Isu Terkini

27 Juni 1994: Protes Pembredelan Media, WS Rendra Dipenjara

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang lebih dikenal dengan WS Rendra punya riwayat perjalanan panjang sebagai seorang sastrawan. Lewat karya-karyanya, baik berupa puisi, cerpen, dan tulisan-tulisan nonfiksi, Rendra tak hanya menyihir para pembacanya, tapi juga mengkritik kekuasaan.

Sosok yang dijuluki Si Burung Merak itu pernah dianggap berbahaya oleh rezim Orde Baru, lantaran karya-karyanya yang sarat akan protes. Kekuasaan otoriter kala itu memang membatasi ruang gerak para seniman, terutama yang mengkritik pemerintahan.

Begitu pula Rendra, yang jadi sorotan aparat, lantaran aktif mendukung gerakan mahasiswa pada masa Pemilu 1977. Saat itu mahasiswa mulai mengusung isu-isu politik, seperti ketidakpercayaan kepada pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden karena tidak bisa memulihkan kondisi perekonomian bangsa yang terpuruk.

Meski penguasa bereaksi keras, pria kelahiran Solo, 7 November 1935, itu tidak lantas meninggalkan politik. Pada 1 Desember 1977, dalam rapat mahasiswa di Salemba, Jakarta, pembacaan puisi Rendra yang berjudul “Pertemuan Mahasiswa” mengobarkan semangat perlawanan. Pada tahun itu juga, Rendra ditangkap dan menjadi tahanan di rutan militer Jalan Guntur, Jakarta. Setelah kejadian itu, pementasan teater Bengkel Teater Rendra kerap mendapat pengawasan ketat dari aparat.

Ada sejumlah puisi Rendra yang menanggapi kekacauan politik dan ekonomi di era Orde Baru. Ia kerap menyuarakan kritik terkait masalah-masalah kelangsungan hidup masyarakat, khususnya hubungan antara penguasa dengan rakyat. Tengok saja potongan puisinya yang berjudul “Sajak Kenalan Lamamu”. Dalam puisi itu, Rendra mengkritik keras praktik politik di era Orde Baru yang bengis.

Politik adalah cara merampok dunia.
Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan,
untuk menikmati giliran berkuasa.
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan,
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
lalu ke mobil sport, lalu: helikopter!
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
Dan bila ada orang banyak bacot,
kita cap ia sok pahlawan.

Potongan puisi itu memperlihatkan sosok Rendra yang kritis terhadap kondisi sosial politik di masa Orde Baru. Hal itulah yang membuat penguasa menyasar Rendra atas karya-karyanya yang keras.

Sayangnya, tak sekali Rendra harus berurusan dengan aparat dan penguasa. Pada 27 Juni 1994, ia juga ditahan. Penahanan itu tak lepas dari peristiwa pembredelan media Tempo enam hari sebelumnya atau pada 21 Juni 1994. Seperti apa ceritanya?

Pemberedelan Tempo

21 Juni 1994 menjadi hari paling kelam dalam sejarah pers di Indonesia, terutama bagi awak Tempo, insan media, dan rakyat Indonesia. Departemen Penerangan yang dipimpin Harmoko mengeluarkan surat keputusan pencabutan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) majalah Tempo dengan Surat Keputusan Nomor 123/KEP/MENPEN/1994.

Dengan pencabutan SIUPP itu, Tempo secara otomatis harus berhenti terbit. Tak hanya Tempo, dua media lain, yakni Detik dan Editor, juga mengalami nasib serupa. Pembredelan ini terjadi lantaran Tempo menerbitkan berita dugaan korupsi dalam pembelian 39 kapal perang eks Jerman Timur yang diprakarsai Menteri Riset dan Teknologi pada waktu itu, B.J. Habibie.

Tak ayal, suasana hari itupun berubah jadi kepanikan di gedung Tempo yang saat itu beralamat di Jalan HR Rasuna Said, di samping kantor Kedutaan Besar Australia. Pendiri Tempo, Goenawan Mohamad, yang sedang berada di Bandar Udara Soekarno-Hatta untuk terbang menuju Jawa Tengah, langsung membatalkan perjalanannya dan segera kembali ke kantor.

Sementara itu, Pelaksana Pemimpin Redaksi Tempo ketika itu, Fikri Jufri, menggelar konferensi pers dadakan. Di depan para reporter televisi, Fikri berkata, “Pembredelan ini adalah pelanggaran atas kebebasan pers.” Ucapan dia disambut sorakan para karyawan.

Pencabutan SIUPP Tempo itu justru membangkitkan amarah para wartawan muda pada masa itu. Keesokan harinya, gelombang protes bermunculan. Di Yogyakarta, mahasiswa melakukan aksi membungkus kantor biro Tempo dengan kertas putih. Kepala Biro Tempo di Yogyakarta, Rustam F. Mandayun, mengenang, gara-gara aksi para mahasiswa itu, semua jendela kantor tertutup rapat. “Hawa di dalam kantor menjadi sangat panas.”

Aksi WS Rendra dan Kawan-kawan di Jakarta

Sementara itu, di Jakarta, ratusan aktivis dan wartawan melakukan long march ke kantor Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat. Mereka mendesak Harmoko membatalkan pencabutan SIUPP Tempo, Detik, dan Editor. Aksi ini terus berjalan hingga beberapa hari setelahnya karena pemerintah enggan menuruti permintaan pendemo.

Pada Senin, 27 Juni 1994, terjadi kerusuhan saat polisi membubarkan paksa demonstran. Puluhan orang terluka dalam insiden tersebut.

Meski situasi sudah runyam, pemerintah tetap saja tak menggubris. Tindakan represif justru semakin gencar dilakukan, bahkan para wartawan yang ikut memprotes pembredelan ini diancam tak diakui oleh Persatuan Wartawan Indonesia.

Kala itu, wartawan di Indonesia memang wajib bergabung dengan satu-satunya organisasi profesi jurnalistik tersebut. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya organisasi profesi jurnalistik lainnya, Aliansi Jurnalis Independen.

Gelombang protes tak hanya terbatas pada kalangan media massa dan wartawan, namun juga aktivis prodemokrasi dan hak asasi manusia seperti Adnan Buyung Nasution. Seniman seperti Rendra dan para anggota Bengkel Teater juga ikut meramaikan aksi protes tersebut. Mereka membentangkan poster-poster yang mengkritik pembredelan media.

Hari itu dikenal dengan “Tragedi Jakarta Berdarah”. Peristiwa kekerasan itu dilakukan sekumpulan tentara dengan memakai kaos oblong bertuliskan “Ops Bersih” dan memakai celana loreng tentara lengkap dengan pemukul rotan dan tameng.

Aparat juga melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Rendra dan beberapa aktivis lainnya yang melakukan demonstrasi memprotes pemberedelan media tersebut di dekat kantor Departemen Penerangan.

Rendra sempat dibebaskan tetapi kembali memprotes pembredelan tersebut dengan cara mengadukannya kepada DPR. Rendra sendiri diterima oleh DPR, fraksi ABRI yang kemudian mendengarkan aspirasi penyair tersebut.

Share: 27 Juni 1994: Protes Pembredelan Media, WS Rendra Dipenjara