Edson Tavares hanya menundukkan kepala. Ia duduk di bench pemain menjelang kickoff Persija Jakarta melawan Madura United, Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Jumat (13/12/19), dan harus menyelamatkan Macan Kemayoran dari degradasi. Tavares menangkupkan kedua tangannya, erat, seolah-olah sedang menguatkan diri sendiri. Kompetisi Liga 1 2019 sudah berjalan 32 pekan.
Persija berada dalam situasi sulit lantaran bertengger di papan bawah klasemen. Sebelum berjumpa Madura United, Persija menelan dua kekalahan beruntun dari Bhayangkara FC dan Perseru Badak Lampung. Tim ibu kota pun harus pasrah berada di peringkat ke-15 dengan total 38 poin, atau hanya satu strip di atas zona degradasi. Saat itu, Perseru Badak Lampung menguntit di peringkat ke-16 dengan 33 poin.
Bayangkan, terpaut lima poin dari zona merah selagi kompetisi tersisa tiga laga, Persija bakal celaka jika kalah sementara Perseru Badak lampung menang.
Namun, klub kebangaan Jakarta itu malah beruntung. Perseru kalah 2-3 dari Bhayangkara FC di kandang sendiri, dan Marko Simic mengubah raut wajah Tavares. Persija menang 4-0 terhadap Madura United.
Kemenangan kandang itu membuat Persija sepenuhnya selamat dari ancaman degradasi ke Liga 2. Persija naik ke peringkat ke-12 dengan koleksi 41 poin di klasemen sementara Liga 1 2019 hingga pekan ke-32.
Musim depan, Andritany Ardhiyasa dan kawan-kawan akan tetap tampil di kompetisi kasta tertinggi sepak bola Indonesia dengan perjuangan yang tentu tak ringan. “Kami mencetak empat gol dan tidak kebobolan dalam satu pertandingan, alhamdulillah. Terima kasih untuk semuanya di tim, kami bertahan di Liga 1 musim depan,” kata Tavares usai kemenangan Persija atas Madura di Stadion GBK, Jakarta, Jumat (13/12).
Di sisi lain, kemenangan besar atas Madura juga membuat Persija otomatis menutup peluang Semen Padang dan Badak Lampung untuk bertahan di Liga 1. Satu tim lagi yang sudah lebih dulu dipastikan turun kasta ke Liga 2 musim depan adalah Kalteng Putra.
Hari-hari tersuram berjuang bangkit dari jurang degradasi di sepanjang musim 2019 ini tentu jadi mimpi buruk bagi Persija dan pendukung setianya, The Jakmania. Situasi itu sama sekali tak diharapkan, apalagi pada musim 2018 Macan Kemayoran tampil luar biasa.
Saat itu, di bawah asuhan Stefano “Teco” Cugurra, Persija berhasil meraih pencapaian tertinggi dalam sejarah klub dengan meraih tiga trofi juara yakni Liga 1 dan dua gelar turnamen pramusim, Piala Presiden dan Boost SportsFix Super Cup 2018 di Malaysia. Pencapaian tersebut begitu bertolak belakang dengan kondisi miris Persija di musim ini.
Usai juara, Persija justru menyudahi kerja samanya dengan Teco sebagai pelatih. Sepeninggal Teco, Macan Kemayoran mengontrak mantan pelatih Timnas Indonesia, Ivan Kolev, pada Januari 2019. Kolev bukanlah orang baru di persepakbolaan tanah air karena sebelumnya ia juga sudah pernah menjadi pelatih Persija pada periode 1999-2000.
Pada rentang tersebut, Kolev hanya mampu membawa Persija meraih gelar Brunei Invitation Cup 2000. Namun, yang patut diingat, pelatih asal Bulgaria tersebut berhasil mengorbitkan Bambang Pamungkas yang kala itu baru berusia 19 tahun. Kegemilangan Bepe sampai hari ini tentu tak lepas dari sentuhan Kolev.
Namun, kehadiran Kolev justru tak memperbaiki situasi. Penampilan Persija justru menurun dan tak kunjung menemukan performa terbaiknya. Ia hanya bertahan selama lima bulan hingga Mei 2019 dengan catatan satu poin dari tiga laga.
Baca Juga: Rekor-rekor Bambang Pamungkas Bersama Persija dan Indonesia
Salah satu penampilan buruk yang membuat Kolev akhirnya dipecat adalah saat Persija tersingkir di fase grup Piala AFC. Persija akhirnya menggantikan Kolev dengan Julio Banuelos yang merupakan mantan asisten Luis Milla.
Setali tiga uang dengan Kolev, Banuelos juga mengalami nasib serupa. Bahkan, lebih miris lagi, ia hanya menjalani masa kerja yang lebih singkat ketimbang Kolev, yakni hanya bertahan sekitar tiga bulan, dari Juni hingga September 2019.
Pemecatan Banuelos disebut-sebut lantaran ia gagal membawa Persija meraih gelar juara Piala Indonesia, satu-satunya gelar yang harusnya paling mungkin diraih Persija musim 2019 ini. Dalam 14 laga yang dijalani Banuelos sebagai pelatih, Persija hanya mampu meraih total 14 poin.
Sementara itu, caretaker Sudirman yang mengambil alih sementara kursi kepelatihan hanya mampu membawa Persija meraih tiga poin dari dua laga. Pada pada September 2019, manajemen tim akhirnya menggaet Edson Araujo Tavares untuk menjadi juru taktik Bepe dan kawan-kawan.
Penampilan Persija tak serta-merta jadi luar biasa. Pada laga debut Tavares sebagai pelatih, Persija bahkan harus kalah 1-2 dari Semen Padang. Namun, pada laga keduanya, Persija meraih kemenangan tipis 1-0 atas PSM Makassar.
Sejak kemenangan atas PSM di Stadion Andi Mattalata itu, Tavares membawa Persija tampil relatif ajek. Dalam delapan laga, Macan Kemayoran berhasil meraih total empat kemenangan, tiga kali imbang, dan hanya sekali kalah.
Situasi sempat berubah setelah catatan baik itu, di mana Persija kalah dalam dua laga beruntun dari Bhayangkara FC dan Badak Lampung FC, sebelum akhirnya bangkit lagi dengan mengalahkan Madura United di Stadion GBK Jumat lalu.
Di saat Macan Kemayoran berjuang lepas dari zona degradasi, Teco secara mengejutkan membawa Bali United merebut gelar juara Liga 1 2019. Pencapaian gemilang itu membuat pelatih asal Brasil itu mencatatkan sejarah dengan meraih gelar juara Liga 1 back to back.
Pergantian tiga pelatih Persija dalam satu musim kompetisi ini sempat dikomentari pelatih Persib Bandung, Robert Rene Alberts, jelang laga Persib vs Persija pada pekan ke-25 Liga 1 2019 di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Bali, Senin (28/10) lalu.
Baca Juga: NJ Mania: Jakarta Bukan Milik Satu Klub
“Pelatih baru tidak memberi banyak perubahan, saya rasa. Jika saya tidak salah, betulkan jika saya salah, dari 18 tim, mereka sudah ganti tiga pelatih. Itu adalah rekor dunia, harus masuk Guiness, gimana bisa tiga pelatih ganti,” katar Robert Rene Alberts.
“Bagi saya tidak ada perubahan jika mengganti pelatih, dan itu tidak bagus. Klub harus percaya pada pelatihnya,” ujarnya.
Persija sebetulnya termasuk klub yang beruntung lantaran tak jadi degradasi saat berstatus sebagai juara bertahan. Jauh sebelumnya, dalam catatan sejarah Liga Indonesia, setidaknya ada dua klub legendaris yang pernah merasakan pahitnya turun kasta setelah pada musim sebelumnya meraih gelar juara.
PSIS Semarang meraih gelar juara Liga Indonesia pada musim 1998-1999. Saat itu kompetisi dibagi menjadi dua wilayah, di mana PSIS akhirnya sukses melaju ke partai berikutnya hingga final, usai menjadi juara grup timur.
Di final, PSIS berhasil mengalahkan Persebaya dengan skor tipis 0-1 di Stadion Klabat, Manado. Sayangnya, pada musim selanjutnya, penampilan Laskar Mahesa Jenar justru menurun lantaran disinyalir terjadi konflik internal dan krisis finansial yang melanda klub.
PSIS pun harus menelan pil pahit dan terdegradasi lantaran hanya mampu finis di peringkat ke-13 wilayah timur dengan catatan enam kemenangan, 14 kekalahan, dan enam hasil imbang dari 26 laga yang dijalani. Klub asal Semarang itu tercatat menjadi klub pertama di Indonesia yang harus turun kasta setelah juara pada kompetisi kasta tertinggi.
Situasi serupa juga pernah menimpa Petrokimia Putra, di mana mereka berhasil meraih juara tetapi pada musim selanjutnya malah terdegradasi. Pada musim 2002 lalu, Petrokimia meraih gelar juara Divisi Utama Liga Indonesia usai menang 2-1 atas Persita Tangerang di laga final.
Di musim selanjutnya, Petrokimia memang sempat meraih dua kemenangan pada laga awal Liga Indonesia yang saat itu sudah mulai menggunakan format satu wilayah. Namun, dalam 38 pertandingan, klub asal Gresik harus pasrah terdegradasi bersama dua klub lainnya yakni PSDS Deli Serdang dan Barito Putra.
Saat itu, Petrokimia hanya sanggup menempati posisi ke-18 dari 20 tim dengan mengumpulkan total 42 poin dengan catatan 11 kemenangan, sembilan kali imbang, dan 18 kali kalah.
Namun, selepas itu tak ada lagi klub juara bertahan yang mengalami nasib turun kasta semusim setelah juara. Nasib yang lebih baik dialami Persik Kediri, yang mampu bertahan dengan mengakhiri musim di papan tengah yakni peringkat kesembilan pada Divisi Utama Liga Indonesia 2004 atau semusim setelah juara pada 2003.
Ada pula Persipura Jayapura yang berhasil juara pada musim 2006, lalu pada musim berikutnya mengakhiri musim di papan tengah, yakni urutan kedelapan klasemen akhir wilayah dua. Tim berjuluk Mutiara Hitam itu juga pernah sanggup menjadi runner-up setelah musim sebelumnya menjadi juara yakni pada musim 2009/10, 2011/12, dan 2014.
Meski menjalani musim yang sulit, Persija akhirnya memastikan diri tetap bertahan di Liga 1 musim 2020 nanti. Selain itu, Macan Kemayoran juga patut berbangga lantaran striker andalan mereka Simic untuk sementara berhasil memuncaki daftar top skorer Liga 1 2019.
Hattrick ke gawang Madura United membuat Simic kini sudah mengoleksi total 27 gol dalam 31 laga musim ini. Di peringkat kedua ada Alex Dos Santos yang mengumpulkan 17 gol, diikuti Makan Konate dan Ilija Spasojevic yang sudah mencetak 16 gol. Selain itu, ada pula Yevhen Bokhashvili dan Alberto Goncalves yang menguntit di bawahnya dengan catatan 15 gol.
Sementara tiga pemain yang mencetak 13 gol adalah Ciro Alves, Titus Bonai, dan Rafael Silva. Tak hanya itu saja, musim ini Persija juga jadi klub dengan jumlah penonton terbanyak di Liga 1 2019 yakni dalam duel klasik antara Persija vs Persib di Stadion GBK, Rabu (10/07/19).
Pertandingan itu mencatatkan rekor penonton terbanyak musim ini. Tercatat sebanyak 70.316 orang datang langsung ke stadion untuk menyaksikan langsung dua tim papan atas tersebut. Angka itu sekaligus berhasil memecahkan rekor penonton terbanyak Liga 1 2019 yang sempat dipegang oleh Persebaya saat melawan Persib dengan total penonton sebanyak 50 ribu.
Dengan mengarungi dua musim yang cukup melelahkan, Persija masih berhasil meraih dua ucapan “selamat” sekaligus. Ya, selamat atas gelimang gelar juara di 2018 dan selamat atas keberhasilan menjauh dari zona degradasi di 2019.