Isu Terkini

Insiden McDonald’s Sarinah Tak Boleh Terulang

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Sejak 1993, Darwin Awards memberi penghargaan khusus kepada individu-individu yang mengalami kematian atau kemalangan kelewat konyol, sampai-sampai malapetaka mereka justru baik bagi umat manusia. Implikasi sarkasnya: masa depan spesies kita lebih baik tanpa mereka.

Daftar pemenang penghargaan ini pilih tanding: seorang ahli perikanan yang mengira ia dapat berenang di antara hiu tanpa digigit bila detak jantungnya dikendalikan lewat teknik yoga; seorang geolog yang disengat setelah mengisap sekawanan lebah dengan vacuum cleaner yang kemudian meledak; hingga seorang profesor yang meminum segelas penuh methanol di laboratorium karena ia kehausan dan salah lihat.

Kemarin (10/5), sejumlah warga Jakarta menominasikan diri secara kolektif untuk Darwin Awards 2020. Seperti didokumentasikan akun Instagram @koalisipejalankaki, mereka berkerumun, melanggar ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan mengerubungi gerai McDonald’s di Sarinah, Jakarta. Malam itu adalah hari operasional terakhir McDonald’s Sarinah.

Seperti dilansir VOI, pengunjung sudah ramai sejak pukul 19.00 WIB. Mulanya, kondisi masih aman terkendali. Petugas McDonald’s mengatur barisan pelanggan yang hendak membeli makanan, dan warga diperiksa suhu tubuhnya serta diminta memakai masker. Pengunjung kian membludak hingga penutupan restoran pada pukul 21.45 WIB.

Mulai dari sinilah kondisi berubah jadi tragikomedi. Manajemen McDonald’s Sarinah menggelar “prosesi penutupan” dengan kata sambutan dari manajer gerai hingga upacara penutupan tirai. Banyak warga tampak berdesak-desakan, mengabadikan momen tersebut menggunakan ponselnya masing-masing. Menjelang pukul 23.00 WIB, petugas dari Satpol PP DKI Jakarta baru mendatangi lokasi dan meminta warga membubarkan diri.

Hanya berselang beberapa jam, kabar mengkhawatirkan dari Sarinah mewabah di dunia maya. Pengunjung McDonald’s Sarinah dinilai sembrono sebab melanggar PSBB demi nostalgia semata. Peristiwa yang terkesan sepele ini dapat berbuntut panjang. Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyatakan keramaian di depan McDonald’s Sarinah semalam berpotensi menimbulkan klaster penularan COVID-19 baru.

Penyebabnya tentu masuk akal: bila ratusan orang berkumpul di suatu tempat umum, kita tak dapat menjamin semua orang di sana mengenakan masker yang sesuai dan negatif COVID-19. Lebih lagi di Indonesia, negara yang masih kelabakan meningkatkan kapasitas tesnya, dan lebih lagi saat berhadapan dengan COVID-19, penyakit yang sudah dapat berkembang dalam tubuh tanpa menunjukkan gejala sedikitpun.

Seperti dilansir The Conversation, permodelan komputer memprediksi bahwa kegiatan yang menarik keramaian dapat meningkatkan waktu puncak pandemi. Sederhananya, jumlah kasus dapat meningkat 10 persen bila keramaian terus berlangsung. Riset di AS menunjukkan terdapat 72 kegiatan yang menarik keramaian yang berujung pada klaster infeksi baru.

Riset teranyar di Australia membeberkan bahwa keramaian publik dapat meningkatkan jumlah orang yang datang ke UGD sebanyak 400 pasien per hari. Tak semuanya ke UGD karena terkena infeksi, memang, tetapi hal itu tetap saja menekan kapasitas UGD dan fasilitas kesehatan yang sudah keteteran karena pandemi.

Semua data tersebut ditarik di masa “puncak” pandemi, dan belum ada indikasi bahwa keramaian dapat memperparah pandemi bila suatu wilayah sudah melewati “puncak”. Namun, karena kita tak tahu pasti kapan suatu wilayah (apalagi Indonesia) sudah mencapai “puncak” infeksi COVID-19, hampir semua negara di dunia melarang kegiatan yang menarik keramaian. Sebab lebih baik mencegah, ketimbang mengobati.

Riset ini juga membuktikan bahwa klaster penyebaran virus SARS-CoV-2 salah satunya dipantik oleh acara-acara publik. Prof. Hendrik Streeck, virolog di University of Bonn, menyatakan bahwa kebanyakan infeksi tidak bermula dari “supermarket atau restoran”, sebab jumlah virus yang terdeteksi di permukaan benda seperti gagang pintu atau ponsel hampir tidak ada.

Namun, pandemi bertambah parah setelah acara publik di mana banyak orang berdesak-desakan untuk waktu yang agak lama. “Acara publik adalah lahan basah bagi virus, karena banyak orang yang bertemu orang asing,” ujar Niki Popper, ahli matematika di Vienna Technical University yang sedang mengembangkan simulasi perkembangan pandemi. Menurut Popper, pandemi ini menyebar melalui “jejaring epidemi lokal.”

“Jika ada 100-200 orang yang satu ruangan atau berdekatan dengan orang yang positif COVID-19, mungkin ada 20 orang yang tertular, setelah itu mereka menularkan ke keluarga dan rekan kerjanya,” ucap Popper. Sebuah pesta di resor ski Austria, sebuah klab malam di Berlin, dan sebuah pertandingan sepak bola di Italia Utara dianggap sebagai tiga “titik panas” penyebaran COVID-19 di Eropa.

Pola yang sama terjadi juga di Asia dan Oceania. Di Australia, pandemi COVID-19 bertambah parah setelah insiden pesta pantai di pantai Bondi. Setelah tiga pekan bebas kasus, pandemi di Vietnam bertambah parah gara-gara seorang selebgram yang baru kembali dari luar negeri berinteraksi secara bebas dengan teman-temannya. Sebulan kemudian, Vietnam mencatat 245 infeksi COVID-19 baru. Di Korea Selatan, 60 persen kasus COVID-19 dikaitkan dengan klaster penyebaran dari ibadah gereja Shincheonji.

Hal ini terjadi juga di Indonesia. Puluhan orang dinyatakan positif COVID-19 setelah hendak berkumpul mengikuti acara Itjima Ulama Sedunia di Gowa, Sulawesi Selatan, 19 Maret. Meski acara tersebut batal, sudah banyak warga yang telanjur ke sana. Gugus Tugas COVID-19 Sulawesi Utara hari ini (11/5) menyatakan bahwa kasus COVID-19 di Sulut didominasi klaster Itjima Gowa.

Imbas dari kasus Gowa masih terasa sampai sekarang. Dari 12 kasus baru COVID-19 di Banjarnegara, Jawa Tengah yang diumumkan kemarin (10/5), 11 di antaranya berasal dari klaster Itjima Gowa. Adapun di Bandung, 226 orang positif COVID-19 setelah mengikuti seminar keagamaan Gereja Bethel Indonesia. Awal April lalu, rohaniwan yang memprakarsai seminar tersebut bahkan meninggal dunia.

Datanya jelas, sainsnya jelas, kesimpulannya jelas. Acara publik yang tak perlu mesti dihentikan.

Persoalannya, kini kepolisian mengambil posisi berbeda terkait insiden McDonald’s Sarinah. Seperti dilansir Tirto, Kabaharkam Polri Komjen Pol Agus Andrianto menyatakan: “Sepanjang mereka menerapkan jaga jarak, pakai masker dan jaga kebersihan tidak masalah, kan. Yang memiliki penyakit bawaan, sebaiknya menyadari untuk lebih hati-hati karena sejauh vaksin belum ditemukan, kita harus membiasakan hidup bukan hanya dengan virus Corona. Apa kita tidak melakukan aktivitas apa-apa? Kan tidak, kehidupan jalan terus.”

Pernyuataan Komjen Pol Agus Andrianto ini tak selaras dengan kebijakan pemerintah, juga pernyataan sebelumnya dari kepolisian. Dalam penerapan PSBB, acara apa pun yang mengundang keramaian dikontrol dengan ketat atau dilarang sama sekali. Pelanggarnya pun mesti dikenakan hukuman tegas.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020, instansi berwenang dapat melakukan penegakan hukum bagi pelanggar PSBB sesuai ketentuan UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam Pasal 93, disebutkan bahwa pelanggar kekarantinaan kesehatan “dipidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.”

Dalam Pasal 17 Pergub No. 33 tahun 2020 Provinsi DKI Jakarta, “acara perayaan yang mengundang keramaian” seperti khitanan dan pernikahan hanya boleh dilakukan di fasilitas resmi pemerintah dan dihadiri kalangan terbatas. Kegiatan ibadah di tempat umum pun dilarang, sehingga umat beragama di Indonesia harus menghadapi Nyepi, Waisak, Paskah, dan Ramadan di rumah.

Unjuk rasa Hari Buruh Internasional pun lewat tanpa keramaian karena larangan polisi. Mengacu kepada surat telegram nomor ST/1183/IV/OPS.2./2020 dan surat telegram nomor ST/1184/IV/OPS.2/2020 yang diterbitkan pada 13 April 2020, Polda Metro Jaya melarang segala kegiatan unjuk rasa sepanjang pandemi.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus menyatakan “setiap permohonan untuk menggelar kegiatan berkumpul ataupun yang melibatkan massa akan langsung ditolak oleh pihak kepolisian.” Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal M Iqbal pernah menyatakan bahwa pihaknya akan mengerahkan aparat untuk “membubarkan kerumunan massa” demi mencegah penyebaran COVID-19.

Berbagai insiden penangkapan karena melanggar PSBB juga telah terjadi. 4 April lalu, Polres Metro Jakarta Utara menangkap 20 orang yang melanggar PSBB di Jakarta Utara. 1 Mei, kakak pedangdut Siti Badriah diciduk dalam penertiban PSBB di Bulak Kapal, Bekasi, Jawa Barat. 3 Mei 2020, 250 warga terjaring dalam razia jam malam selama penerapan PSBB di Sidoarjo, Jawa Timur.

Bila aturan PSBB berlaku bagi pekerja yang mesti dirumahkan kantornya, buruh acara yang menganggur karena acara publik dibatalkan, hingga umat beragama yang urung berkumpul demi memperingati hari besar, mengapa kerumunan di McDonald’s Sarinah dikecualikan?

Mari berbaik sangka. Mungkin, kerumunan di McDonald’s Sarinah adalah luapan dari rasa jengah publik terhadap penanganan COVID-19 yang setengah hati. Bukan rahasia bahwa penerapan PSBB di Indonesia tidak sebagaimana mestinya. Epidemiolog Pandu Riono sudah pernah menyatakan bahwa menerapkan PSBB tanpa karantina dan deteksi dini COVID-19 sama saja bohong. Lebih lagi, daerah yang menerapkan PSBB tak merata dan aparat masih sering “kecolongan” di lapangan.

Mungkin, mereka merasa pandemi ini tidak segalak kelihatannya. Buktinya, jalanan tetap macet, ojek daring tetap mengantar makanan, dan kehidupan seolah tak banyak berubah. Seorang pesulap dan kawan rapper-nya muncul dalam video viral, membuat mereka ragu bahwa pandemi ini sungguhan. Ketika seorang penabuh drum tua entah kenapa dikasih panggung untuk menebar teori konspirasi di televisi nasional, mereka semakin tak yakin.

Lebih lagi, pemerintah menggilas kekhawatiran kita yang telah lama memuncak. Menkes kita cengengesan kemudian hilang ditelan bumi. Jubir COVID-19 kita tampak kelelahan dan frustrasi. Presiden kita menyuruh rakyatnya berdamai dengan pandemi, lantas menyampaikan pesan membingungkan yang menentang nalar dan KBBI. Ketika tersiar kabar McDonald’s Sarinah akan tutup, mereka pun berpikir, “Ah, apa lagi ini?”

Tempat mereka berkumpul dan nongkrong dengan biaya hemat telah tiada. Tempat yang menyimpan sejuta kenangan, momen indah dan nestapa, hanyut ditelan pandemi. Berhubung taman jadi sarang jamet dan jalanan dihuni begal, McDonald’s Sarinah jadi suaka bagi begitu banyak orang. Kenangan mereka memuncak, dan mereka memutuskan turun gunung.

Kabar buruknya, mereka lupa bahwa walaupun tubuh mereka sendiri segar bugar, mereka tak tahu apakah ada satu orang di kerumunan itu yang telah kena COVID-19 dan tak mengetahuinya. Lebih lagi, hanya karena tubuh mereka kuat, bukan berarti tetangga, keluarga, dan kawan terdekat mereka di rumah juga tahan menghadapi penyakit. Bertahan di rumah sebisa mungkin dan menerapkan kebersihan diri tidak hanya dilakukan untuk melindungi diri sendiri, melainkan juga orang lain. Bila insiden semacam kumpul bocah di McDonald’s Sarinah kemarin terus terulangi, bisa jadi Indonesia akan menjalankan PSBB sampai tahun 2089 atau 2098.

Kabar gembiranya, Indonesia memiliki kandidat kuat pemenang Darwin Awards 2020. Suatu hari nanti, kita tinggal mencari cara mengirimkan hadiah tersebut ke akhirat.

Share: Insiden McDonald’s Sarinah Tak Boleh Terulang