Isu Terkini

Reklamasi Teluk Benoa: Kekompakan Warga Bali dan Kebudayaan yang Tidak Bisa Dibeli

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Rencana proyek reklamasi Teluk Benoa, Bali, akhirnya batal dilaksanakan. Izin lokasi reklamasi yang dipegang oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) dianggap sudah habis tempo sejak 26 Agustus lalu. Belum lagi, analisis dampak lingkungan (Amdal) megaproyek itu tersendat karena aspek sosio kultural.

“Amdalnya tidak lulus kelayakan, pada saat yang sama izin lokasinya tidak berlaku, maka otomatis proyek berhenti atau gagal. Teluk Benoa terselamatkan dari reklamasi seluas 700 hektar oleh PT TWBI,” kata Koordinator ForBALI, Gendo Suardana dilansir dari CNNIndonesia.com, pada Selasa, 28 Agustus 2018.

Pasangan calon gubernur Bali terpilih, Wayan Koster, mengatakan bahwa kawasan status Teluk Benoa akan kembali menjadi wilayah konservasi dan kawasan pelestarian hutan mangrove.

“Begitu saya dilantik, maka surat akan saya kirimkan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan kewenangan rencana reklamasi Teluk Benoa ini,” kata Koster saat di Kantor Transisi, Denpasar, dikutip dari Antara, Jumat, 24 Agustus 2018.

Masyarakat Bali Kompak Melindungi Lingkungannya

Teluk Benoa seyogyanya memiliki luas 1400 Ha area. Melihat peluang bisnis wisata di pulau dewata itu, PT TWBI berencana mereklamasi 700 hektare dengan cara mengeruk 23 juta kubik pasir laut di pantai Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Sebenarnya, menurut Peraturan Presiden (Perpres) 2011, Teluk Benoa merupakan kawasan konservasi. Namun, pada Desember 2011, jalan tol dibangun untuk bisa melintasi Teluk Benoa. Setahun kemudian, tepatnya September-Desember 2012, investor properti PT TWBI (Tirta Wahana Bali Internasional) mulai menjajaki proyek reklamasi. Dua tahun kemudian, pada Mei 2014, status Teluk Benoa diubah menjadi kawasan budi daya, alias boleh direklamasi setelah ada Perpres 2014.

Selagi PT TWBI sedang memproses pembuatan Amdal, aksi unjuk rasa terjadi tanpa henti. Bahkan, sejak terbitnya SK Gubernur Made Mangku Pastika tentang rencana pemanfaatan pengembangam (reklamasi) wilayah perairan Teluk Benoa pada 2013, ratusan masyarakat telah melakukan demonstrasi.

Sekitar 300 demonstran, yang dimotori Gerakan Masyarakat Pemuda Tolak Reklamasi (Gempar) Teluk Benoa, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bali, warga, dan tokoh Tanjung Benoa menaiki puluhan perahu, melakukan penolakan reklamasi di sekitar Perairan Teluk Benoa pada 2 Agustus 2013.

Meski begitu, agenda Konsultasi Publik Amdal Kegiatan Revitalisasi Teluk Benoa oleh PT TWBl, tetap berlangsung. Namun, masyarakat tetap kompak menolak agenda reklamasi tersebut.

“Dengan ini saya atas nama masyarakat desa Pakraman, Teluk Benoa, menyatakan, tetap konsisten dan tegas menolak revitalisasi Teluk Benoa, dengan alasan apapun,” ujar Made Sugianta, Wakil Desa Adat Tanjung Benoa, di Gedung Wisma Sabha, Kantor Gubernur Bali, pada Rabu 11 Maret 2015.

Tahun pun berganti, puluhan ribu masyarakat dari semua kabupaten di Bali masih menyimpan gelora kecintaan mereka pada lingkungannya. Mereka bahkan mengadakan aksi long march menolak reklamasi Teluk Benoa, pada Minggu, 29 Mei 2016. Massa berjalan kaki dari Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar, menuju bundaran pusat Desa Pakraman Renon.

Gerakan itu sebagai deklarasi secara resmi bahwa Desa Pakraman Renon untuk menolak reklamasi di Teluk Benoa. Sehingga tercatat, ada 36 desa adat di Bali yang secara tegas menyatakan menolak reklamasi Teluk Benoa.

Reklamasi Terganjal Amdal Aspek Sosio Kultural

Teluk Benoa yang sejatinya ada kawasan konservasi, ternyata juga merupakan kawasan suci bagi Agama Hindu. Dalam kitab sucinya yaitu Weda, dituliskan bahwa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci yaitu gunung, danau, campuhan (pertemuan sungai), pantai, laut dan sebagainya.

Oleh sebab itu pula, tempat peribadatan seperti pura dan tempat- tempat suci umumnya didirikan di tempat tersebut, dan dipercayai bahwa di tempat itu jugalah orang-orang suci dan umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu). Maka dari itu, tempat-tempat suci seperti pura perlu dikembangkan untuk menjaga keserasian dengan lingkungannya.

Seperti yang tertulis dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009-2029 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yang menyebutkan, “Kawasan Suci adalah kawasan yang disucikan oleh umat Hindu seperti kawasan gunung, perbukitan, danau, mata air, campuhan, laut, dan pantai.”

Oleh sebab itu, setelah lima tahun mengadvokasi dalam pergerakan tolak reklamasi Teluk Benoa, ForBALI memintan Presiden Joko Widodo untuk melakukan upaya hukum dan politik untuk mengembalikan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi dengan membatalkan Peraturan Presiden No.51/2014 yang direvisi Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono lalu.

“Kami meminta Presiden untuk merevisi atau mencabut supaya kembali lagi menjadi kawasan konservasi,” kata Koordinator ForBali Wayan Gendo Suardana, Selasa, 28 Agustus 2018.

Share: Reklamasi Teluk Benoa: Kekompakan Warga Bali dan Kebudayaan yang Tidak Bisa Dibeli