Budaya Pop

Mengapa Banyak Festival Musik Lokal Dikelola dengan Buruk?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Semestinya bulan November 2019 ditutup dengan gembira. Dua perhelatan musik diselenggarakan hanya berselang sepekan dari satu sama lain. Keduanya menawarkan line up penampil yang menarik, konsep panggung yang prima, serta diselenggarakan oleh promotor atau EO tepercaya. Namun, keduanya berakhir dengan air mata.

Pada 23 November 2019, Lokatara Festival menuai kontroversi setelah enam penampil luar negeri mendadak batal tampil hanya beberapa hari jelang acara. Dua headliner bahkan urung naik panggung. Sepekan kemudian, 30 November 2019, konser Musikologi 2019 berujung ricuh. Selagi ribuan penonton susah payah evakuasi dari Parkir Timur Senayan yang becek akibat hujan deras, massa yang marah akibat batalnya penampilan dua band menjarah alat-alat panggung dan membakar tenda panitia.

Lokatara dan Musikologi tentu tak berdiri sendiri. Sepanjang 2019, konser musik kerap berujung kacau akibat salah urus. Lalala Fest, yang berlangsung pada 23 Februari 2019 di Orchid Forest Cikole, Lembang, menjadi marka pertama. Akses ke venue yang buruk, kondisi di lapangan yang tak memadai, sampah menggunung, hingga laporan tentang volunteer acara yang tak diberi minum membuat acara tersebut dijuluki “Fyre Festival-nya Indonesia”.

Pada 13-14 Agustus 2019, kembali terjadi insiden di konser LANY, grup asal Amerika Serikat. Penonton membludak di Tennis Indoor Senayan pada hari pertama konser, lantas mendapati gerbang masuk tertutup rapat dan konser molor tidak keruan. Setelah terdampar lebih dari tiga jam, penonton menerima pengumuman mengejutkan: konser mendadak batal, sebab terjadi masalah teknis kelistrikan. Kontan, penonton mengamuk–melempar botol dan mendesak masuk lewat pintu kaca.

Rangkaian kejadian ini tentu bukan buah kecerobohan oknum-oknum tertentu belaka. Justru, dengan menelusuri penyebab insiden Lokatara Festival dan Musikologi 2019, kita dapat memahami persoalan serius yang mengakar dalam ekosistem musik kita beberapa tahun terakhir sekaligus mengekspos bahwa ada berbagai pertanyaan sulit yang memburu promotor-promotor musik lokal tetapi dibiarkan terbengkalai selama bertahun-tahun.

Pertaruhan yang Kelewat Berisiko

Persoalan yang dihadapi para promotor level menengah-kecil lokal dimulai dari hulu. “Banyak yang mengira mendatangkan band dari luar negeri perlu modal yang sangat tinggi,” tutur Rezky Prathama alias Ekrig, pengelola label dan promotor 630 Records. “Kenyataannya, biaya yang dikeluarkan sebenarnya tidak semahal itu.”

Band luar negeri dengan level menengah dan independen dapat diboyong ke Indonesia dengan modal yang tak setinggi harga pasaran band sidestream papan atas lokal. Mendatangkan artis seperti Phum Viphurit (Lokatara, 2018), Nothing (630 Records, 2017), atau Mitski (Noisewhore, 2019) belum tentu lebih mahal dari menarik band sekelas Barasuara, .feast, atau White Shoes & The Couples Company. Harga pasaran yang cenderung wajar ini sebetulnya dipahami dan dipelihara betul oleh promotor-promotor independen lokal.

“Selama bertahun-tahun, pelaku industri musik di Asia berkonsolidasi untuk menjelaskan bahwa pasaran di daerah ini tidak memiliki kekuatan finansial yang setara dengan Amerika Serikat atau Eropa,” tutur Argia Adhidhanendra, pengelola promotor independen Noisewhore.

Penyebabnya tentu sederhana: akses dan modal. Musisi level menengah seperti Fazerdaze atau Khruangbin belum tentu disokong anggaran melimpah dari labelnya untuk melakukan promosi global. Kalau pun dana tersebut ada, belum tentu labelnya jor-joran mengejar pasar Asia Tenggara. Argia mengambil contoh Mitski, yang mampu menyewa billboard di New York untuk mempromosikan album terbarunya, tetapi hanya menjangkau pendengar Indonesia melalui Spotify.

“Promotor lokal hanya mengandalkan data dari streaming atau permintaan netizen yang datanya tidak pasti juga,” tutur Argia. Karena itu, promotor-promotor Asia cenderung meminta band Amerika Serikat dan Eropa menekan harganya sebab jumlah penjualan tiket yang dapat diraup pun masih jadi tanda tanya besar.

Namun, hal ini mulai bergeser dalam 2-3 tahun terakhir. Kesuksesan konser Boy Pablo, Fazerdaze, hingga Sunset Rollercoaster membuktikan bahwa ada pasar niche untuk musisi independen yang segar, baru, dan–ini kuncinya–tak berat di ongkos. “Sekarang promotor ramai-ramai membawa artis luar negeri ke sini,” ucap Ekrig. “Akhirnya, mereka mulai gede-gedean modal untuk membawa band yang diincar main di Indonesia.”

Di tengah pasar yang kian kompetitif, tiap promotor berlomba menemukan Boy Pablo-Boy Pablo berikutnya. Mereka pun menawarkan harga yang kian tinggi kepada calon penampil guna memastikan bahwa band tersebut akan diboyong oleh promotor yang bersangkutan. Walhasil, booking agent dan band mancanegara perlahan menaikkan harga hingga nyaris menyamai harga normal untuk konser di Eropa atau Amerika Serikat. Mengeluarkan modal Eropa untuk pangsa pasar Indonesia, tentunya, adalah pertaruhan yang amat berisiko.

“Masalahnya, kadang gue lihat acaranya di-deal dulu dengan penampil, baru cari sponsor belakangan,” ungkap Ekrig. “Padahal, enggak ada jaminan untuk dapat sponsor meskipun line up penampil lo udah keren. Dan enggak ada jaminan bahwa sokongan dana mereka akan sesuai dengan nominal yang kita harapkan.”

Praktik inilah yang memulai nestapa Lokatara Festival. Menurut Jonathan (bukan nama sebenarnya), anggota panitia inti Lokatara Festival, tadinya perhelatan tersebut berencana digelar di Istora Senayan. Panitia bahkan sudah membayar DP dengan jumlah “tidak sedikit” kepada pihak Istora Senayan untuk mengunci tanggal sewa 23 November 2019. “Sejak awal, kami memang mengincar niche market,” tutur Jonathan. “Kepada sponsor, yang kami “jual” adalah bahwa venue-nya nanti di Istora Senayan, dan kami akan mendatangkan band seperti The Drums yang ditunggu-tunggu khalayak Jakarta.”

Hal ini dikonfirmasi oleh Theo Mulyanto, Managing Director Lokatara. “Penerimaan publik terhadap Lokatara Festival 2018 begitu baik,” ucap Theo. “Jadi kami memutuskan untuk bikin acara di venue yang lebih besar.” Theo pun mengaku bahwa setelah membayar DP kepada Istora, pihak Lokatara tengah bernegosiasi serius dengan penampil luar negeri papan atas yang “menurut kami pasti akan bikin Istora Senayan penuh”.

Bermodal kesepakatan dengan para penampil dan nama besar Istora Senayan, Lokatara mulai menjajakan festivalnya kepada para bakal sponsor. Baik Theo maupun Jonathan sama-sama menyatakan bahwa pada fase ini, Lokatara Festival banyak dilirik sponsor. “Kami sudah berkali-kali rapat dengan pihak sponsor dan dapat pernyataan nominal yang menjanjikan,” tutur Theo. “Karena yang bilang itu adalah pengambil keputusan di sponsor tersebut, kami percaya diri.” Pernyataan ini diamini oleh Jonathan. “Ibaratnya, kita sudah tinggal hitam di atas putih dengan sponsor.”

Namun, penjualan tiket pre-sale tidak sesuai ekspektasi. “Setelah mengumumkan line up fase pertama, kami menargetkan minimal 1000 tiket terjual,” ungkap Theo. Kenyataannya, setelah tiga pekan, hanya 200 tiket yang terjual. Setelah line up fase kedua–termasuk bintang utama The Drums–diumumkan, hanya sekitar 280 tiket tambahan yang terjual. “Kami sudah mengumumkan 12 artis, tapi penjualan tiket baru 500,” keluh Theo. “Itu bahkan enggak menutupi 10 persen modal produksi kami.”

Padahal, seperti banyak promotor level menengah-kecil lainnya, Lokatara amat bergantung pada penjualan tiket pre-sale untuk memodali langkah mereka selanjutnya. “Jarang banget ada sponsor sudah mau masuk sejak pengumuman line up pertama,” ungkap Theo.

Akibat penjualan tiket lesu, Lokatara mengambil keputusan pindah ke venue lebih kecil di ballroom Kuningan City–lokasi Lokatara Festival 2018. Bencana datang lagi ketika salah satu band andalan yang dikejar habis-habisan oleh Lokatara mendadak urung tur ke Asia, dan batal tampil di Lokatara Festival. Faktor-faktor ini berujung pada mundurnya mayoritas sponsor yang tadinya akan menginvestasikan uang pada Lokatara Festival. “Harus kami akui, salah satu alasan sponsor berhenti sampai di situ saja adalah karena kami pindah venue.” Ucap Jonathan.

Skenario mimpi buruk ini tentu pernah terjadi sebelum Lokatara Festival 2019. Salah satu solusi celaka untuk peristiwa ini adalah “bid and run.” Promotor yang sejatinya sudah sepakat dengan band tertentu tetapi belum melunasi pembayaran akan mencoba menawarkan konser tersebut ke promotor lain, sebab mereka tak kuat menanggung sisa biaya pengadaan konser. Terburuk, mereka memutus kontak dengan band yang diundang.

Praktik ini, menurut Argia, telah “mendarah daging” dalam industri musik lokal. Namun akibatnya fatal bagi promotor menengah-kecil yang masih membangun reputasi di jejaring booking agent mancanegara, dan jadi rombeng nama baiknya akibat perbuatan ceroboh orang lain. Alternatifnya, promotor memutuskan untuk nekat dan mempertaruhkan reputasinya di hadapan band dan booking agent.

Menjelang hari H, manajemen beberapa penampil mancanegara resah akibat pembayaran yang macet. Theo mengaku bahwa hal ini terjadi karena alasan sederhana: pendanaan sudah tidak ada. “Kami kasih akses ke informasi penjualan tiket kami ke para penampil, jadi mereka tahu keadaaannya,” ungkap Theo. “Sebenarnya para artis ini dukung kami seratus persen, karena agency dan manajer mereka sudah pernah kerja sama dengan kami dan mereka percaya Lokatara.” Pihak Lokatara pun mengaku telah bersepakat dengan booking agent band-band tersebut untuk menyelesaikan pembayaran di tanggal lain.

Namun, kesepakatan ini dilangkahi oleh “atasan mereka di booking agency tersebut”. Akhirnya, sehari sebelum acara, empat penampil serempak menyatakan batal hadir di Lokatara Festival 2019. Great Good Fine Ok, SALES, Sophie Meiers, dan headliner Gus Dapperton tak jadi berangkat ke Jakarta.

Kasus Gus Dapperton agak unik. Baik Jonathan maupun Theo mengaku bahwa manajemen Gus Dapperton meminta pembayaran dilunasi paling lambat 21 November 2019 sore. Pembayaran penuh pun dilakukan pada pukul 16:00 WIB, beberapa jam sebelum tenggat waktu yang diberikan. Namun, pihak Gus Dapperton merasa belum menerima pembayaran dan menolak berangkat. “Padahal proses penerimaan dana di luar negeri tidak sama,” keluh Theo. “Transfer antarnegara memang butuh waktu.”

Sehari setelah interaksi tersebut, bayaran Gus Dapperton baru cair ke rekening manajemennya di Amerika Serikat. Sayangnya, waktu sudah kelewat mepet untuk memesan tiket pesawat menuju Indonesia. Manajemen Gus pun mengembalikan pembayaran tersebut, tetapi nasi sudah keburu jadi bubur. Lokatara Festival terpaksa kehilangan salah satu penampil andalannya.

Visa dan Perizinan Terselubung

Sebetulnya saat itu juga, harapan belum sepenuhnya pupus. Lokatara Festival 2019 masih mendatangkan The Drums dan Alextbh, dua artis luar negeri dengan audiens yang tak sedikit di Indonesia. Namun, di hari H penyelenggaraan festival, kedua headliner tersebut juga batal manggung.

Menurut Jonathan dan Theo, kedua band tersebut telah tiba di Jakarta, bahkan The Drums “sudah tinggal naik mobil yang akan mengantar mereka ke venue untuk soundcheck.” Namun, ketika mereka memeriksa cap di paspor mereka, personil dari kedua band mendapati bahwa mereka datang ke Indonesia dengan visa turis alih-alih visa kerja. Merasa hal ini membuat mereka rentan diciduk Imigrasi, The Drums dan Alextbh emoh menyambangi venue.

Kepada kami, Theo mengaku bahwa ada “pihak ketiga” yang tidak menjalankan kewajibannya untuk mengurus visa kerja para penampil. Ia pun mengaku bahwa praktik ini wajar: sebuah event organizer tak mungkin mengerjakan semua hal. Sebagian pekerjaan pastilah dilimpahkan kepada vendor. “Ibaratnya saya minta vendor bikin panggung ukuran 4×8 meter, saya bayar lunas, tapi ternyata panggungnya cuma ukuran 1×2 meter, kenapa EO yang disalahkan?” tanya Theo.

Namun, persoalannya lebih serius. Jonathan mengaku bahwa saat pihak Lokatara seharusnya mulai mengurus visa kerja, dana dari sponsor belum turun. Seminggu sebelum hari H, status visa para penampil masih mengambang dan tidak ada agen yang berani mengurus. “Kami nekat pakai visa turis dengan catatan ada “uang” ke oknum imigrasi supaya enggak dicek,” ungkap Jonathan. Kepada Asumsi.co, Theo mengaku tidak tahu menahu soal praktik ini. Sampai artikel ini ditulis, pihak Dirjen Imigrasi pun belum membalas pertanyaan-pertanyaan kami.

Insiden The Drums bukan kali pertama Lokatara bermasalah dengan oknum imigrasi. Pada Lokatara Festival 2018, Boy Pablo sempat dongkol sebab visanya dipermasalahkan oleh pihak imigrasi. Penelusuran dari Incotive.com melaporkan bahwa Boy Pablo amat risih akibat perisakan itu. Seorang anggota tim Boy Pablo bahkan terpaksa “memanfaatkan koneksinya dengan salah satu menteri di Indonesia” untuk menyelesaikan perkara tersebut. Penyebab persoalan ini, menurut Jonathan, amat sederhana. “Di kasus Boy Pablo, kami pakai agen dan coba menempuh jalur legal,” ungkapnya. “Tapi duit kita dibawa kabur. Cuma, karena tahun lalu duitnya deras, masih bisa nutupin.”

Secara legal, musisi luar negeri yang konser di Indonesia seharusnya mengantongi visa kerja atau KITAS. Namun, pengajuan KITAS harus dilakukan sejak jauh-jauh hari, kelewat lama untuk promotor lokal yang biasanya baru deal dengan band tersebut tak lama sebelum konser. Menurut Condro (bukan nama sebenarnya), yang bekerja di salah satu promotor musik lokal, kebanyakan promotor mengambil jalan pintas dengan menyewa jasa calo KITAS.

“Di Jakarta, kabarnya ada 2-3 orang “mafia KITAS” untuk penampil mancanegara,” ungkap Condro. “Mereka berafiliasi dengan imigrasi dan kepolisian, tapi bukan anggota langsung.” Hanya para calo KITAS inilah yang bisa memberikan surat sakti tersebut dalam rentang waktu sekian hari. Tanpa mereka, proses pengajuan KITAS butuh waktu berbulan-bulan, itu pun belum tentu diloloskan oleh pihak Imigrasi.

Cara kerjasama mereka sederhana. Perwakilan promotor akan menghubungi calo tersebut lalu menanyakan harga. Umumnya, dipatok harga Rp5-10 juta per kepala, angka yang sudah termasuk biaya cukai. Kemudian, pihak promotor akan mengirimkan pindaian paspor, pas foto, asuransi penerbangan, serta info penerbangan, dan KITAS akan dikirim melalui surel dalam jangka waktu dua pekan. Di bandara, bawahan sang calo akan “menjemput” band tersebut di terminal, dan mengantarkan mereka sampai ke lobi bandara.

Menurut Condro, eksistensi calo-calo KITAS ini telah menjadi “rahasia terbuka” di kalangan EO dan promotor lokal. Para “mafia KITAS” yang disebut Condro tak hanya digunakan jasanya oleh promotor level menengah-kecil, tetapi juga oleh festival rock kelas internasional dan konser-konser megabintang K-Pop. Para promotor pun mengenalkan calo langganan mereka pada promotor lainnya, seperti bapak-bapak di pos ronda yang bertukar referensi tukang pijat. Condro pun mengaku tak kaget mendengar situasi pelik yang dihadapi Lokatara Festival. Mungkin, tuturnya, mereka lewat jalur lain dan salah langkah.

Bahkan setelah The Drums dan Alextbh batal manggung, drama tak berhenti. Peachy!, musisi asal Amerika Serikat yang tetap nekat naik panggung, disita paspornya oleh pihak imigrasi yang melakukan inspeksi dadakan ke Lokatara Festival. Sebab konser tersebut berlangsung pada hari Sabtu, paspor Peachy! ditahan sampai hari Senin dan ia disuruh melapor ke imigrasi untuk dimintai keterangan.

Setelah kelimpungan mencari tempat tinggal dalam akhir pekan dadakannya di Jakarta, Peachy! kembali ke negara asalnya pada Selasa, 26 November 2019.

Menguasai dan Mengelola Medan

Permasalahan dana, sponsor yang undur diri, hingga artis utama yang batal tampil memang menjegal langkah Lokatara Festival. Namun, terlepas dari semua itu, eksekusi acara di hari H terbilang baik. Meski ada beberapa laporan band yang terpaksa menyudahi setlist lebih cepat, hal itu masih dalam taraf wajar. Persoalannya terang belaka: pada akhirnya, festival tersebut sepi bukan main.

Hal yang sama tak bisa kita katakan tentang Lalala Fest dan Musikologi. Ribuan penonton membludak di venue, sambutan untuk tiap penampil sungguh meriah, dan antusiasme publik amat menggembirakan. Lantas, mengapa kedua festival itu disebut senapas dengan Lokatara Festival sebagai festival musik yang berujung sengsara? Manajemen pertunjukan.

Ambil contoh Lalala Fest. Acara yang diprakarsai oleh THE Group itu diselenggarakan di hutan, dan konsep konser outdoor tersebut menarik perhatian banyak orang. Sayangnya, eksekusi pertunjukan banyak dikritik. Kendaraan shuttle dari tempat parkir ke venue tak cukup untuk mengangkut semua penonton. Drop point penonton pun berjarak dua kilometer dari area pintu masuk festival dengan kondisi hujan deras dan jalan menanjak. Area konser minim penerangan, jumlah tempat sampah sangat sedikit, dan fasilitas seperti toilet tak memadai. Penonton susah payah mengakses venue, dan tersiar laporan volunteer yang terdampar di lokasi sampai subuh akibat kelelahan dan tak mendapat transportasi pulang.

Musikologi 2019 bertempat di pusat kota Jakarta, tepatnya di Plaza Timur Senayan. Siang hari, bencana kecil melanda. Kru salah satu penampil awal, Jonkoppings, tak sengaja menghapus data soundcheck band-band lain seperti The S.I.G.I.T, Seringai, dan The Panturas. Acara pun molor berjam-jam akibat uji bunyi yang harus diulang, dan banyak band terpaksa memotong waktu manggungnya untuk menyesuaikan diri.

Hujan deras melanda Jakarta, dan air menggenang di area venue dan merembes sampai bawah panggung. Mengutip pernyataan resmi panitia yang disebarluaskan di media sosial, saat itu panitia mengambil keputusan bahwa situasi tak memungkinkan untuk melanjutkan pertunjukan dan mengambil break sejam. Konser pun kian molor. Jason Ranti seharusnya naik panggung pukul 18.05, tetapi baru naik panggung jam 7 lebih dan tampil hampir dua jam. Seringai pun harusnya tampil pukul 21.45, tetapi baru manggung jam 00.05.

Karena kemunduran jadwal ini, band Fourtwnty batal manggung. Mereka harus sudah terbang menuju Bali pada dini hari itu juga, dan molornya acara tersebut kelewat jauh untuk mereka. Menjelang penampil terakhir, Feel Koplo, terjadi insiden mengagetkan. Oknum keamanan “melakukan sabotase terhadap genset”, dan lampu-lampu di venue mulai redup dan dimatikan. Saat itu pula, terdengar suara dari pengeras suara di sekitar area venue yang menyuruh pengunjung membubarkan diri.

Situasi kian memanas. Penonton berteriak meminta Feel Koplo naik panggung. Panitia Musikologi bernegosiasi dengan pihak keamanan dan berhasil menyalakan kembali genset dan lampu, tetapi penonton terpancing saat melihat salah satu kru artis menggulung kabel dan merapikan alat di atas panggung. Mereka mengira konser sungguh-sungguh hendak dibubarkan. Kontan, mereka mengamuk. Pagar dirobohkan, sound system dan alat musik di panggung dirusak, tenda panitia hampir dibakar, bahkan terjadi penjarahan terhadap peralatan di area venue.

Melalui pernyataan resmi mereka, pihak Musikologi menyalahkan oknum keamanan dari Hotel Sultan, yang terletak tak jauh dari venue. Pihak keamanan Hotel Sultan dinilai melakukan “sabotase” dan mengambil keputusan sepihak “tanpa konsultasi ke pihak berwajib”.

Tuduhan ini dibantah oleh Indira, Marcomm Manager dari Hotel Sultan. Pihaknya justru menuding Musikologi melanggar izin keramaian dari kepolisian yang hanya memperkenankan acara berlangsung sampai pukul 11 malam. Gara-gara molor, pihak Hotel Sultan dan panitia Musikologi “telah melakukan mediasi”, yang berujung pada kesepakatan agar acara selesai pukul 11.30 malam. Namun, kesepakatan tersebut tetap dilanggar dan acara berlangsung sampai lewat tengah malam.

“Hotel Sultan mengalami kerugian materiil dan moril karena keterlambatan tersebut,” ungkap Indira. “Banyak tamu yang mengeluhkan noise ke kami, dan bahkan ada beberapa yang langsung check out saat itu juga.”

Saat dihubungi oleh Asumsi.co, pihak Musikologi menolak diwawancarai.

Salah satu kritik yang dilayangkan kepada Musikologi adalah soal keterbukaan dan komunikasi. Melalui media sosialnya, Feel Koplo mengaku bahwa penampilan mereka dibatalkan hanya melalui pemberitahuan singkat panitia meski acara telah molor dua jam dan Feel Koplo telah bersiap sejak pukul 21.00. Kondisi listrik venue yang telah mati pun mencegah panitia menjelaskan duduk perkara kepada penonton dan menenangkan mereka. Hanya berselang beberapa jam setelah acara ricuh, media sosial resmi Musikologi 2019 pun hilang dan baru muncul lagi setelah sehari.

Dalam pernyataan resmi yang mereka rilis hari itu (1/12), Musikologi mengimbau penonton yang melakukan penjarahan untuk mengaku dan mengembalikan barangnya. Bila dalam jangka waktu 2×24 jam semua barang yang dijarah belum kembali, mereka terpaksa menempuh jalur hukum. Pengacara mereka nantinya tak sendirian. “Sebetulnya kami sangat kecewa dengan pernyataan pihak Musikologi yang amat sepihak dan hanya berupa asumsi mereka,” ucap Indira dari Hotel Sultan. “Kami dapat menuntut mereka karena pernyataan tersebut. Namun, sejauh ini belum ada instruksi dari atasan.”

Menerka Nasib Jejaring Konser Lokal

Insiden di Lokatara Festival maupun kerusuhan Musikologi 2019 dapat meninggalkan dampak menahun bagi ekosistem musik lokal. Ricky Siahaan, gitaris Seringai yang tampil di Musikologi, merasa kerusuhan tersebut dapat mempersulit perizinan konser di masa depan.

“Setelah kerusuhan konser Metallica di tahun 1993, konser musik metal internasional di Jakarta seperti terhenti,” kenang Ricky. “Baru tahun 2005 ada konser internasional lagi yang menghadirkan Napalm Death.” Di sisi lain, geliat kancah musik independen Jakarta di venue legendaris Poster Cafe terpaksa buyar setelah terjadi kerusuhan antara penonton dan warga sekitar pada tahun 1999.

Pada 2007, budaya pensi yang sempat marak pada awal 2000-an terhenti karena kerusuhan besar di Pensi SMA 44. Dalam sejarah musik Jakarta, kerusuhan tak hanya berujung pada kerugian materil. Kerusuhan cenderung menjadi penanda berakhirnya suatu fase penting dalam perkembangan musik lokal.

“Semua orang pasti akan terdampak, tapi promotor menengah-kecil akan paling menanggung bebannya,” keluh Ricky. “Event mereka pasti jauh lebih banyak jumlahnya ketimbang promotor besar, dan jumlah uang dari sponsor pun lebih sedikit. Bila elemen produksi seperti perizinan semakin sulit didapatkan, menurut saya sustainability para promotor ini bakal terpengaruh.”

Blunder visa di Lokatara pun dapat berakibat fatal di jangka panjang. Insiden tersebut–apalagi telah berulang–dapat membuat booking agent dan artis mancanegara ragu berkunjung, sebab ngeri akan terkena persoalan serupa. “Di hari yang sama insiden Lokatara, saya di-email seorang agen yang mempertanyakan kapabilitas kami, dan apakah aman untuk konser di Jakarta,” ungkap Argia Adhidhanendra. “Saya rasa, hal yang sama akan atau malah sudah dirasakan promotor level menengah lainnya.”

Argia tak sendirian. Seperti dilansir oleh Incotive, ketika Boy Pablo dipermasalahkan visanya, pihak manajemennya mengaku telah “mengingatkan” artis internasional lain seperti Clairo agar “berhati-hati apabila diundang ke Indonesia.” Hal ini tentu preseden buruk bagi posisi Indonesia dalam jejaring tur global ke depannya.

Namun, insiden-insiden tersebut juga dapat kita pandang sebagai upaya ekosistem musik Indonesia mendewasakan diri dan menemukan ceruknya di kancah musik global. “Mungkin dana yang saat ini mengucur semakin banyak, tapi utilisasi dana oleh pelaku industri kita masih kurang bijak,” kata Argia. “Saya pernah melihat salah satu promotor lokal malah menggila dalam menawar harga band, merekrut pegawai, dan membuat kantor mewah alih-alih berinvestasi membeli alat atau membuat perencanaan jangka panjang.” Padahal, ucap Argia, dalam dunia konser, Anda “bisa kaya dalam sehari atau jatuh miskin dalam sehari” pula.

Bagi Ekrig, lambat laun promotor menengah-kecil lokal mesti mulai belajar mengorganisir diri dengan lebih baik. “Biasanya detailnya suka ditunda-tunda, mentang-mentang acaranya masih 2-6 bulan dari sekarang,” kritik Ekrig. “Akomodasi, tiket, visa, transportasi diurus pas sudah dekat hari H. Akhirnya hotel yang diincar tiba-tiba sudah penuh dan terpaksa pindah ke hotel yang kurang layak atau lebih mahal. Imbasnya, overbudget.”

Masalah yang dihadapi oleh Lalala Fest, LANY, Lokatara Festival, dan Musikologi semestinya menjadi pemantik untuk percakapan yang lebih serius bagi orang-orang dalam ekosistem musik lokal. Bagaimana cara kita mendanai konser-konser, dan apakah metode tersebut dapat diandalkan? Apakah anggaran kelewat gede dan skala konser masif telah kita limpahkan kepada promotor yang tidak kuasa menanganinya? Apa kompromi yang tepat untuk menyudahi problem pengajuan visa bagi artis luar negeri yang akan konser di Indonesia?

Selagi ekosistem musik kita mendewasa dan bertumbuh, pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk kita konfrontir. Alangkah pandirnya bila kita malah diam menanti insiden berikutnya, lantas mengulang pertanyaan yang telah kita ajukan sejak dahulu kala. Asal tahu saja, bahkan keledai hanya dua kali jatuh ke lubang yang sama.

Share: Mengapa Banyak Festival Musik Lokal Dikelola dengan Buruk?