Aksi protes Black Lives Matter di Amerika Serikat, yang dipicu oleh kematian George Floyd pada 25 Mei lalu, ternyata tidak menyebabkan lonjakan jumlah kasus COVID-19. Hasil penelitian yang belum di-peer review dan diterbitkan oleh The National Bureau of Economic Research ini memantau 315 kota besar di Amerika Serikat untuk membandingkan tingkat keramaian selama aksi protes dengan data kenaikan kasus.
Para peneliti awalnya berhipotesis bahwa aksi protes akan meningkatkan jumlah penyebaran kasus. Tetapi, data menunjukkan hal sebaliknya. Walaupun para demonstran tidak mematuhi anjuran untuk menjaga jarak, aksi yang kebanyakan berlangsung di luar ruangan dan kedisiplinan dalam menggunakan masker membuat penyebaran virus terkontrol.
Selain itu, ada pula bukti bahwa aksi protes membuat orang-orang yang tidak ikut berunjuk rasa lebih patuh untuk tinggal di rumah. Penemuan ini sesuai dengan literatur lain yang menunjukkan bahwa aksi kekerasan atau kriminal membuat orang semakin enggan untuk keluar dari rumah.
Berjudul “Black Lives Matter, Social Distancing, and COVID-19”, penelitian ini mengambil data SafeGraph, Inc., yang menyediakan data pergerakan masyarakat berdasarkan pelacakan ponsel secara anonim dan level pertumbuhan kasus COVID-19 berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC).
Dari 315 kota yang diteliti, diketahui bahwa warga 34 kota di antaranya tidak melakukan aksi protes. Peneliti kemudian membandingkan sampel kontrol berupa kota-kota yang tidak melakukan protes dengan sampel treatment berupa kota yang melakukan protes. Data mengenai pergerakan masyarakat diambil sejak tanggal 15 Mei—10 hari sebelum kematian George Floyd—hingga 13 Juni 2020. Sementara data terkait pertumbuhan kasus COVID-19 diambil selama 15 Mei hingga 20 Juni 2020.
Setelah membandingkan angka penyebaran COVID-19 di kota yang melakukan aksi protes tak lama setelah kematian George Floyd, beberapa waktu lebih lama, dan kota yang tidak melakukan aksi protes, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan angka kenaikan kasus. Tidak ada pula perbedaan kenaikan kasus jika membandingkan jumlah massa, tingkat kekerasan yang terjadi selama protes, dan diberlakukan atau tidak diberlakukannya jam malam.
“Walaupun aksi protes dapat meningkatkan penyebaran COVID-19 di antara demonstran, kami menemukan bahwa aksi protes tidak berdampak signifikan terhadap penyebaran COVID-19 jika meninjau data kenaikan kasus berdasarkan populasi kota,” tulis para peneliti dalam studi mereka.
Walaupun ada kemungkinan bahwa lonjakan kasus tetap dapat terjadi sewaktu-waktu, tetapi para peneliti mengatakan kemungkinan itu sangat kecil. Penelitian ini telah memastikan bahwa sampel data telah meliputi setidaknya 16-21 hari setelah aksi protes berlangsung di setiap kota. Sementara itu, rata-rata periode inkubasi COVID-19 adalah sekitar 5,1 hari, dengan 75% gejala muncul dalam 6,7 hari pertama dan 97,%% gejala dalam 11,5 hari.
Selain taatnya pemakaian masker dan unjuk rasa yang dilakukan di luar rumah, penelitian juga menyorot faktor lain yang dapat menjelaskan minimnya kenaikan kasus. Demografi peserta unjuk rasa yang relatif berusia muda dapat menjadi faktor tidak tampaknya kasus baru. Sebab, penelitian lain telah membuktikan bahwa kebanyakan anak muda tidak menunjukkan gejala COVID-19 yang signifikan dan oleh karena itu tidak memeriksakan diri ke rumah sakit dan melakukan tes.
“Terlepas dari itu, temuan kami menunjukkan bahwa aksi protes dan perlawanan atas COVID-19 berjalan berdampingan. Tapi perlu digarisbawahi bahwa penemuan ini tidak berlaku secara universal,” demikian laporan riset tersebut.
Selain di Amerika Serikat, aksi protes Black Lives Matter juga terjadi di sejumlah negara lain, termasuk Australia. Sama dengan hasil penemuan di Amerika Serikat, tidak ada lonjakan kasus COVID-19 di Australia setelah aksi protes berlangsung lebih dari dua minggu lalu.
Hingga saat ini, hanya empat pengunjuk rasa yang diketahui positif COVID-19. Tapi, para ahli mengatakan kecil kemungkinan mereka menularkannya ke demonstran lain. Profesor Collignon yang bekerja di World Health Organization mengatakan terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan demonstrasi tidak menyebabkan lonjakan kasus.
Pertama, angka penularan dalam komunitas (community transmission rate) di Australia tergolong rendah. Kedua, telah diketahui bahwa risiko penularan COVID-19 di dalam ruangan jauh lebih tinggi dibandingkan di luar ruangan. Ketiga, pemakaian masker yang membantu mencegah terjadinya penularan.
“Ini adalah kabar baik, karena berarti ada aktivitas di luar rumah yang dapat kita lakukan dan kemungkinan tetap aman,” kata Collignon dikutip dari sbs.com. Walaupun begitu, ia tetap mengingatkan agar setiap orang yang memiliki masalah pernapasan—termasuk tenggorokan kering dan demam—tidak meninggalkan rumah atau bertemu dengan orang lain.