Budaya Pop

Apa yang Bikin Film Pendek “Tilik” Mencuri Perhatian Belasan Juta Penonton?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Hanya dalam dua pekan, film pendek Tilik (2018) yang ditayangkan di Youtube telah ditonton lebih dari 19 juta kali (31/8).

Pencapaian ini terbilang langka untuk film pendek Indonesia. Tak seperti film panjang yang bisa ditayangkan di bioskop, distribusi film pendek terbilang lebih rumit. Film pendek seringkali mengambil strategi untuk berkeliling festival film di luar negeri dahulu untuk mendapatkan banyak exposure. Satu atau dua tahun setelahnya, barulah film dapat dipertemukan dengan penonton umum—baik lewat pemutaran alternatif maupun ditayangkan secara daring. Itu pun, biasanya, hanya film yang mendapatkan cukup banyak nominasi dan penghargaan yang bisa menarik banyak penonton.

Lantas, apa yang membedakan Tilik dengan film-film pendek lain? Pertama, budaya berprasangka dan membicarakan orang lain bisa jadi adalah fenomena yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Apalagi, Tilik bisa menggambarkan itu dari berbagai sisi: karakter Bu Tejo (Siti Fauziah) yang gemar mengurusi hidup orang lain, Yu Ning (Brilliana Desy) yang tak mau ikut-ikutan dan menantang Bu Tejo untuk membuktikan gosip yang ia sebarkan, hingga seorang ibu yang muntah di tengah jalan—entah karena mual berdiri di truk sekian lama atau tak tahan dengan omongan yang semakin menyebar ke mana-mana.

Popularitas Tilik pun tak hanya didorong oleh rasa akrab itu, tetapi juga pro dan kontra yang mengikutinya. Di satu sisi, orang merasa Bu Tejo mewakili realitas budaya bergosip dan kabar burung yang sangat cepar menyebar. Di sisi lain, penggambaran Bu Tejo yang mentok pada mulut pedas dan motivasinya menjatuhkan orang lain ini seperti memperkuat stereotip bahwa ibu-ibu senang bergunjing dan hanya itu yang mereka punya. Pro dan kontra ini pulalah yang bisa jadi membuat semakin banyak orang tertarik untuk menontonnya, dan semakin ramai pula perdebatannya di media sosial.

Di balik itu semua, ada strategi pemasaran dan distribusi yang berpengaruh penting. Dalam diskusi daring bersama produser dan publisis Tilik oleh Asumsi.co, keduanya menyampaikan strategi mereka untuk meramaikan Tilik di jagat media sosial.

Vanis selaku publisis mengatakan bahwa pihaknya sengaja mempromosikan Tilik dengan mempopulerkan karakter Bu Tejo lewat poster-poster di media sosial. Orang yang penasaran dengan karakter Bu Tejo ini kemudian diharapkan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang filmnya. “Kalau dilihat di film, dari awal sampai akhir yang pasti ada terus adalah mukanya Bu Tejo. Bu Tejo itu yang membawa ceritanya untuk terus bergulir. Dari situ kita merasa Bu Tejo cocok untuk dijadikan icon, dan audiens jadi bertanya-tanya ini apa dan siapa. Lalu akhirnya bergulirlah, ‘Bu Tejo ini adalah karakter di film kami, loh, nontonlah,’” ujar Vanis (28/8).

Strategi promosi Tilik yang tayang di Youtube pada 17 Agustus ini juga memanfaatkan ulasan atau impresi singkat dari orang-orang yang berpengaruh di media sosial. Mereka diberikan kesempatan untuk menonton lebih dulu, kemudian diberikan kebebasan untuk membagikan pendapatnya tentang film ini di media sosial. “Kami menghubungi beberapa teman yang cukup memiliki exposure di Twitter dan Instagram, lalu kami menawarkan, ‘film Tilik akan tayang di Youtube, apakah teman-teman bersedia untuk menonton dulu lalu meresponsnya? Terserah dengan apa, bisa kritik, review, apapun.’”

Promosi yang diutamakan lewat Twitter, Instagram, dan WhatsApp ini juga memiliki pendekatan yang berbeda-beda. Di Twitter, Vanis mengatakan banyak meminta bantuan ke akun-akun yang terkenal telah gemar film pendek. Sementara itu, di WhatsApp dan Instagram, target pemasarannya diperluas ke khalayak umum.

“Kami memahami Twitter lebih gerak cepat informasinya karena ia text-based. Orang baca dulu baru lihat gambar, sedangkan Instagram kebalikannya. WhatsApp bisa dua-duanya. Kami rasa kombinasi dari tiga platform ini bisa membawa Tilik jadi masif. Paling nggak, orang ngeh ada film pendek judulnya Tilik,” lanjut Vanis.

Terlepas dari strategi-strategi promosi yang telah dikerahkan, keberhasilan Tilik untuk tak hanya ditonton—tetapi juga dibicarakan dan diperdebatkan—melampaui ekspektasi pembuat film. Respons penonton menjalar secara organik, kemudian bisa jadi memantik rasa fear of missing out (FOMO) bagi orang lain yang belum menonton, dan begitu seterusnya. Tilik maupun karakter Bu Tejo pun sempat menjadi trending topic beberapa kali.

Ketenaran Tilik pun tak sebatas di dunia maya. Pembuat film dan pemeran Tilik diundang ke berbagai acara stasiun televisi. Karakter Bu Tejo dijadikan meme, kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah maupun pemilik brand untuk mempromosikan berbagai program ataupun produk mereka.

Produser Tilik, Elena Rosmeisara, mengatakan pihaknya sedang mempertimbangkan untuk menarik biaya royalti bagi pihak-pihak yang memanfaatkan karakter Bu Tejo atau gambar-gambar lainnya di film untuk keperluan komersial. “Sejauh ini sih kami masih sama-sama kaget, tapi nanti akan ada terusan obrolan untuk membahas ini. Sedang kami proses, karena kebetulan kepemilikan Tilik ini juga ada di Dinas Kebudayaan DIY,” ujar Elena dalam kesempatan yang sama.

Yang jelas, pihaknya kini masih tak menyangka film pendeknya bisa diapresiasi seluas ini.

“Tujuan awalnya sebenarnya nggak buat viral, tapi agar Tilik ditonton aja. Kami memang ingin mengenalkan khasanah film pendek Indonesia nggak cuma ke yang sudah biasa datang ke festival, supaya film ini bisa diapresiasi dalam bentuk apa pun: ditonton, dikritik, dimaknai secara berbeda. Kami jadi percaya bahwa antusiasme teman-teman masih belum mati terhadap film pendek Indonesia, dan kami berterima kasih atas itu.”

Share: Apa yang Bikin Film Pendek “Tilik” Mencuri Perhatian Belasan Juta Penonton?