George Floyd dibunuh oleh polisi. Dia ditangkap atas tuduhan membeli rokok dengan uang palsu, salah satu petugas polisi yang menangkapnya menjepit lehernya dengan lutut ke tanah—membuat Floyd tidak bisa bernapas kemudian meninggal. Kekerasan dan brutalitas aparat kepada orang kulit hitam di Amerika Serikat ini bukan yang pertama dan terakhir. Floyd hanyalah puncak gunung es dari brutalitas aparat kepolisian yang secara spesifik menyasar kelompok minoritas, terutama orang kulit hitam.
Kematian Floyd menyulut demonstrasi besar-besaran di seluruh Amerika Serikat. Aksi protes awalnya berlangsung di wilayah Minneapolis-Saint Paul, kemudian aksi-aksi memprotes brutalitas aparat dan memperjuangkan Black Lives Matter di daerah-daerah lain menyusul.
Kekerasan aparat lagi-lagi terjadi dalam rangkaian unjuk rasa. Sebanyak 17.000 pasukan dikerahkan oleh pemerintah ke berbagai negara bagian. Polisi dengan senjata lengkap pun memblokade jalan-jalan utama dan bersiaga di atap-atap bangunan. Di Brooklyn, sekelompok aparat mengejar individu, memojokkan mereka yang sudah tak bisa melawan, dan menggebuki mereka dengan baton. Mobil polisi merangsek dan menabrak massa aksi.
Di Seattle, seorang aparat kembali menjepit leher seorang demonstran dengan lututnya—membuat orang-orang di sekitar mereka berteriak meminta polisi melepaskan orang tersebut. Anggota kepolisian lainnya menyemprotkan gas air mata ke anak perempuan berusia 9 tahun dan pedemo lain yang beraksi dengan damai.
Aparat penegak hukum kerap mengatasnamakan keselamatan publik, tetapi kemudian melontarkan gas air mata, menghajar demonstran, hingga menembakkan peluru karet ke massa tidak bersenjata dan aksi yang berjalan damai. Penulis Times Magazine Carvell Wallace menyebutkan, “Dalam aksi protes terhadap brutalitas polisi, polisi bukanlah penegak hukum, melainkan lawan protes. Perspektif ini mungkin akan membantu seseorang memahami apa yang kita lihat saat ini [kekerasan aparat terhadap aksi massa].”
Gerakan Black Lives Matter yang memayungi rangkaian protes kali ini bermula pada 2013, setelah seorang remaja kulit hitam bernama Trayvon Martin ditembak mati oleh seorang polisi. Gerakan yang awalnya berupa tagar di media sosial ini kemudian lekat dengan aksi turun ke jalan—setelah dua warga kulit hitam lain, Michael Brown dan Eric Garner, kembali jadi korban kekerasan aparat pada 2014.
Namun, Black Lives Matter bukan gerakan pertama yang memprotes kekerasan aparat terhadap orang kulit hitam. Sebuah poster bertuliskan, “Kami menuntut berakhirnya brutalitas polisi sekarang!” telah terpajang di National Musem of African American History and Culture sejak tahun 1963—atau lebih dari 50 tahun lalu. Pembuat poster bernama Samuel Egerton mengusungnya ketika mengikuti aksi protes di Washington DC.
Jumlah orang kulit hitam atau Afrika-Amerika mencapai 13% dari populasi di Amerika Serikat. Namun, 24% dari jumlah kematian akibat ditembak polisi di negara tersebut menimpa orang kulit hitam. Washington Post juga mencatat orang kulit hitam 2,5 kali lebih berisiko untuk ditembak dan dibunuh oleh petugas kepolisian dibandingkan orang kulit putih.
Jejak Brutalitas Aparat Ke Orang Kulit Hitam
Brutalitas aparat kepolisian terhadap orang Afrika-Amerika tercatat sejak Migrasi Besar—ketika dua juta orang kulit hitam dari Amerika Serikat bagian Selatan bermigrasi ke wilayah Utara dan Barat sepanjang 1916-1970. Migrasi ini dipicu oleh kondisi ekonomi yang buruk, segregasi ras, dan diskriminasi terhadap orang kulit hitam karena pengesahan hukum Jim Crow di wilayah Selatan.
Orang kulit putih beserta kepolisian yang memandang kedatangan orang kulit hitam sebagai ancaman kemudian menindas mereka. Oleh aparat kepolisian, orang kulit hitam mengalami kekerasan fisik seperti dihajar, ditangkap secara tidak sah, kekerasan verbal berupa penghinaan ras dan ancaman, kekerasan seksual terhadap perempuan kulit hitam, hingga pembunuhan.
Setelah Perang Dunia II, kekerasan oleh aparat jadi lebih sering terjadi dan semakin intens. Kemenangan AS dalam perang membuat orang Afrika-Amerika turut menuntut hak mereka atas kebebasan dan demokrasi. Bagi sebagian orang kulit putih, tuntutan ini merupakan ancaman.
Selama periode ini, kelompok supremasi kulit putih seperti Ku Klux Klan dan Dewan Masyarakat Kulit Putih beroperasi secara terbuka di wilayah Selatan. Brutalitas polisi terhadap orang kulit hitam pun didukung oleh pemerintah dan para pemimpin politik. Wilayah tempat tinggal orang kulit hitam yang dipersepsikan sebagai sumber kriminalitas juga membuat semakin banyak kalangan kulit hitam berekonomi menengah ke bawah dikriminalisasi.
Brutalitas aparat telah memicu banyak aksi massa atau gerakan protes jauh sebelum Black Lives Matter, seperti Kerusuhan Watts atau Watts Riot pada 1965 yang berlangsung selama enam hari dan dipicu oleh penangkapan seorang kulit hitam oleh polisi, Kerusuhan Detroit pada 1967 yang dipicu oleh penangkapan 82 veteran perang Afrika Amerika ketika mereka sedang menghadiri pesta kepulangan, hingga Kerusuhan Los Angeles pada 1992 yang dipicu oleh dihajar hingga babak belurnya seorang pekerja konstruksi—Rodney King—oleh polisi dengan baton sebanyak lebih dari 50 kali dan disetrum dengan stun gun berkekuatan 50.000 volt.
Protes terhadap brutalitas ini juga diikuti oleh rasa frustrasi atas ketidakadilan sistemik yang terus melanda oleh orang kulit hitam. Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi membuat banyak orang kulit hitam tak mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan dan memasuki dunia kerja. Rasisme dan segregasi ras telah jadi makanan sehari-hari—ruang-ruang hidup mereka digusur untuk program jalan tol baru hingga perumahan-perumahan mewah. Orang kulit hitam pun terpojokkan untuk membangun tempat tinggal di wilayah lain yang lebih tidak layak
Kerusuhan Detroit menyebabkan 43 orang meninggal dunia—33 di antaranya adalah orang kulit hitam. Lebih dari 7.000 orang ditangkap dan lebih dari 1.000 bangunan terbakar. Sementara Kerusuhan Los Angeles dianggap sebagai kerusuhan terparah sepanjang sejarah Amerika: lebih dari 50 orang terbunuh, 2.300 orang luka-luka, dan kerusakan properti diestimasikan mencapai US$1 miliar.
Kini, salah satu tuntutan utama gerakan Black Lives Matter adalah #defundthepolice. Gerakan ini menyerukan penghentian rasisme sistemik yang membuat budaya korupsi terus merajalela dan orang kulit hitam mati sia-sia. Berhenti mendanai kepolisian juga dinilai sebagai langkah penting untuk memastikan orang kulit hitam bisa selamat dan sejahtera.
“Kematian George Floyd adalah titik puncak—sebuah pengingat bahwa penegak hukum tidak melindungi atau menyelamatkan hidup kami, orang kulit hitam. Mereka justru mengancam dan merampasnya. Kami menuntut pengakuan dan akuntabilitas dari devaluasi dan dehumanisasi orang kulit hitam di tangan polisi. Kami juga menuntut solusi radikal dan berkelanjutan yang memastikan kesejahteraan hidup orang kulit hitam,” seru gerakan Black Lives Matter dalam situs mereka.