Budaya Pop

21 Januari 1985: Candi Borobudur Dibom dan Otak Pelaku yang Masih Misteri

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Candi Borobudur pernah melewati hari kelam saat bom menimbulkan kerusakan parah pada candi umat Budha tersebut di tanggal 21 Januari 1985 silam. Sudah 34 tahun berlalu, peristiwa itu tercatat sebagai tragedi di bidang kepurbakalaan terhebat yang pernah ada. Namun, otak pelaku pengeboman candi bersejarah Indonesia dari Dinasti Syailendra tersebut masih misteri sampai hari ini.

Pada peristiwa itu, beberapa ledakan yang cukup dahsyat terjadi dalam rentang waktu yang berbeda-beda. Bom tersebut menghancurkan setidaknya sembilan stupa dan dua patung Budha. Saat itu, ledakan bom tersebut memang tak menelan korban jiwa terutama dari wisatawan atau pengunjung.

“Tak terlampau besar. Patungnya hancur karena peledak diletakkan di punggung patung. Kemudian atap stupa runtuh dan itu yang merusakkan patung,” kata Pangdam VII/Diponegoro Mayjen Soegiarto, seperti dikutip dari Kompas, 22 Januari 1985.

Kronologi Terjadinya Bom Borobudur

Kronologi terjadinya bom Candi Borobudur sendiri menyebutkan bahwa ledakan terdengar 10 menit setelah Suyono dan Triyanto mulai berpatroli. Mereka merupakan anggota Satpam (Satuan Pengamanan) Candi Borobudur. Sumber ledakan tidak mereka ketahui karena cuaca gelap pada pukul 01.30 WIB pada Senin 21 Januari 1985.

Lalu, satu menit kemudian ledakan kedua terdengar, kali ini terlihat kepulan putih di sisi timur candi Borobudur. Lantas Suyono dan Triyanto pun segera bergegas lari melapor ke pos induk. Tak berhenti sampai di situ, kemudian terdengar beberapa ledakan lagi secara beruntun.

Ada sembilan kali ledakan di pagi itu dan ledakan terakhir terdengar pada pukul 03.40 WIB. Namun, dalam suasana yang masih sangat gelap, masih belum diketahui apa yang sebenarnya terjadi. Para petugas keamanan lokal pun masih menunggu kedatangan aparat untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

Barulah petugas Garnisun Magelang tiba di lokasi sekitar pukul 04.30 WIB dan langsung menyisir kawasan candi yang terkena ledakan. Mereka menyaksikan batu-batu candi berserakan di lantai dan tangga candi serta tubuh-tubuh patung Budha tergeletak dengan kepala patah. Terlihat dengan jelas kalau kejadian ini memang disengaja.

“Ledakan ternyata telah merusak 9 stupa berlubang. 3 yang berada di sisi timur batur pertama Arupadhatu, 2 lagi yang terdapat di batur kedua dan 4 lainnya di batur ketiga,” tulis Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta tokoh pemugaran candi tersebut dalam bukunya Borobudur yang diterbitkan tahun 2004.

Tim Jihandak (Penjinak Bahan Peledak) dari Yon Zipur Magelang, yang terdiri dari tujuh orang dan dipimpin Kapten Mardjono, tiba di candi pada pukul 05.30 WIB. Lalu, satu jam kemudian dua orang anggota tim Jihandak Polda Jateng tiba. Setelah berunding dan berdoa bersama, kesembilan penjinak bom itu memulai tugas mereka.

Di teras pertama dan kedua (lantai 8 dan 9), tim Jihandak menemukan dua bom berupa batangan dinamit, yang belum meledak. Letaknya pada patung Budha dalam stupa di samping kanan pintu timur. “Kami agak ragu mengambil dinamit itu, karena timer-nya tak begitu kelihatan,” kata Mardjono.

Setelah diketahui timer dinamit pertama menunjuk angka 10.30 WIB, barulah bom itu diambil. Di luar, timer dimatikan, lalu sumbu yang menghubungkannya dengan peledak dipotong. Dinamit kedua lebih sulit, karena timer-nya menggunakan jam tangan murahan Rotax.

“Detonator listrik yang digunakan kebetulan buatan RRC. Seperti diketahui, di Indonesia detonator semacam ini, selain yang buatan RRC, juga beredar buatan Swiss dan Jepang,” kata Pangdam Soegiarto dalam keterangan persnya di pendopo Candi Borobudur.

Perlu diketahui, sumber tenaga yang digunakan dalam bom tersebut adalah dua buah baterai National 1,5 Volt untuk tiap perangkat bom, yang terdiri dari tiga atau empat batang dinamit, yang masing-masing 100 gram. Dinamit yang dipakai adalah TNT (TriNitro Toluen) tipe batangan PE 808/tipe Dahana. “Kabelnya halus dan dipatri dengan rapi,” ucap Soegiarto.

Lebih lanjut, Mardjono mengatakan bahwa sang pembuat bom tersebut dinilai sudah termasuk sosok profesional untuk ukuran Indonesia. “Teknik elektronya cukup tinggi. Si pembuat, misalnya, hanya memasang jarum kecil arloji Rotax saja, yang dijadikan timer. Artinya, menit dan detik tak bisa diketahui oleh penjinak,” ucap Mardjono.

Salah satu anggota tim Jihandak Brimob Polda Jateng, Serma (Pol.) Sugiyanto, pada saat di depan Pangdam Soegiarto juga menjelaskan, bahwa untuk merakit satu perangkat bahan peledak itu dibutuhkan sekitar 30 menit. Jadi, untuk merakit 11 buah bom yang dipasang di Candi Borobudur itu diperkirakan butuh waktu sekitar 5,5 jam.

Misteri Otak Pelaku Bom Borobudur

Setelah penyelidikan, Polisi Indonesia berhasil meringkus dua bersaudara Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur ini. Keduanya dianggap memiliki motif balas dendam atas Peristiwa Tanjung Priok 1984, yaitu bentrok antara aparat dan massa Islam yang menyebabkan tewasnya 400 orang.

Abdulkadir ditangkap terlebih dahulu pada Maret 1985, yakni ketika bom yang ia bawa bersama teman-temannya menuju Bali justru meledak tanpa sengaja di dalam sebuah bus di Banyuwangi. Sementara Husein ditangkap 3 tahun kemudian, tepatnya 10 November 1988 di Garut. Ia dianggap telah memprovokasi adik beserta teman-temannya untuk melakukan aksi pengeboman melalui majelis pengajiannya.

Dalam persidangan kasus ini, jaksa menuduh bahwa tindakan pengeboman terhadap Candi Borobudur merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan-kawan terhadap peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang menewaskan puluhan nyawa pemeluk agama Islam. Abdulkadir membenarkan motivasi peledakan itu sebagai ungkapan ketidakpuasannya atas peristiwa berdarah tersebut

Namun keterangan itu kemudian diragukan, karena sosok Mohammad Jawad atau Ibrahim yang disebut Husein sebagai dalangnya kemudian tidak pernah ditemukan oleh kepolisian. Abdulkadir mengaku dirinya tidak mengetahui rencana pengeboman itu. Bahkan, ia dan ketiga kawan lain pada awalnya hanya sekadar diajak oleh Mohammad Jawad untuk berkemah ke Candi Borobudur sebelum kemudian dibujuk oleh Mohammad Jawad untuk mengebom candi.

Abdulkadir, yang berperan sebagai pelaku di lapangan, sebenarnya bukanlah seorang profesional karena ia mengaku tak mengetahui seluk-beluk teknikal sebuah bom dan hanya mengiyakan bujukan Ibrahim. Setelah menyetujui bujukan Ibrahim, mereka kemudian diberikan sejumlah bom waktu rakitan yang telah dirakit secara rapi.

Ibrahim disebut sebagai sosok yang merakit bom-bom tersebut. Bahan bom terbuat dari trinitrotoluena (TNT) tipe batangan PE 808/tipe produksi Dahana. Tiap bom rakitan terdiri dari dua batang dinamit yang dipilin dengan selotip. Dalam praktiknya, Abdulkadir dan pelaku yang lain kemudian hanya tinggal memasangnya di dalam stupa dan memencet tombol berupa tombol arloji untuk mengaktifkan bom waktu tersebut.

Akhirnya, atas tindakan tersebut, Pengadilan Negeri Malang menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara terhadap Abdulkadir, sedangkan kakaknya Husein dihukum seumur hidup dengan tuduhan subversi. Lalu, Abdulkadir hanya menjalani hukuman selama sembilan tahun, ia dibebaskan pada tahun 1994 karena mendapatkan remisi dari Presiden Soeharto.

Husein sendiri baru bebas pada tahun 1999, setelah Orde Baru tumbang dan Presiden BJ Habibie memberikan grasi kepadanya. Setelah dibebaskan, kedua kakak-beradik ini menegaskan bahwa dalang peledakan Candi Borobudur adalah Muhammad Jawad alias Kresna alias Ibrahim. Sayangnya, Jawad sendiri tidak pernah tertangkap, dan menghilang tanpa jejak sampai hari ini.

Share: 21 Januari 1985: Candi Borobudur Dibom dan Otak Pelaku yang Masih Misteri