Isu Terkini

Simpang-siur Kabar Sensitif, Mana yang Bisa Dipercaya?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Pihak keamanan Twitter merilis pernyataan yang mengungkap 936 akun terkoordinir yang mencoba mendelegitimasi aksi protes besar-besaran di Hong Kong. Hasil investigasi menunjukkan bahwa kerja akun-akun ini didukung dan diatur oleh pemerintah RRC, dan merepresentasikan 200.000 akun Twitter lainnya yang ikut menyebarkan propaganda dalam bentuk spam.

“Kami mengidentifikasi sekelompok besar akun yang terkoordinasi untuk menyebarkan pesan-pesan terkait protes di Hong Kong. Semua akun ini telah di-suspend karena melakukan tindakan-tindakan manipulatif, yaitu termasuk spamming, aktivitas terkoordinir dan berkaitan, pembuatan akun palsu, dan ban evasion,” kata Twitter.

Salah satunya bernama Dream News @ctcc507. Akun Twitter ini menyebarkan foto-foto pedemo memecahkan kaca jendela dan menerobos masuk ke sebuah gedung dengan keterangan, “Mereka gila atau jahat? Ini adalah perilaku kekerasan, dan kita tidak mau orang-orang radikal berada di Hong Kong. Pergi!”

Faktanya, hampir 50 juta akun Twitter dijalankan oleh perangkat lunak bot. Sebagian dari akun-akun bot tersebut dipercaya digunakan sebagai alat propaganda pemerintah di seluruh dunia.

Bot Ikut Bicara Papua

Hampir bersamaan dengan protes yang terjadi di Hong Kong, ketegangan juga terjadi di Indonesia. Insiden tuduhan perusakan bendera, kemudian serangan bermuatan rasisme terhadap mahasiswa Papua, memicu protes besar-besaran masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia.

Menurut Tirto, situasi sekarang hanyalah puncak gunung es dari kekerasan dan rasisme sistemik yang kerap dialami oleh warga Papua.

Berkat pemutusan jaringan internet, layanan telepon, dan listrik di Papua, mendapatkan informasi yang terverifikasi tentang Papua menjadi sulit. Media-media internasional yang memberitakan Papua malah dituduh menyebarkan hoaks oleh Pusat Penerangan TNI. Veronica Koman, pengacara dan aktivis HAM, dijerat dengan pasal berlapis karena dituduh menyebarkan hoaks dan provokasi.

Publik pun semakin bingung berkat disinformasi tentang Papua. Jaringan akun-akun bot berskala besar di platform media sosial berperan penting menciptakan situasi ini.

Investigasi Benjamin Strick, peneliti dari BBC, menunjukkan adanya aktivitas terkoordinir di media sosial untuk menyebarkan informasi yang pro-pemerintah. Akun-akun bot ini melawan pemberitaan tentang bentrokan antara TNI dan masyarakat Papua serta seruan Papua Merdeka dengan menyebarkan informasi yang mengklaim Papua damai, cinta Indonesia, dan menunjukkan berbagai kontribusi pemerintah Indonesia terhadap pembangunan di Papua.

Benjamin menganalisis beberapa akun yang punya pola interaksi aneh. Beberapa di antaranya adalah @info_westpapua, @west_papuanid, dan @marco26700420. Akun Twitter @marco26700420, dibuat pada Juni 2019, menyebarkan informasi menggunakan hashtag berkaitan dengan Papua dan gerakan kebebasan.

Akun yang telah di-suspend ini disebut sebagai bot karena identitas pemiliknya tak jelas. Akun ini juga punya pengikut dan mengikuti akun-akun lain dalam jaringan bot yang sama, yang men-twit dengan hashtag yang sama.

Akun-akun ini mempromosikan peran positif pemerintah dalam membangun Papua, seperti mengunggah video yang menginformasikan aplikasi budget monitoring yang dibuat pemerintah.

Pada 5 September 2019, @info_westpapua, misalnya, mengajak orang-orang datang ke Papua, yang warganya berjiwa nasionalistik sebab setiap rumah di Papua mengibarkan bendera Indonesia. Akun Twitter ini juga menyebut Veronica Koman sebagai sosok anti-NKRI garis keras dan penyebar hoaks Papua.

Ada pula akun-akun yang berfokus untuk me-retweet bot-bot lain. Akun-akun dalam jaringan bot ini mencuit dan me-retweet dalam rentang waktu yang amat berdekatan—hanya berjarak dua detik dari satu sama lain.

Selain Twitter, akun-akun bot ini juga tersebar di Facebook dan Instagram. Akun Twitter @West_Papua_ID punya website westpapuaindonesia.com, akun Youtube, akun Instagram dengan jumlah pengikut lebih dari 10 ribu, dan halaman Facebook dengan 152 ribu pengikut. Hasil investigasi menunjukkan pengikut asli akun Instagram tersebut hanya sebesar 34%.

“Saya bisa mengatakan bahwa jaringan bot otomatis digunakan di Twitter dan media-media sosial besar lain untuk menyebarkan propaganda tentang keterlibatan pemerintah Indonesia di Papua. Jaringan ini menggunakan hashtag tentang genosida dan gerakan Papua merdeka untuk menenggelamkan narasi-narasi antipemerintah,” simpul Benjamin.

Pola Serupa di Negara Lain

Distorsi informasi oleh jaringan bot terjadi di banyak negara. Republik Rakyat Cina, misalnya, melakukan hal serupa untuk menciptakan impresi positif tentang negaranya.

Hasil penelitian Gillian Bolsover memperlihatkan strategi pemerintah RRC untuk meredam kritik. Alih-alih memberikan jawaban yang terang, mayoritas akun media sosial pemerintah malah menyebarkan informasi positif tentang kebanggaan warga negara dan prestasi-prestasi yang dicapai oleh pemerintah. Strategi propaganda ini paling menonjol terjadi di saat terjadi peristiwa politik yang sensitif.

Akun-akun Twitter yang saling mengikuti satu sama lain dan menggunakan foto-foto profil dari stock images dan wajah selebritas ini menyebarkan informasi dari tautan yang sama. Informasi yang disebarkan di antaranya adalah kabar-kabar positif tentang Tibet—daerah yang punya sejarah panjang dijajah RRC dan kini berstatus daerah otonomi khusus.

“Informasi-informasi bersifat spam yang dibagikan di Twitter ini berbicara tentang Tibet dan menggunakan hashtag-hashtag yang berhubungan dengan Tibet. Hanya, informasi tersebut mengandalkan perspektif pemerintah RRC dan bertentangan dengan perspektif dari komunitas eksil Tibet,” ujar salah satu peneliti.

Penelitian ini juga menemukan 100 akun palsu di Twitter yang terorganisir me-retweet konten yang selaras dengan pandangan situs dan pernyataan resmi pemerintah RRC tentang situasi Tibet. Berdasarkan sistem pengoperasian yang canggih ini, penelitian mengindikasikan adanya campur tangan dan dukungan pemerintah dalam menciptakan propaganda ini.

Penelitian yang termasuk dalam The Computational Propaganda Project dari Universitas Oxford ini memperlihatkan bagaimana media sosial digunakan untuk menggiring atau memanipulasi opini publik. The Computational Propaganda Project juga melakukan penelitian di delapan negara lain, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Polandia, Brazil, Kanada, Jerman, Ukraina, dan Taiwan selama tahun 2015 sampai 2017.

Berdasarkan penelitian ini, ditemukan pola pergerakan media sosial pada setiap periode pemilihan umum, peristiwa politik, dan insiden keamanan nasional.

Sam Woolley dan Dough Guilbeault meneliti penggunaan akun bot oleh tim kampanye Hillary Clinton dan Donald Trump pada pemilihan umum 2016. Mereka menemukan 15.805 akun bot dari 157.504 akun media sosial yang diteliti.

Penelitian ini juga menemukan bahwa masyarakat dapat terpengaruh oleh informasi-informasi yang disebarkan jaringan bot ini. Bahkan, ditemukan bahwa setiap orang yang telah terpengaruh rata-rata me-retweet akun bot sebanyak lima kali.

Jaringan bot yang pro-Donald Trump ditemukan berskala empat kali lebih besar dari Hillary Clinton, dan bahwa empat dari lima bot yang paling sering di-retweet selama masa kampanye adalah akun-akun pro-Trump, dengan nama seperti @TeamTrump, @Miami4Trump, @Bikers4Trump, dan lain-lain.

“Akun-akun bot menginfiltrasi diskusi-diskusi politik di Twitter dan punya kapabilitas untuk menyebarkan propaganda dalam skala besar. Akun-akun ini juga berperan besar dalam menentukan arah informasi,” ujar Sam dan Dough tentang hasil penelitian mereka.

Sebagaimana dokumenter The Great Hack (2019) memperlihatkan peran Facebook dan Cambridge Analytica memengaruhi hasil pemilu Amerika Serikat 2016, penelitian Sam dan Dough juga turut menyimpulkan peran besar Twitter dalam memenangkan Donald Trump sebagai presiden.

Penggunaan jaringan buzzer dan akun bot untuk kampanye politik juga pernah terjadi di Indonesia. Pada pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2017, The Guardian meliput cara kerja buzzer untuk memberikan dukungan atau memberitakan hal negatif tentang seorang calon.

Liputan oleh Kate Walton ini mewawancarai seorang buzzer yang memiliki tim terdiri dari 20 orang. Tim ini membuat akun-akun palsu di media sosial untuk menyebar informasi dukungan terhadap Basuki Tjahaja Purnama.

Buzzer dengan nama samaran dan timnya punya akun media sosial masing-masing sebanyak 11 akun. Akun-akun tersebut memproduksi konten hingga sebanyak 2.400 posts per hari.

Akun-akun ini mengambil foto milik orang lain untuk dijadikan foto profil. Mereka juga didorong untuk menggunakan foto perempuan yang berpenampilan menarik untuk mengundang perhatian. Mereka bekerja di ruangan-ruangan khusus yang dibagi berdasarkan tipe konten, negatif atau positif.

Reuters juga meliput penggunaan taktik yang sama pada pemilhan umum Presiden Indonesia 2019 lalu. Seorang pemimpin tim buzzer menceritakan bahwa konten yang mereka buat berinteraksi dengan setidaknya satu juta orang setiap minggunya.

“Media sosial adalah medan perang,” katanya.

Share: Simpang-siur Kabar Sensitif, Mana yang Bisa Dipercaya?