Seperti pecandu porkas meninggalkan pos ronda, Nobel Sastra tersandung lagi. Tahun ini, hadiah sastra paling bergengsi di muka bumi itu dianugerahkan kepada dua penulis kawakan, Olga Tokarczuk asal Polandia untuk 2018 serta Peter Handke asal Austria untuk 2019. Pemilihan Tokarczuk, novelis yang belum lama ini diterjemahkan ke bahasa Inggris, menuai pujian dari seluruh dunia. Persoalannya terletak pada Handke. Novelis dan penulis naskah teater itu telah lama dikritik sebagai apologis salah satu rezim paling brutal di Eropa.
Dalam 30 tahun terakhir, Handke rajin membela rezim Slobodan Milosevic, presiden Serbia yang ditahan pada 2001 akibat keterlibatannya dalam Genosida Bosnia. Setelah Yugoslavia pecah pada awal dekade 1990-an, bekas provinsi-provinsinya terlibat dalam perang berkepanjangan dengan satu sama lain. Persoalan etnis, nasionalisme, hingga agama menyeruak ke permukaan. Milosevic, presiden Serbia kala itu, menjadi figur kunci dalam konflik di Bosnia.
Atas perintahnya, pasukan Serbia dibantu kelompok paramiliter melakukan berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang menewaskan ratusan ribu orang, banyak di antaranya minoritas Muslim di Bosnia. Puluhan ribu perempuan menjadi korban pemerkosaan, kota dan desa dibumihanguskan, dan 2,2 juta orang terpaksa mengungsi. Salah satu insiden paling brutal dalam konflik ini adalah Pembantaian Srebrenica pada Juli 1995. Lebih dari 8 ribu penduduk etnis Bosnia dibantai oleh paramiliter etnis Serbia pimpinan Ratko Mladic.
Handke terang-terangan menyampaikan dukungan kepada Milosevic. Pada 1996, saat darah ribuan korban tewas di Srebrenica belum sepenuhnya kering, Handke menerbitkan kumpulan esai A Journey to the Rivers: Justice for Serbia. Ditulis pasca lawatan singkat ke Serbia, dalam buku itu Handke mencaci media Barat yang “terus bersikeras bahwa Serbia adalah pihak yang jahat” sembari bersikeras bahwa ia “berada di sisi rakyat Serbia.”
Handke semakin disorot setelah ia menyatakan bahwa pembantaian terhadap Muslim Bosnia sebetulnya dilakukan oleh pasukan Muslim yang kemudian menyalahkan tentara Serbia. Dalam artikel untuk majalah Prancis Liberation, Handke turut mencibir tudingan soal kamp-kamp penyiksaan yang dikelola Serbia sepanjang perang. “Kita tidak bisa menganggap bahwa hanya Serbia yang mengelola kamp,” tulis Handke. “Ada juga kamp yang dikelola pasukan Muslim dan Kroasia.”
Tulisan Handke ini dikritik Peter Maass, wartawan yang kala itu meliput konflik Bosnia untuk The Washington Post. “Pasukan Muslim tak memiliki kamp penyiksaan dengan skala sebesar itu, di mana ribuan tahanan dibawa masuk, disiksa, dan dibunuh,” tulis Maass. Anggapan Handke bahwa “semua orang juga melakukannya” adalah posisi yang “jahat.”
Posisi naif Handke, ucap Maass, kian meragukan karena sepanjang konflik Bosnia dan setelahnya, Handke tak pernah sekalipun menjejakkan kaki di Bosnia. Pada 2017, eks komandan pasukan paramiliter etnis Serbia di Bosnia, Ratko Mladic, dipenjara seumur hidup atas tuduhan kejahatan pada kemanusiaan. Slobodan Milosevic sendiri tak pernah menanggung akibat perbuatannya. Meski ia ditahan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2001, ia mati pada 2006 sebelum pengadilan atasnya rampung.
Handke tak hanya menghadiri pemakaman tersebut, melainkan juga berpidato dalam pemakaman Milosevic. “Saya tidak tahu kebenarannya,” ucap Handke. “Tetapi saya melihat. Saya mendengar. Saya merasakan. Dan saya mengingat. Sebab itulah saya berada di sini, dekat dengan Yugoslavia, dengan Serbia, dengan Slobodan Milosevic.”
Pergumulan Handke dengan konflik kontroversial ini membuatnya dikucilkan dalam pergaulan sastra internasional. Pada 2006, ia dinominasikan sebagai pemenang Heinrich Heine Prize di Dusseldorf, Jerman. Namun anggota yayasan kota Dusseldorf, yang mendanai penghargaan tersebut, mengancam akan memveto keputusan dewan juri Heinrich Heine Prize apabila mereka bersikeras memenangkan Handke. Tak lama kemudian, Handke menyatakan menolak anugerah tersebut.
Tahun 2014, Handke diganjar gelar International Ibsen Award, penghargaan paling prestisius untuk dunia teater. Kabar ini disambut dengan kemarahan berbagai organisasi sastra dan hak asasi manusia. Termasuk PEN International cabang Norwegia, yang secara khusus mengutuk keputusan dewan juri Ibsen Award. Handke tetap memenangkan penghargaan tersebut, tetapi ia menolak menerima hadiah uang $400,000 dari panitia.
Rangkaian peristiwa kontroversial ini nyaris sepenuhnya menutupi karier kesusasteraan Handke yang cemerlang. Ia dikenal karena novel dan naskah teaternya yang inovatif, termasuk pementasan provokatif bertajuk Offending The Audience. Lambat laun, Handke dikenal karena sering batal menerima penghargaan internasional. Peristiwa berulang ini menjadikan Handke getir terhadap penghargaan kesusasteraan. Pada tahun 2014, ia menyampaikan bahwa Hadiah Nobel “harusnya dihapuskan saja” sebab “gelar tersebut mempromosikan kanon sastra yang keliru.”
Handke begitu kontras dengan Olga Tokarczuk, pemenang Nobel Sastra 2018. Karya-karya Tokarczuk banyak mengeksplorasi tema-tema menantang kemanusiaan, sejarah, dan kehidupan. Novelnya, Flights, memenangkan penghargaan bergengsi Man Booker International Prize 2018. Karyanya yang lain, Drive Your Plow Over The Bones of the Dead, mengangkat tema konflik dan lingkungan yang mencerminkan ansietas akibat perubahan iklim.
Namun, karyanya yang paling kontroversial adalah novel terbarunya, The Book of Jacob. Ia merunut kisah Jakub Frank, seorang rohaniawan Yahudi di Polandia abad 18 yang memaksa pengikutnya berpindah agama ke Islam dan Katolik. Dalam buku tersebut, bangsa Polandia digambarkan dalam posisi moral yang abu-abu. Isi buku ini menjadikannya sasaran amarah ultranasionalis di Polandia. Ia dianggap berseberangan dengan narasi sejarah resmi bahwa bangsa Polandia, sepanjang sejarahnya, seringkali menjadi korban.
Tokarczuk dijuluki “pengkhianat”, dicibir di media nasional, dan menerima ancaman pembunuhan. Rekam jejaknya sebagai seorang aktivis pro-demokrasi, pemikiran feminisnya yang tajam, serta kritiknya yang bertubi-tubi terhadap pemerintah sayap kanan Polandia kian menjadikannya “musuh bersama” kubu ultranasionalis di negaranya.
Sekretaris permanen panitia Nobel, Mats Malm, membela penganugerahan Nobel Sastra pada Handke karena komite Nobel “hanya mempertimbangkan bobot estetika dan kesusasteraan sebuah karya.” Lebih jauh lagi, ia menegaskan bahwa Nobel “tidak berhak membandingkan kualitas sebuah karya dengan pertimbangan politik.”
Namun, koresponden The Economist dan panitia Booker International Prize Fiammetta Rocco berpendapat bahwa panitia Nobel “seolah sengaja hendak memasangkan Handke dengan Tokarczuk.” Meski posisi politik dan latar belakang kedua penulis tersebut berbeda jauh, keduanya sama-sama “menulis tentang tanah yang diperebutkan, siapa yang berhak memiliki kenangan, dan kebutuhan manusia untuk berbagi kisah.” Bagi Rocco, Komite Nobel Sastra hendak menampilkan dua sisi argumen dari persoalan yang serupa.
Tentu hal ini memantik perdebatan yang lain lagi. “Orang-orang yang berkuasa memiliki tanggungjawab khusus untuk memastikan kata-kata dan gestur mereka selaras dengan dunia nyata,” tulis Peter Maass. Menulis untuk CNN, kolumnis Rafia Zakaria mengutarakan pendapat serupa. “Komite Nobel Sastra nampaknya tertular virus ‘mari dengarkan kedua sisi’ yang kian dipopulerkan oleh politik Donald Trump,” kata Zakaria.
Sementara Tokarczuk konsisten mengkritik konsep ultranasionalisme, Handke dinilai sebagai cerminan sayap kanan politik Eropa. “Pihak-pihak ini hendak membangkitkan masa lampau imajiner di mana mereka menjadi korban dari gangguan orang lain seperti perempuan, minoritas, dan migran,” tulis Zakaria. Dengan memberi panggung setara bagi pemikiran penuh kebencian seperti itu, Komite Nobel telah “gagal mengambil posisi moral yang semestinya dimiliki sastra.”
Bahkan sebelum pro-kontra penganugerahan Handke, Nobel Sastra sendiri telah berada dalam posisi sulit. Tahun lalu, Nobel Sastra disorot setelah terungkapnya tindakan pelecehan seksual dan penyalahgunaan finansial yang dilakukan Jean-Claude Arnauld, suami seorang anggota Komite Sastra. Skandal ini berujung pada mundurnya enam anggota Komite Sastra–keanggotaan Komite Nobel harusnya berlaku seumur hidup–dan dipenjaranya Arnauld.
Akibat skandal ini, komite Nobel Sastra mengumumkan bahwa penganugerahan Nobel Sastra 2018 dibatalkan, kali pertama hal ini terjadi sejak 1949. Sebagai gantinya, mereka berjanji akan menganugerahkan hadiah tahun itu bersamaan dengan hadiah tahun 2019.
Selama setahun terakhir, Komite Nobel Sastra berupaya keras merehabilitas citranya yang terpuruk. Menjelang pengumuman penerima Nobel Sastra 2019, ketua Komite Nobel Sastra Anders Olsson menyatakan bahwa pihaknya “memerlukan perspektif sastra yang lebih global, dan tidak terpaku pada Eropa.” Selain itu, ia pun mengakui bahwa Nobel Sastra telah begitu lama “didominasi oleh laki-laki.” Sejauh ini, Nobel Sastra telah dianugerahkan kepada 113 laki-laki, sementara hanya 15 penulis perempuan–termasuk Tokarczuk–yang menerima gelar tersebut.
Namun, pemilihan pemenang Nobel Sastra 2019 dianggap tak selaras dengan semangat baru tersebut. Bahkan, adanya sosok seprogresif Olga Tokarczuk dianggap tak meringankan posisi Nobel Sastra. Seharusnya, Tokarczuk menerima Nobel Sastra di tahun 2018, sebelum skandal tersebut membatalkan seremoni penganugerahan. Ia dirapel dengan Handke, penerima Nobel Sastra tahun 2019. Artinya di tahun pertama pasca skandal tersebut, Komite Nobel Sastra justru memilih penulis yang tak hanya berasal dari Eropa dan berpandangan Eurosentris, mereka sekaligus memilih penulis laki-laki.
Tak heran bila keputusan Komite Nobel Sastra menuai kritik dari berbagai penjuru. PEN America menyampaikan bahwa “komunitas sastra pantas mendapat lebih baik”, The Guardian menyebut keputusan tersebut “luar biasa ganjil”, sementara itu filsuf Slavoj Zizek menyebut bahwa Swedia, negara asal Hadiah Nobel, telah menunjukkan wajah sesungguhnya. “Seorang pembela kejahatan perang mendapat Hadiah Nobel sementara negara tersebut terlibat langsung dalam pembunuhan karakter Julian Assange,” ujar Zizek. “Semestinya mereka tidak memberi Handke Nobel Sastra, melainkan mengganjar Assange dengan Hadiah Nobel Perdamaian.”
Namun pernyataan paling menohok datang, lagi-lagi, dari Peter Maass. “Para pemuja estetika dari Komite Nobel telah mengambil pilihan yang akan menghabisi penghargaan mereka,” tulisnya. “Sebaiknya memang begitu.”