Budaya Pop

PlayStation Mengubah Hidup Banyak Orang Indonesia, Termasuk Saya

Mohammad Fahmi — Asumsi.co

featured image

Jumat, 12 Juni 2020, pukul 3 pagi WIB, Sony mengumumkan jajaran game baru serta wujud fisik dari konsol permainan teranyar mereka, PlayStation 5, yang akan rilis pada akhir tahun.

Konsol yang menemani Xbox Series X buatan Microsoft dalam “generasi kesembilan” industri game ini tampil dengan desain elegan–yang menghasilkan banyak sekali meme–serta janji-janji manis teknologi yang bisa memperluas batas-batas lanskap video game.

Tapi, saya tidak di sini untuk bicara soal hal teknis tentang PlayStation 5. Saya ingin bicara soal bagaimana konsol video game, terutama PlayStation, bisa memiliki eksistensi yang terbilang unik dan mengubah hidup banyak orang di Indonesia.

Mengorbankan Bagian Tubuh Demi Mainan

Saya masih ingat, di usia 6 tahun, seperti banyak anak lelaki seumuran, saya menukarkan sebagian tubuh saya demi sebuah mesin permainan. Saya dan kedua orangtua saya bikin perjanjian: seperangkat Super Nintendo Entertainment System (SNES) untuk sepotong kecil kulit di ujung penis saya. Istilah resminya, khitan atau sunatan.

Setelah kurang lebih empat tahun menghabiskan liburan dan akhir pekan dengan SNES, suatu hari saya iseng bertanya ke ayah saya, “Abi, besok beli PlayStation, yuk?” Saya tentu sadar bahwa saya tak bisa disunat dua kali.

Pertanyaan tersebut saya lontarkan di tahun 2000, ketika teman-teman sekolah saya sudah bertahun-tahun memiliki PS1, dan Sony baru saja merilis PS2. Tanpa diduga, ayah saya dengan entengnya menjawab, “Oh, boleh, besok kita ke Glodok ya.”

Sebagai anak yang dididik dengan teori game design, risk and reward, di mana untuk bisa mendapatkan sesuatu saya harus bisa memperoleh pencapaian tertentu, jawaban Ayah saya saat itu mencengangkan. Boro-boro masuk peringkat sepuluh besar di kelas, nilai ulangan yang bisa saya banggakan hanya Bahasa Inggris–hasil bermain video game.

PlayStation membuat saya menyadari potensi video game sebagai alat bercerita. Ia mengandung sastra, musik, seni rupa, seni peran, dan lain-lain seperti film. Dan lebih leluasa ketimbang film, hingga batas tertentu video game dapat melibatkan para penikmatnya dalam pembentukan cerita.

Sony dan Indonesia

Meskipun konsol sudah eksis di Indonesia semenjak zaman NES, disusul oleh Sega Megadrive dan SNES, PlayStation memiliki kedudukan tersendiri bagi masyarakat Indonesia.

Pertama, Sony merupakan perusahaan elektronik terkenal. Nama ini memudahkan proses pengenalan PlayStation kepada orang tua dibanding menyebutkan nama Nintendo, yang sampai sekarang masih disebut ayah saya sebagai “Super Nitendo.”

Kedua, PlayStation juga menjadi saksi kelahiran jurnalisme video game di Indonesia. Dimulai dari tabloid Fantasi dengan segmen kecil khusus video game, sampai ke bermunculannya berbagai majalah yang rata-rata sudah tutup usia sekarang.

Ketiga, aksesibilitas. Ini merupakan grey area. Tidak bisa dimungkiri, PlayStation luar biasa populer di Indonesia berkat ketersediaan dan keterjangkauan harga game bajakan untuk konsol ini. Satu CD dibanderol dengan harga sekitar Rp5.000 saja, padahal versi aslinya bisa dijual sampai ratusan ribu rupiah. Hal ini juga yang membuat saya tidak bisa seratus persen membenci produk bajakan. Tanpa game bajakan, hidup banyak orang dan skena industri kreatif Indonesia saat ini tentu akan sangat berbeda.

Keempat, PlayStation merupakan satu-satunya konsol yang tersedia secara resmi di Indonesia. Ya, kamu mungkin tidak sadar, tetapi produk Nintendo dan Xbox (meskipun Microsoft memiliki kantor di Indonesia) hanya hadir sebagai barang impor yang dijual di sini tanpa distributor resmi.

Berbeda dari PlayStation yang dibawa masuk ke Indonesia secara patut oleh Sony menjelang PlayStation 3 tutup usia. Bahkan PlayStation 4 dirilis Sony secara resmi di Indonesia pada 9 Januari 2014, sebulan sebelum konsol ini dirilis resmi di negara asalnya sendiri, Jepang.

Jujur, saya penasaran akan semeriah apa peluncuran PlayStation di Indonesia, mengingat komunitas PlayStation serta kesadaran masyarakat Indonesia soal produk bajakan sudah jauh lebih dewasa dibanding beberapa tahun lalu.

Mendidik dan Mengeratkan Keluarga

Di tengah hiruk-pikuk pengumuman tanggal rilis PlayStation 5, ada satu topik yang terus bermunculan yang membuat saya bingung. Banyak sekali meme, bercandaan, atau bahkan diskusi serius soal para suami yang harus memutar akal agar diizinkan membeli PlayStation 5 oleh istrinya.

Jika kamu mengalami ini, saya punya beberapa saran untuk menghadapi argumen-argumen yang mungkin muncul:

“Jangan beli PS5, nanti anak jadi ansos!”

Stigma negatif yang paling umum melekat pada gamer adalah tidak bisa bergaul. Sebagai orang yang cukup pede dengan kemampuan bersosialisasinya, saya jelas tidak setuju.

Banyak pertemanan saya, baik itu di sekitar rumah, sekolah, sampai ke lingkungan kerja, terbentuk atas hobi mutual bermain game. Menariknya lagi, walaupun game yang kami mainkan berbeda-beda, kesamaan hobi itu memudahkan kami untuk mulai nongkrong dan mengobrol.

“Masa main game? Main sama orangtuanya dong!”

Jangan salah, banyak sekali game yang dirancang untuk dimainkan bersama oleh anak dan orang tua, atau oleh suami-istri. Bahkan game yang tidak didesain untuk dimainkan bersama pun bisa menjadi sebuah pengalaman yang dibagi dengan keluarga. Jika ibu saya bisa menemani saya bermain Tony Hawk’s Pro Skater dua puluh tahun silam, tidak ada alasan orang tua milenial untuk tidak menemani dan mengawasi anaknya bermain game bersama-sama.

“Nanti ga belajar!”

Memang tanggung jawab orang tua untuk mengawasi aktivitas anaknya. Cara paling mudah tentu dengan membatasi waktu bermain. Seperti saya yang hanya boleh main di akhir pekan atau pun hari libur semasa bersekolah. Bisa juga orang tua mengenalkan sistem reward dengan mengizinkan anaknya bermain asalkan anak sudah menyelesaikan tugas sekolah atau kuis buatan orangtua sendiri.

Intinya, video game bukanlah alasan untuk anak tidak belajar. Bahkan ia bisa menjadi medium tersendiri untuk mengajari anak hal-hal yang tidak diajarkan di sekolah.

“Beli PS5? Emang duit dari mana?!”

Oke, untuk bagian ini saya setuju. Kalau kebutuhan wajib kamu belum tercukupi, dan tabungan cadangan juga masih terlalu mepet. Ada baiknya jangan beli PS5 dulu. Bahkan kalau perlu jadikan PS5 sebagai motivasi untuk mengejar bonus, proyek, ataupun pengingat agar lebih mengontrol pengeluaran. Coba sadar diri dan utamakan kebutuhan pokok keluarga, ya.

Mohammad Fahmi, pengembang game independen asal Jakarta. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai jurnalis game. Ia dapat ditemukan di dunia maya di @fahmitsu.

Share: PlayStation Mengubah Hidup Banyak Orang Indonesia, Termasuk Saya