Tarif cukai rokok diputuskan naik sebesar 23% mulai 1 Januari 2020 dalam rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/09/19). Kenaikan tarif ini bakal berimbas pada harga jual eceran rokok, yang diperkirakan rata-rata naik 35%.
Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution menguraikan tiga alasan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok. “Satu, tahun lalu tidak naik. Wajar kalau sekarang naiknya lebih banyak, lebih besar,” kata Darmin di Jakarta Convention Center (JCC), Sabtu (14/09).
Alasan kedua, lanjut Darmin, adalah upaya menurunkan konsumsi yang hubungannya dengan kesehatan. Alasan ketiga ialah urusan penerimaan negara.
Pemerintah yakin kenaikan cukai akan mendongkrak penerimaan negara, membantu pembiayaan dalam APBN 2020. “Nah, dari semua itu kemudian ditimbang-timbang, naik berapa cukainya. Berapa naik cukai, berapa naik harga jual eceran, itu angka yang sudah diceritakan oleh Ibu Sri Mulyani,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut tarif cukai rokok perlu dinaikkan hingga 23% demi menekan tren konsumsi rokok yang terus meningkat. “Jumlah prevalensi perempuan dan anak yang mengisap rokok meningkat. Perempuan, misalnya, dari 2,5% menjadi 4,8%. Anak-anak dari 7% menjadi 9%,” kata Sri Mulyani usai rapat terbatas di Istana Negara pekan lalu.
Data tersebut berasal dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Senada dengan Darmin, Sri Mulyani juga mengatakan tarif cukai rokok dinaikkan untuk menambah penerimaan negara. Untuk 2020, pemerintah menargetkan penerimaan cukai naik 13% menjadi Rp179,2 triliun, dari target tahun ini sebesar Rp158,8 triliun.
Ketua Komunitas Kretek Aditia Purnomo mengkritik kenaikan tarif cukai rokok yang berimbas ke para perokok. Katanya, ini penindasan rakyat oleh negara. Menurutnya, saat rakyat kecil menggantungkan penghiburan sederhana atas tekanan kerja sehari-hari pada rokok, negara justru merampasnya.
“Selama ini, rokok salah satu alternatif hiburan paling terjangkau yang bisa didapatkan. Tapi sekarang dihajar habis-habisan oleh korporat dan negara. Ketika harga rokok terlalu tinggi, negara merampas satu dari sedikit kesenangan yang bisa rakyat miliki,” kata Aditia saat dihubungi Asumsi.co, Senin (16/09).
Baca Juga: Harga Rokok Murah, (Si)Apa yang Berpengaruh dan Terpengaruh?
Pungutan cukai dibebankan pada konsumen, sehingga perokoklah yang menanggung kenaikan tarifnya.
Dalam konteks ini, lanjut Aditia, konsumen dan perokok seperti dijadikan sapi perah. Toh selama ini, pungutan negara dari sebatang rokok itu terdiri dari tiga jenis yakni cukai, PPN, dan pajak rokok. “Bayangkan, dari 100% harga rokok, sekitar 70% dibayarkan untuk pemasukan negara dan daerah. Lalu merokok disebut hanya membuat pengusaha kaya, padahal yang paling banyak menikmati uang perokok adalah negara,” ucapnya.
Di seluruh dunia, rokok memang biasa dikenakan cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan bea masuk impor. Namun, khusus di Indonesia, ada istilah pita cukai rokok yang terdiri dari tarif cukai, pajak rokok (10% dari tarif cukai), serta PPN. Pajak rokok 10% itu ditetapkan sejak 2014.
Aditia menilai target penerimaan cukai negara tidak akan tercapai lantaran harga rokok akan jadi tidak terjangkau. Para perokok bakal sulit beradaptasi dengan kenaikan harga eceran itu, sehingga bisa jadi mereka memilih rokok ilegal, yang tidak menyetor kepada negara. Dalam kondisi ini, katanya, berbagai pihak akan merugi, mulai dari pabrik rokok legal, para pekerjanya, hingga para petani tembakau dan cengkih.
“Mari kita beli tembakau langsung dari petani, dan menikmati kretek lintingan sendiri. Biar saja negara merugi, yang penting kita tetap bisa merokok dan menjadikannya penghiburan paling terjangkau yang bisa kita dapatkan di negara ini,” ujarnya.
Peneliti Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Nurul Luntungan mengapresiasi dan mendukung langkah pemerintah untuk menaikkan cukai rokok. Menurut Nurul, keberadaan cukai itu penting lantaran fungsinya untuk pengendalian.
“Rokok itu barang yang perlu dikendalikan, ya. Dia barang legal, tapi bukan barang yang normal. Harus dikendalikan produksinya,” kata Nurul saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (17/09).
Nurul mengatakan memang tugas pemerintah untuk memitigasi kerusakan yang terlalu berat akibat rokok, dan salah satu instrumennya adalah cukai.
“Kenaikan 23% itu bisa dibilang untuk mengompensasi tahun lalu yang sama sekali tidak naik,” ucapnya. Nurul menilai agak berlebihan jika kenaikan tarif cukai itu dianggap memberatkan orang miskin. Padahal setiap tahun, katanya, harga-harga barang lain juga naik dan tidak mengundang kehebohan.
Nurul mengatakan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua perlu terus berpegang pada agenda nasionalnya yang bertajuk “Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul”. Salah satu rencana aksi investasi manusia dalam bidang kesehatan adalah memperkuat program promotif dan preventif dengan pembudayaan gerakan hidup sehat, termasuk menghilangkan perilaku merokok.
CISDI menganggap momentum ini perlu disusul dengan simplifikasi golongan cukai tembakau agar mekanisme kontrol pemerintah bisa berjalan lebih baik lagi. Maka, kepada Kementerian Keuangan, CISDI mendorong agar peta jalan simplifikasi golongan itu diterapkan segera dan secara konsisten. Golongan cukai yang bermacam-macam menimbulkan variasi harga di masyarakat.
Dari analisis CISDI, penerapan simplifikasi cukai diyakini akan menurunkan konsumsi rokok secara efektif, dan memberikan dampak besar perlindungan pada kelompok rentan. “Simplifikasi golongan cukai tembakau secara sistematis dapat mendukung keputusan kenaikan tarif cukai dan harga jual rokok, sehingga akhirnya dapat menekan jumlah konsumsi,” kata Nurul.
Nurul percaya bahwa administrasi penggolongan tarif cukai yang lebih sederhana dapat mengoptimalkan penerimaan negara, mengurangi beban biaya kesehatan nasional atas penyakit-penyakit yang disebabkan rokok, serta memperkecil risiko peredaran rokok ilegal.
Baca Juga: Menilik Politik Cukai Tembakau di Indonesia
Kemenkeu menetapkan Peta Jalan Simplifikasi Cukai melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 146 Tahun 2017 yang mengatur penyederhanaan golongan cukai rokok dari 12 golongan menjadi lima golongan saja pada 2021.
Penerimaan negara dari cukai memang cenderung meningkat dalam rentang 10 tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tren positif ini sudah berlangsung sejak 2007 dengan total penerimaan negara dari cukai mencapai Rp44,68 triliun dan terus meningkat pesat hingga Rp143,53 triliun pada 2016.
Pada 2007, proporsi penerimaan cukai terhadap total penerimaan negara sendiri mencapai 6,31%. Pada 2012, angka ini meningkat menjadi 7,10% dengan total penerimaan cukai sebesar Rp95,03 triliun. Pada 2015, proporsinya sebesar 9,59% dari total penerimaan negara sebesar Rp144,64 triliun.
Pada 2016, realisasi penerimaan negara dari cukai sebesar Rp143,53 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka ini turun 0,76%. Hal ini dipengaruhi oleh penurunan produksi industri rokok: 342 miliar batang atau turun sekitar 1,67% dibandingkan produksi tahun 2015.
Adapun pada 2019, Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Sunaryo menyebut realisasi penerimaan cukai hasil tembakau atau rokok sudah mencapai 48,9% dari target Rp158,9 triliun per Agustus 2019. Itu artinya sudah ada sekitar Rp77,7 triliun cukai rokok yang dikantongi negara.
Angka perokok anak di Indonesia terus meningkat (7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018), jauh dari target RPJMN 2019 untuk menurunkan jumlah perokok anak sebesar 5,4%. Prevalensi remaja usia 15-18 tahun meningkat dari 12,7% pada 2001 menjadi 23,1% pada 2016. Data Riskesdas juga menunjukkan peningkatan prevalensi perokok dewasa (di atas 15 tahun) dari 31,5% pada 2001 menjadi 33,8% pada 2018.
Statista mencatat jumlah rokok yang dikonsumsi di Indonesia pada rentang 2012 hingga 2017 cenderung meningkat, dengan catatan jumlah konsumsi rokok pada 2017 (322,1 miliar) turun dibandingkan 2016 (331,9 miliar). Menurut asean.org pada 2011, merek rokok luar negeri lebih diminati para perokok di Indonesia dengan persentase mencapai 1,47% ketimbang merek lokal dengan persentase 1,18%.
Berdasarkan perhitungan Cigarette Affordability Index (CAI) pada 2016, harga rokok di Indonesia 1,5 kali lebih terjangkau dibandingkan tahun 2002. Meski tarif cukai naik sejak tahun 2014, rokok tetap terjangkau.
Faktor keterjangkauan tentu memengaruhi angka perokok di Indonesia. Cukai rokok Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam, Malaysia, China, dan Australia, tetapi dari sisi harga, rokok di Indonesia jauh lebih murah dibandingkan dengan negara-negara lain. Saat ini, kisaran harga sebungkus rokok di Indonesia berada pada angka Rp15.000 hingga Rp30.000, sementara di negara-negara tetangga seperti Singapura dan Australia mencapai ratusan ribu rupiah.