Isu Terkini

Kenapa Pengguna Narkoba Masih Terus Kena Stigma?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Polres Jakarta Selatan menangkap aktor Dwi Sasono karena mengetahui dia mengonsumsi dan menyimpan ganja seberat 16 gram. Dalam konferensi pers di akun Instagram Polres Metro Jakarta Selatan, Dwi Sasono dinyatakan terancam hukuman penjara paling singkat lima tahun.

Kebanyakan berita tentang Dwi Sasono di media massa dibumbui dengan kata-kata bernada sensasional seperti “miris”, “cara salah Dwi Sasono isi waktu luang”, hingga tanggapan dari selebritas lain yang ikut prihatin. Foto Dwi Sasono dengan seragam tahanan berwarna oranye dan tudung hitam yang menutupi wajah serta kepala pun beredar di mana-mana.

Alih-alih mendapatkan bantuan dan rehabilitasi, pengguna narkoba di Indonesia masih diperlakukan sebagai kriminal. Berdasarkan pernyataan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Dwi Sasono terancam dijerat oleh Pasal 114 ayat 1 subsider Pasal 111 UU Narkotika. Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Lilik Mulyadi dalam laporan penelitiannya “Pemidanaan terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba” mengatakan bahwa pasal tersebut sebenarnya dipakai untuk menjerat pengedar narkotika golongan I (opium, kokain, heroin, metamfetanmina, dan ganja). Namun, tanpa ada aturan tentang batasan jumlah, seseorang yang hanya memegang satu puntung ganja pun dapat dijerat dengan pasal tersebut dan dianggap sebagai pengedar.

Jikapun terbukti sebagai korban dan menggunakan ganja untuk kebutuhan sendiri, pengonsumsi ganja tetap akan dipidana. Pasal 127 ayat (1), misalnya, menyebutkan bahwa korban penyalahgunaan narkoba tetap dapat dipenjara hingga 4 tahun. Hukuman bagi pengguna narkoba ini jauh lebih berat daripada pelaku KDRT: Pasal 44 ayat (4) UU KDRT menyebutkan bahwa suami yang melakukan KDRT terhadap istri tanpa menimbulkan penyakit hanya dipenjara hingga paling lama 4 bulan.

Hukum yang mengkriminalisasi pengguna hingga media yang ramai-ramai memberitakan kasus penangkapan pengguna narkoba secara sensasional turut berkontribusi menambah stigma negatif terhadap pengguna narkoba. Dalam perspektif hukum Indonesia, pengguna narkoba dianggap sama berbahayanya dengan koruptor—yang sama-sama bisa mendapatkan hukuman penjara seumur hidup.

Bahkan, jika RKUHP disahkan, kasus korupsi bisa mendapat hukuman lebih ringan. Hukuman penjara di sejumlah pasal diringankan, dari yang minimal 4 tahun dalam UU Tipikor menjadi 2 tahun. Memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam KUHP pun dikatakan menempatkan tindakan ini dalam kategori pidana biasa alih-alih luar biasa.

Stigma negatif terhadap pengguna narkoba memang bukan hanya terjadi di Indonesia. Berdasarkan laporan “The World Drug Perception Problem: Countering Prejudices About People Who Use Drugs” (2017), pengguna narkoba kerap diasosiasikan sebagai pribadi yang “tidak punya masa depan”, “jahat”, “berdosa”, hingga “tidak pantas hidup”. Media dan produk budaya populer pun turut mengukuhkannya dengan mengasosiasikan pengguna narkoba dengan tindakan kriminal. Sebuah studi di UK pada 2010, misalnya, menemukan bahwa berita utama di koran tentang narkoba selalu berkaitan dengan kasus penangkapan dan pengadilan.

Stigma-stigma semacam ini bermanifestasi menjadi perilaku diskriminatif di masyarakat yang membuat pecandu narkoba kesulitan untuk mengakses pertolongan medis ataupun dukungan dari lingkungan sekitar. Di Nigeria, misalnya, orang yang menggunakan narkoba dapat dikucilkan oleh keluarga dan teman-temannya. Laporan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pun menemukan bahwa 1 dari 7 pecandu narkoba di seluruh dunia tidak mendapatkan pertolongan medis—sementara jumlah pengguna narkoba diketahui mencapai 271 juta atau 5,5% dari populasi total dunia.

Sementara itu, stigma yang berujung kriminalisasi pengguna narkotika bukanlah solusi efektif. Laporan “Treatment or Incarceration?” oleh Justice Policy Institute (2014) menemukan bahwa 95% pecandu narkoba yang masuk penjara akan kembali menggunakan narkoba setelah lepas dari penjara. UNODC turut melaporkan bahwa penggunaan narkotika di penjara menyebabkan permasalahan lebih besar lagi: tingkat penularan penyakit HIV, hepatitis C, dan tuberkulosis di penjara jauh lebih tinggi dari masyarakat pada umumnya.

Penjara juga jadi salah satu tempat paling mudah untuk menyelundupkan narkoba. Hasil penelitian dari Universitas Yale pada 2014 menunjukkan bahwa 56% penghuni penjara di Jakarta mengonsumsi narkoba. Dalam penjara, seseorang juga justru lebih terekspos kepada perdagangan narkoba dan opsi narkotika yang lebih beragam. Sementara itu, Indonesia terkenal gemar memenjarakan pengguna narkoba: hampir setengah populasi penjara adalah terpidana kasus narkoba—menyebabkan jumlah penghuni penjara melebihi kapasitasnya.

Negara-negara yang tidak mengkriminalisasi pengguna narkoba justru lebih efektif dalam mengurangi masalah kecanduan dan kematian akibat narkoba. Portugal yang memilih untuk mendekriminalisasi pengguna narkoba sejak 2001 kini menuai hasil positif: berkurangnya jumlah pengguna narkoba di kalangan rentan, meningkatnya jumlah orang yang mengakses bantuan medis, berkurangnya penularan HIV di kalangan pengguna narkoba, dan berkurangnya jumlah kematian akibat narkoba.

Belanda pun memilih untuk melegalkan ganja untuk mencegah warganya terpapar narkotika berisiko lebih tinggi. Sejumlah toko kopi diberikan lisensi untuk menjual ganja secara legal. Memiliki ganja atau personal possession sebanyak 5 gram pun tidak dikriminalisasi. Hasilnya, jumlah pecandu narkoba di Belanda jadi yang terendah di seluruh Eropa. Negara-negara lain yang melegalkan ganja—baik untuk penggunaan rekreasional maupun medis—adalah Afrika Selatan, Uruguay, Kanada, Spanyol, dan Peru.

Legalisasi ganja di Indonesia sempat jadi perhatian. Anggota Komisi VI DPR Rafli Kande sempat mengusulkan untuk memanfaatkan ganja sebagai kebutuhan medis dan dijadikan komoditas ekspor. Dekriminalisasi pengguna narkoba pun sempat diusulkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Namun, hingga saat ini, belum ada kabar lebih lanjut tentang penindaklanjutan usul.

Pernyataan anggota DPR fraksi PKS itu pun langsung dibantah. Baik Ketua Fraksi PKS DPR RI maupun Badan Narkotika Nasional (BNN) RI masih menganggap pengunaan ganja sebagai sebuah “kejahatan”. Pernyataan untuk melegalisasi ganja pun dikatakan “perlu diluruskan dan dikoreksi”. “Jika ada keinginan untuk melegalisasi ganja, perlu ditelusuri motivasi dan kepentingannya, apakah untuk kepentingan masyarakat atau sindikat,” ujar Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjen Pol Arman Depari dikutip dari Tirto.id.

Share: Kenapa Pengguna Narkoba Masih Terus Kena Stigma?