Isu Terkini

Sejarah Hari Perempuan Internasional Lebih Seru Dari yang Kamu Kira

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Setiap 8 Maret, Hari Perempuan Internasional diperingati di ratusan negara. Ada yang spesial dari edisi tahun ini di Indonesia. Rencananya, akan ada aksi Women’s March di Jakarta dengan agenda memprotes kekerasan sistematis terhadap perempuan, termasuk dalam RUU-RUU ajaib yang bermunculan belakangan ini.

Turun ke jalan adalah salah satu cara terbaik memperingati Hari Perempuan Internasional. Pasalnya, sejarah hari itu erat kaitannya dengan aktivisme radikal dan gerakan buruh. Jangan pikir perubahan digerakkan oleh para aktivis perempuan dengan santun dan ramah. Mereka adalah orator ulung, penggalang massa jutaan orang, dan pemikir yang tak sungkan berpanas-panas.

Memasuki abad ke-20, gerakan perempuan kian diperbincangkan secara serius. Perdebatan mengenai kesetaraan gender, hak perempuan, dan kondisi kerja buruh bertambah riuh. Pada Februari 1908, lima belas ribu perempuan berdemo di New York City, Amerika Serikat. Mereka menuntut jam kerja yang lebih pendek, upah yang layak, serta hak untuk turut serta dalam pemilu.

Aksi ini adalah awal mula Hari Perempuan Internasional. Setahun kemudian, Partai Sosialis Amerika Serikat mendeklarasikan Hari Perempuan Nasional yang diperingati di AS pada hari Minggu terakhir setiap bulan Februari. Persis sama dengan aksi tahun 1908.

Pada 1910, Konferensi Internasional Pekerja Perempuan kedua diselenggarakan di Kopenhagen, Denmark. Daftar pesertanya niscaya bikin kamu merinding. Seratus perempuan dari 17 negara melawat ke Kopenhagen, di antaranya anggota serikat buruh, partai sosialis, klub perempuan pekerja, dan tiga perempuan pertama yang dilantik masuk Parlemen Finlandia.

Clara Zetkin, pemimpin Departemen Perempuan di Partai Sosial Demokratik Jerman, punya gagasan cemerlang. Ia mengusulkan agar aktivis perempuan lintas negara turun ke jalan di hari yang sama tiap tahun supaya tuntutan mereka didengar lebih banyak orang. Hari itulah yang kemudian dikenal sebagai Hari Perempuan Internasional.

Masalahnya begini: meski semua orang sepakat hari perempuan diperlukan, mereka tidak tahu hari apa yang pas. Sebagian masih aksi tiap akhir Februari bersamaan dengan peringatan aksi 1908 di New York City, sebagian lagi aksi pada 19 Maret.

Di Austria, Jerman, Denmark, dan Swiss, misalnya, Hari Perempuan Internasional edisi pertama dihadiri lebih dari satu juta demonstran. Mereka menuntut kondisi kerja layak serta hak untuk turut serta dalam pemilu, mengikuti pelatihan kerja, serta mengemban jabatan publik.

Pada 25 Maret, pabrik garmen Triangle di New York City terbakar dan 140 pekerja–hampir semuanya perempuan imigran–meninggal. Dalam penelusuran pascakebakaran, ditemukan bahwa para pekerja Triangle selama ini menghadapi kondisi kerja yang amat buruk. Mendadak, tuntutan Hari Perempuan Internasional jadi tambah genting.

Namun, Hari Perempuan Internasional baru sungguh-sungguh jadi revolusioner di Rusia. Sejak 1913, perempuan Rusia telah memperingati hari tersebut tiap akhir Februari. Namun pada tahun 1917, tuntutan mereka lebih garang lagi. Rusia kehilangan dua juta prajurit gara-gara Perang Dunia I, tsar makin lalim, dan kemiskinan merajalela.

Sesuatu mesti dilakukan. Pada 8 Maret 1917, ribuan perempuan Rusia turun ke jalan dalam aksi “Roti dan Perdamaian” untuk memprotes kebijakan Tsar Nicholas II, pemimpin Rusia. Mereka tidak sendirian. Oposisi terhadap Tsar telah dibangun secara berangsur sejak permulaan abad 20, dan gerakan kiri sudah konsisten menuntut pengunduran keluarga kerajaan.

Namun seperti dijabarkan sejarawan Rochelle Ruthchild pada TIME, kali ini perempuan gantian berada di garis depan. Merekalah yang menggalang protes 8 Maret dan turba untuk mengorganisir massa.

Hal ini bikin jengkel figur politik revolusioner macam Leon Trotsky. Ia ingin semua protes terhadap Tsar dilakukan berbarengan pada Hari Buruh Sedunia tanggal 1 Mei. Sudah tentu, para perempuan Rusia emoh disuruh-suruh oleh wibu loyo macam Trotsky dan tetap turun ke jalan. Boleh jadi, cekcok ini bukti sahih bahwa kebiasaan mas-mas kiri menceramahi perempuan soal revolusi bukanlah hal baru.

Sepekan kemudian, Tsar Nicholas II mengundurkan diri. Gara-gara demo tersebut–dan aksi susulan yang dihadiri puluhan ribu orang–perempuan mendapatkan hak turut serta dalam pemilu. Rusia menjadi negara adidaya pertama di dunia yang melegalisir hak perempuan memilih, lebih dulu dari Inggris dan Amerika Serikat. Saking sukses dan berpengaruhnya aksi tersebut, sejak saat itu Hari Perempuan Internasional diperingati tiap tanggal 8 Maret.

Kita tak dapat menafikan bahwa gerakan kiri sejak awal erat kaitannya dengan Hari Perempuan Internasional. Sepanjang paruh pertama abad 20, Hari Perempuan Internasional rata-rata hanya diperingati secara resmi oleh negara-negara blok Soviet.

Tak perlu jadi sarjana Twitter untuk tahu bahwa gerakan kiri acapkali menemui oposisi. Pasca Perang Dunia II, blok Soviet dan Amerika Serikat berhadapan dalam Perang Dingin. Tensi serta sentimen antikomunis yang menguat di kalangan sekutu AS bikin Hari Perempuan Internasional lama diabaikan. Ironis, sebab akar dari Hari Perempuan Internasional adalah protes sosialis yang dilakukan di AS. Baru pada 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingati Hari Perempuan Internasional untuk pertama kalinya.

Indonesia termasuk salah satu negara yang emoh merayakan Hari Perempuan Internasional. Oleh pemerintah Orde Baru, hari itu dianggap erat dengan gerakan komunis. Asumsi yang wajar, sebab salah satu pihak yang paling giat memperingati Hari Perempuan Internasional pada era Soekarno adalah Gerwani. Hari Perempuan Internasional baru dirayakan kembali di Indonesia pada tahun 1998.

Kini, Hari Perempuan Internasional dirayakan oleh ratusan negara di seluruh dunia. 8 Maret pun menjadi libur nasional di negara-negara seperti Kuba, Kamboja, Mongolia, Madagaskar, dan Cina. Kabar gembiranya, tahun ini 8 Maret juga menjadi libur nasional di Indonesia. Kabar buruknya, itu dikarenakan 8 Maret kebetulan jatuh di hari Minggu.

Tak semua negara memperingati Hari Perempuan Internasional dengan aksi dan revolusi. Di berbagai negara, Hari Perempuan Internasional menjadi momentum lelaki untuk memberi bunga dan hadiah bagi ibu, istri, pasangan, atau perempuan lain yang spesial di hidup mereka. Penjualan bunga di Rusia, misalnya, bisa naik tiga kali lipat menjelang 8 Maret. Ironis, mengingat belakangan negara itu lagi getol-getolnya mengeluarkan kebijakan yang seksis. Tambah ironis lagi, sebab aksi Hari Perempuan Internasional yang paling garang justru dilakukan di Rusia.

Maka, selamat merayakan Hari Perempuan Internasional. Ingat, kamerad: patriarki ada untuk diganyang, bukan disayang.

Share: Sejarah Hari Perempuan Internasional Lebih Seru Dari yang Kamu Kira