaian juga dilakukan untuk menggagalkan usaha mengorganisir serikat pekerja. Amazon menganalisis data yang dikumpulkan dari berbagai sumber untuk mengetahui cabang Whole Foods mana yang punya risiko paling tinggi untuk membentuk serikat pekerja.

Infrastruktur pengintaian di tempat kerja juga dimanfaatkan untuk mengidentifikasi usaha-usaha pengorganisir. Ketika ada sekumpulan pekerja yang ketahuan berkumpul dan berdiskusi, pihak manajer akan mendatangi dan memindahkan masing-masing dari mereka ke tempat berbeda sehingga mereka tidak bisa bertemu lagi.

Pandemi COVID-19 pun dijadikan ajang untuk memisah-misahkan karyawan. “Mereka menetapkan kebijakan baru agar pekerja selalu menjaga jarak dua meter. Jika tidak melakukannya, akan ada peringatan. Tapi hanya pemimpin-pemimpin organisasi yang mereka berikan peringatan, dan ini mereka jadikan kesempatan untuk memecat pekerja,” ujar salah satu pengakuan pekerja.

Apa yang dilakukan Amazon seharusnya telah menjadi lampu merah kesejahteraan pekerja. Perilaku tersebut bisa menginspirasi perusahaan lain, sebagaimana Walmart—pesaing utama Amazon—yang telah mulai mengintai pekerjanya: teknologi pengintaian berupa mikrofon yang bisa menguping pembicaraan pekerja dan pelanggan dipatenkan. Perangkat lunak pemindai wajah juga dipasangkan untuk memantau produktivitas, lokasi, dan pembelian di setiap toko.

Pekerja bukan lagi manusia, melainkan semacam robot yang tak lagi punya kebebasan dan keleluasaan. Seorang pekerja Amazon mengatakan dirinya telah berubah menjadi zombie. Pekerja lain merasa selalu cemas hingga ia merasa ada yang mengawasinya ketika tidur. Kelelahan fisik beralih menjadi terganggunya kondisi jiwa. “Saya butuh waktu dua minggu untuk membiasakan diri berjalan 8 kilometer per hari dan berjongkok ratusan kali. Tapi, ketika tekanan fisik sudah dapat dikendalikan, tekanan jiwa karena mesti memenuhi standar produktivitas robot menjadi masalah lebih besar lagi,” kata salah seorang di antara mereka.

CEO Amazon Jeff Bezos, orang terkaya sedunia, semakin makmur di tengah krisis COVID-19 yang melanda seluruh dunia. Pada saat yang sama, perusahaan yang ia kelola ini juga jadi salah satu perusahaan dengan kondisi kerja paling berbahaya di Amerika Serikat. Tingkat cedera di gudang-gudang Amazon lima kali lipat lebih parah dari rata-rata industri. Dari 46 gudang di 17 negara bagian AS, ada 189 panggilan darurat selama 2013-2018 atas insiden-insiden kesehatan jiwa, termasuk percobaan bunuh diri dan episode-episode gangguan jiwa lain.

“Amazon adalah perusahaan online retailer paling dominan di AS. Tapi jangan salah, Amazon utamanya adalah perusahaan pengintaian yang inti bisnisnya adalah mengumpulkan data. Amazon mengawasi konsumen, pesaing mereka, warga negara, dan terutama pekerja-pekerja mereka,” ujar Open Markets Institute dalam laporannya.

Share: Amazon Merekrut Orang untuk Mengintai Pekerja Mereka, dan Bukan Itu yang Paling Parah