BPJS Kesehatan sedang dalam kondisi tidak sehat. Di berbagai wilayah, terjadi tunggakan pembayaran dengan besaran nominal yang berbeda-beda. Padahal sejatinya, jaminan kesehatan nasional ini harus terjaga stabilitas pembayarannya, selain layanan kesehatannya yang juga harus berkualitas.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang ‘sakitnya’ BPJS Kesehatan di banyak daerah ini, Asumsi.co berkesempatan berbincang dengan dr. Noor Arida Sofiana, MBA., Ketua Bidang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Menurut dr. Noor Arida, tentu saja hal itu akan menimbulkan beberapa permasalahan. Pertama, akan ada penurunan mutu pelayanan rumah sakit. Operasional rumah sakit akan terganggu. Kedua, obat-obatan akan berkurang stok-nya karena Pedagang Besar Farmasi (PBF) sebagai penyedia obat pun juga akan enggan menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan. Hal ini akan membahayakan pasien di kondisi darurat.
“Dampak keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan, khususnya dari pandangan profesi akan mengakibatkan penurunan mutu pelayanan rumah sakit, karena dengan keterlambatan pembayaran klaim ke rumah sakit, pihak rumah sakit juga akan tergaggu operasionalnya. Akan terjadi gangguan cash flow sehingga pembayaran obat kepada PBF (Pedagang Besar Farmasi-red) akan terlambat, sehingga PBF akan lock pemesanan obat dari rumah sakit dan akan terjadi kekosongan obat dan keterlemabatan penyediaan obat, sehingga dokter melayani pasien juga tidak optimal,” jelas dr. Noor Arida untuk Asumsi.co.
Pada dasarnya, IDI sebagai organisasi mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional karena dapat bermanfaat untuk rakyat Indonesia. Namun, tentu pelayanan harus dapat lebih baik. Salah satunya adalah dengan memiliki komitmen pada anggaran yang cukup. Anggaran ini menjadi esensial karena anggaran adalah penopang utama dari JKN ini.
“Pada dasarnya IDI mendukung program JKN karena bermanfaat untuk rakyat Indonesia, namun perlu penataan sistem pelayanan agar lebih baik serta dukungan dan komitmen anggaran yang cukup dari pemerintah agar program JKN tetap dapat berlangsung dengan baik dan UHC (Universal Healthcare-red) dapat terwujud,” ungkap dr. Noor Arida.
Terdapat setidaknya empat solusi yang disarankan oleh dr. Noor Arida untuk permasalahan tunggakan BPJS Kesehatan ini. Pertama adalah meninjau kembali iuran peserta. alasannya, dari awal memang terdapat salah hitung yang mengakibatkan defisit untuk BPJS Kesehatan itu sendiri.
“Solusi yang sudah diusulkan IDI kepada pemerintah dalam jangka pendek adalah, pertama, meninjau iuran peserta karena dari awal JK terjadi miss match dalam perhitungan iuran (premi) sesuai aktuaria dan ini akan berdampak defisit yang terus berkelanjutan walaupun saat ini menkeu sudah memberikan dana 4,9 triliun, padahal defisit JKN sudah mencapai 16 triliun rupiah. Dana 4,9 T akan segera habis untuk membayar tagihan rumah sakit yang tunggak,” ungkap dr. Noor Arida.
Kemudian, dr. Noor Arida juga menekankan pentingnya sistem membagi beban biaya kepada pasien jika memang negara tidak mampu menopang secara keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan. Ini bahkan diterapkan di negara-negara maju yang memang telah memiliki jaminan kesehatan yang baik.
“Kedua, bila memang kesulitan penambahan anggaran, sistem iuran biaya (cost sharing) dapat menjadi pertimbangan. Ini sudah diterapkan di negara maju yang sukses UHC-nya,” lanjut dr Noor Arida.
Di poin ketiga, dr. Noor Arida menekankan pentingnya pelayanan satu kelas saja. Jika ada peserta kesehatan yang memang ingin meningkatkan kelas perawatan, dikenakan mekanisme cost sharing.
“Ketiga, menetapkan satu standar kelas perawatan rumah sakit untuk peserta JKN KIS (Kartu Indonesia Sehat), dan bila peserta mengambil kelas di atas kelas perawatan yang ditetapkan dikenakan cost-sharing seperti di negara maju lainnya,” tutur dr. Noor Arida.
Keempat, jika memang tidak ada respon dari pemerintah, langkah terakhir adalah para dokter harus tetap dapat menjaga mutu pelayanan dalam rangka mempertahankan profesionalisme. Jika tidak menjaga mutu pelayanan, justru hal ini juga berisiko pada dokter.
“Untuk pilihan mogok kerja adalah pilihan terakhir bila tidak ada respon dari pemerintah, karena dokter harus tetap menjaga profesionalisme dan tetap menjaga mutu pelayanan dengan dukungan fasilitas dan obat-obatan dibutuhkan dalam pelayanan. Karena bila dengan keterbatasan sumber daya akan berisiko juga kepada dokter,” tutup dr. Noor Arida.