Beberapa hari ke belakang, hujan terus mengguyur banyak daerah Indonesia. Seperti yang sudah berkali-kali terjadi, musim hujan akan dibarengi dengan berita-berita tentang banjir yang tak pernah berubah tiap tahunnya. Tentunya banyak faktor yang membuat suatu wilayah terjadi banjir, seperti kurangnya penyerapan air, hingga sampah yang juga dipermasalahkan.
Meski begitu, isu sampah jarang sekali dilirik oleh banyak pihak. Padahal, berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia sudah mencapai 64 juta ton/ tahun, di mana sebanyak 3,2 juta ton plastik itu terbuang ke laut.
Bahkan, dalam sebuah penelitian telah menemukan fakta bahwa negara-negara Asia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar yang ada di laut saat ini. Dalam penelitian yang dipimpin Profesor Jenna Jambeck dari Universitas of Gergia, mencatat bahwa Indonesia adalah negara kedua penyumpang sampah terbesar di dunia.
Maka tak heran, ada seekor paus sperma yang ditemukan mati terdampar di perairan Pulau Kapota, Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada Senin, 19 November 2018 kemarin. Kabar memilukan itu ternyata menyimpan fakta yang cukup miris, bahwa di dalam perut paus tersebut ditemukan enam kilogram plastik dan sandal jepit.
“Lima koma sembilan kilogram sampah plastik ditemukan di dlm perut paus malang ini! Sampah plastik yaitu: plastik keras (19 pcs, 140 gr), botol plastik (4 pcs, 150 gr), kantong plastik (25 pcs, 260 gr), sandal jepit (2 pcs, 270 gr), didominasi o/ tali rafia (3,26 kg) & gelas plastik (115 pcs, 750 gr),” demikian dalam cuitan di akun lembaga WWF Indonesia saat merinci apa saja yang ditemukan di dalam perut bangkai paus sperma.
Lalu, siapakah yang harusnya bertanggung jawab dengan permasalahan sampah di negeri tercinta ini? Mengapa di Indonesia sampah terlihat seperti persoalan yang sepele?
Di Tanah Air ini, masalah sampah diatur dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Sayangnya, regulasi tersebut tidak dapat menjawab satupun persoalan tentang sampah yang tiap tahunnya bertambah.
Contohnya saja, dalam Pasal 29 yang mengatur segala hal larangan yang berkaitan dengan sampah. Namun, pemberian sanksi ataupun ketentuan lebih lanjut mengenai larangan itu tidak tertulis dalam UU. Sehingga ketentuan lebih lanjut harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah ataupun peraturan daerah kabupaten/kota.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sampah plastik paling sulit diurai dan membutuhkan waktu ratusan tahun untuk mengurainya. Namun, di Indonesia sendiri belum ada regulasi tentang pengelolaan sampah plastik, termasuk pembatasan plastik di industri.
Whaling Commision atau badan global untuk konservasi ikan paus Rebecca Lent pernah mengungkapkan bahwa di Kenya, pemerintahnya sudah melarang penggunaan kantong plastik. Jika ada warga yang ketahuan membuat, menjual, atau membawa kantong plastik, pemerintah Kenya akan menghukumnya dengan denda sebesar Rp506 juta atau hukuman penjara hingga empat tahun.
Sayangnya, sebagai negara berkembang, Indonesia cukup jauh dalam melakukan perubahan-perubahan yang sifatnya tentang lingkungan. UU tentang pengelolaan sampah plastik itupun sampai saat ini masih berbentuk rancangan dan tentunya akan memakan waktu yang cukup lama untuk mengesahkannya.
Jika pemerintah masih belum gerak cepat dalam menangani sampah, mungkin masyarakat Indonesia bisa memulai dari diri sendiri. Namun tentunya, perubahan itu tak akan terjadi jika hanya diikuti oleh segilintir orang saja. Butuh sebuah kesadaran kolektif demi bisa meminimalisir permasalahan sampah yang sudah terjanjur menggunung.
Sayangnya hal itu tidak mudah. Beberapa orang justru bisa memberikan reaksi marah ketika ada yang mengingatkan tentang larangan membuang sampah sembarang. Masih banyak masyarakat yang kita temui tanpa rasa malu membuang sampah sembarangan di jalanan, sungai, hingga laut.
Satu hal yang tentunya membuat para pegiat lingkungan cukup mengelus dada adalah jarangnya para peserta Pemilihan Umum (Pemilu) mengangkat isu tentang penyelmatan lingkungan. Baik itu calon anggota legislatif, calon presiden dan wakil presiden, jarang sekali memberikan kampanye tentang kesadaran pengelolaan sampah.
Mereka yang berpesta demokrasi lebih suka memainkan isu-isu identitas, baik itu suku, agama, ataupun ras. Sehingga membuat para peserta Pemilu lupa, bahwa kini keseimbangan lingkungan mulai terancam.