Isu Terkini

24 Jam di Atas Kapal Laut: Nikmatnya Mudik dari Tanjung Priok ke Pulau Bangka

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Biasanya bus patas (cepat terbatas) nomor 135 trayek Ciputat-Tanjung Priok selalu setia mengantarkan saya setiap tahun menuju pelabuhan untuk mudik. Sayangnya, tahun ini, trayek bus patas dengan rute di atas sudah dihapus dan membuat saya serta tiga teman saya sedikit kewalahan untuk menggapai pelabuhan Tanjung Priok.

Trans Jakarta (TJ) pun menjadi pilihan terbaik. Pada Selasa, 12 Juni kemarin, pukul 13.00 WIB, saya dan tiga teman saya yang juga asal Pulau Bangka yakni Al, Agun, dan Jo memutuskan naik TJ dari depan Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mengapa bagian naik TJ ini harus saya bahas? Ya karena kenikmatan pertama yang terasa saat mudik, adalah dimulai dari menunggu dan menaiki TJ ini.

Dengan masing-masing membawa barang yang tak sedikit, seperti oleh-oleh yang diisi dalam kardus-kardus besar untuk keluarga di rumah, kami harus naik TJ yang perlu transit beberapa kali.

Bayangkan saat berpuasa, kami harus memanggul barang masing-masing dari halte ke halte dengan rute Ciputat-Tanjung Priok. Barang-barang yang kami bawa adalah satu tas di punggung, satu tas di tangan kiri, dan satu kardus dipanggul di bahu kanan.

Setelah transit di halte Pasar Rebo, Cawang UKI, dan berdesakan dengan penumpang TJ lainnya yang masih ramai, akhirnya kami sampai juga di halte Terminal Tanjung Priok pada pukul 17.00 WIB.

Berarti kami menghabiskan waktu 4 jam perjalanan hanya untuk menuju Tanjung Priok yang wilayahnya masih berada di Jakarta. Berbeda jika bus patas 135 masih beroperasi dulu, kami hanya butuh menghabiskan waktu selama 2 jam perjalanan ke Tanjung Priok, bahkan bisa tidur-tiduran di perjalanan tanpa perlu transit-transit lagi dengan bus itu.

Setibanya di terminal Tanjung Priok, kami dinformasikan bahwa kapal laut yang akan kami tumpangi menuju pelabuhan Pangkal Balam, Pangkal Pinang, Pulau Bangka, yakni KM Srikandi, akan merapat di pelabuhan sekitar pukul 19.00 WIB.

Suasana pelataran depan pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta saat para penumpang menunggu kapal KM Srikandi tujuan Pulau Bangka, Selasa, 12 Juni 2018. Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Mendengar kabar itu, saya dan teman-teman pun bergegas menuju pelabuhan dengan lebih dulu membeli makanan dan minuman untuk buka puasa. Kami pun tiba di depan pelataran pelabuhan Tanjung Priok tepat saat jam berbuka puasa.

Setelah berbuka puasa, kami kembali mendapatkan informasi dari petugas bahwa kapal KM Srikandi baru akan diberangkatkan pada pukul 20.00 WIB, yang semula direncanakan berangkat pukul 19.00. Waktu luang pun kami gunakan untuk salat jamak maghrib dan isya.

Selesai salat, tumpukan penumpang dengan rute sama seperti kami pun mulai menumpuk. Ternyata informasi terbaru kembali diumumkan bahwa kapal KM Srikandi tak akan berangkat pukul 20.00 WIB karena kapal masih di perjalanan.

Kekhawatiran pun mulai muncul dan kami mulai menduga-duga bahwa kapal KM Srikandi baru akan tiba esok hari. Kami beserta penumpang lain pun sudah mulai lelah menunggu dan akhirnya tidur-tiduran di pelataran pelabuhan.

Waktu pun terus berlalu dan saat jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.30 dini hari WIB, Rabu, 13 Juni, petugas pun baru mengumumkan bahwa kapal KM Srikandi baru merapat di pelabuhan. Kami dan penumpang lain yang sudah terlanjur mengantuk, segera bersiap-siap memasuki pelabuhan.

Sekitar pukul 01.00 dini hari WIB, petugas pun mulai mempersilahkan kami memasuki kapal. Setelah masuk ke dalam kapal bersamaan dengan mobil-mobil dan truk-truk, kapal baru berangkat meninggalkan pelabuhan Tanjung Priok sekitar pukul 01.30 dini hari WIB.

Bagian ruang utama kapal KM Srikandi di mana kami beristirahat selama 24 jam perjalanan dari Tanjung Priok ke Pulau Bangka, Rabu, 13 Juni 2018. Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Ada rasa lega karena setelah menunggu berjam-jam akhirnya kapal berangkat juga menyeberangi lautan lepas. Di dalam kapal pun, kami banyak bertemu dengan orang-orang satu daerah yang terdiri dari anak-anak, remaja, orang tua, hingga lansia.

Sejumlah aktivitas yang bisa kami lakukan selama 24 jam berada di dalam kapal di antaranya hanya memperbanyak tidur, salat, sampai sekedar mondar-mandir ke atas atap kapal untuk bersantai menikmati pemandangan laut lepas dan berbincang dengan teman-teman.

Sekedar informasi, sejumlah penumpang memang tak masalah harus tidur di mana karena seluruh sudut ruangan di dalam kapal bisa dijadikan tempat untuk tidur. Banyak yang membawa tikar, matras, sampai kardus yang digunakan untuk alas tidur.

Selama di dalam kapal, kami mendapatkan jatah dua kali makan dengan lauk seadanya yakni pada saat sahur dan berbuka puasa. Selebihnya, kami memang sudah membawa banyak stok makanan ringan dan minuman sebagai bekal selama di kapal.

Saat ingin menyeduh kopi, susu, teh, atau mie dalam kemasan, kami cukup membayar Rp 2000 untuk membeli air panas saja. Sementara jika ingin membeli makanannya langsung di kedai dalam kapal, harganya memang dua kali lipat lebih mahal.

Lalu, jika kami ingin men-charge baterai smartphone yang mulai habis, kami bisa membayar Rp 5000 saja sampai baterai smartphone kami terisi penuh.

Salah satu aktivitas yang kami jalani selama berada di atas kapal laut KM Srikandi adalah santai dan berbincang-bincang, Rabu, 13 Juni 2018. Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Melewati siang, sore, sampai tengah malam di atas kapal, membuat kami tak pernah merasa bosan, apalagi dihabiskan dengan bersenda gurau dengan teman-teman lain. Bernyanyi lagu daerah, sampai bercerita tentang perkembangan kampung halaman yang sudah terlalu lama kami tinggalkan, memang jadi salah satu kenikmatan.

Satu-satunya hal yang paling membosankan selama di dalam kapal adalah hilangnya jaringan provider di smartphone kami saat kapal mulai memasuki tengah laut. Bayangkan saja, sinyal mulai hilang dari pukul 02.30 dini hari WIB (Rabu, 13 Juni) sampai pukul 16.30 WIB (Kamis, 14 Juni).

Jadi ada sekitar 15 jam lamanya, kami tak bisa meng-akses jaringan internet dan berselancar di dunia maya. Alhasil, aktivitas yang kami lakukan pun mulai random, ada yang tidur, mendengar musik, ngobrol-ngobrol, sampai menonton film di laptop.

Selama perjalanan di tengah laut, kami sangat bersyukur lantaran cuaca sangat mendukung, meski sesekali gerimis datang namun hanya dalam waktu sebentar.

Saat memasuki pukul 00.50 dini hari WIB, Kamis, 14 Juni, kapal yang kami tumpangi pun mulai memasuki perairan Pulau Bangka. Saat kapal melewati bagian bawah Jembatan EMAS Pulau Bangka, kami pun mulai bergegas mengeluarkan barang-barang dari dalam kapal menuju pintu keluar.

Salah satu sudut di bagian kapal KM Srikandi, Rabu, 13 Juni 2018. Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Sekitar pukul 01.15 dini hari WIB, kapal pun akhirnya merapat di dermaga pelabuhan Pangkal Balam. Di pelabuhan, sudah menunggu banyak keluarga yang datang menjemput, termasuk keluarga saya, Al, Agun, dan Jo.

Langkah kaki kami pun terasa sangat cepat saat keluar kapal, karena ada rasa haru dan rindu yang sudah terlanjur menjadi satu.

Setelah keluar kapal, saya dan kedua teman saya yang lain pun berpisah karena rumah kami berbeda kabupaten. Saya dan Agun harus menempuh perjalanan lagi selama 1 jam untuk menuju rumah kami di Koba, Kabupaten Bangka Tengah.

Sementara Al pulang menuju Pemali, Kabupaten Bangka Induk dan Jo melakukan perjalanan pulang ke Toboali, Bangka Selatan. Pelabuhan Pangkal Balam pun mengakhiri kisah seru perjalanan mudik kami selama 24 jam di atas kapal laut.

Share: 24 Jam di Atas Kapal Laut: Nikmatnya Mudik dari Tanjung Priok ke Pulau Bangka