Menjadi Pastor dalam lingkungan gereja Katolik bukanlah perjalanan mudah. Pendidikan bertahun-tahun harus ditempuh. Tantangan bisa datang dari mana saja. Dukungan keluarga pun tak kalah pentingnya. Tak ayal, banyak juga yang berhenti di tengah jalan.
Untuk serius menekuni pendidikan ini sampai akhirnya ditakhbiskan menjadi Pastor merupakan sebuah panggilan jiwa, begitu kata mereka. Andreas Subekti, seorang Frater yang sedang menempuh pendidikan Master Teologi, dan Reza Priyambodo yang pernah menekuni pendidikan seminari, sempat menceritakan pengalaman mereka kepada Asumsi.co.
Pendidikan awal menjadi seorang Pastor dimulai dengan memulai pendidikan di institusi pendidikan dasar bagi para calon Pastor bernama Seminari. Seminari sendiri berasal dari kata “Seminarium”, bahasa Latin yang terbentuk dari kata dasar “semen”, yaitu benih. Jadi, Seminari adalah tempat menanamkan benih-benih kebaikan bagi para calon Pastor.
Pendidikan Seminari biasa ditempuh dalam waktu 4 tahun, dimulai ketika seorang pria memasuki usia setara kelas 3 SMP dan lulus pada 3 SMA. Lulus dari Seminari, barulah siswa tersebut dapat melanjutkan pendidikan lebih tinggi untuk menjadi seorang Frater, seorang calon Pastor.
Jenjang pendidikan ini mewajibkan seseorang untuk menempuh studi Filsafat dan Teologia. Lulus dari jenjang pendidikan menengah ini, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menjadi Pastor. Pastor sendiri adalah seorang “bapak” yang bertugas sebagai Imam dalam suatu gereja Katolik. Kata “Pastor” sendiri berasal dari bahas Latin dengan arti “gembala”. Jadi, seorang Pastor diharap dapat menggiring jemaatnya, sebagai domba-domba, mengenal Tuhan.
Penentuan kapan bisa ditahbiskan menjadi Pastor pun ditentukan oleh kongregasi atau ordo yang dipilih calon Frater tersebut. Sementara pilihan ordo ada di tangan siswa itu sendiri. Kepada Asumsi.co, Andreas Subekti menegaskan hal tersebut.
“Proses seorang siswa (lulusan) Seminari hingga ditahbiskan menjadi Pastor, itu rata-rata kurang lebih dari lulus SMA, 8 sampai 10 tahun pendidikan. Tergantung kongregasi atau ordo apa yang ia pilih. Saya sebagai Imam Projo Jakarta (biasanya) kira-kira 10 tahun dari lulus SMA,” ungkap Andreas Subekti, yang juga akrab disapa Bekti.
Untuk tahapan pendidikannya sendiri, setiap ordo sebenarnya memiliki tahapan yang sama. Mulai dari tahun persiapan, kuliah Filsafat, orientasi Pastoral, kuliah Teologi, dan masa persiapan sebelum menjadi Pastor. Namun, jangka waktunya berbeda-beda.
“Kira-kira, tahap-tahap formasinya itu sama, setiap ordo, setiap kongregasi, itu biasanya di tahun pertama tahun persiapan. Kalo kami menyebutnya orientasi rohani. Di sana dipersiapkan orang untuk mendalami bidang rohani, kurang lebih selama 1-2 tahun. Lalu, selesai itu, lanjutkan kuliah di Fakultas Filsafat, belajar filsafat, itu kurang lebih 4 tahun. Lalu, setelah lulus kuliah filsafat, biasanya orang di luar itu menyebutnya ya praktek kerja, kami menyebutnya itu tahun orientasi Pastoral, atau kerasulan. Itu bisa ditempatkan di gereja-gereja di sekolah-sekolah, atau di lembaga-lembaga lainnya. Jadi, di sana kita akan praktek untuk mengaplikasikan apa yang dipelajari selama kurang lebih 4 tahun (di Fakultas Filsafat). Kurang lebih masa kerasulan itu 1-2 tahun. Setelah selesai itu, dilanjutkan dengan pendidikan lagi di Fakultas Teologi, selama 3 sampai 4 tahun. Setelah lulus dari kuliah Teologi, lalu ada masa persiapan selama enam bulan, lalu setelah selesai enam bulan itu, seorang Frater itu ditahbiskan menjadi seorang Pastor atau Imam,” tutur Bekti.
Mengetahui lamanya periode pendidikan, tentu dibutuhkan komitmen kuat untuk memulai dan menyelesaikan semuanya Maka dari itu, dibutuhkan keputusan matang-matang untuk memulai pendidikan di Seminari dan berakhir menjadi Pastor. Bagi Bekti yang sekarang sudah menjadi Frater, keputusannya untuk mengabdi pada Tuhan tak lepas dari peran keluarga yang aktif membawanya ke gereja.
“Kalau saya waktu awal memutuskan menjadi Frater, pertama-tama pasti muncul di dalam keluarga. Keluarga saya juga sebenarnya bukan keluarga yang amat saleh, amat suci, tetapi keluarga saya itu selalu mengajak anak-anaknya untuk pergi ke gereja, melakukan ibadat, dari situlah timbul rasa ketertarikan untuk menjadi seorang Imam,” ujar Bekti.
Tidak hanya keluarga, Bekti juga mengungkapkan bahwa figur dari para Imam yang ia temui juga membuatnya semakin bertekad bulat untuk menjadi Pastor.
“Selain keluarga, figur dari para Imam yang hadir di gereja saya, figur-figur tertentu yang memberikan teladan, yang memberikan contoh kegembiraan, melihat Pastor yang dekat dengan umatnya, dekat dengan anak-anak, dekat dengan orang muda, dekat dengan orang-orang tua pun itu menjadi teladan yang juga mempengaruhi panggilan-panggilan untuk menjadi seorang Imam,” lanjut Bekti.
Berbeda dengan Bekti, Reza Priyambodo justru memilih sekolah Seminari supaya hidup mandiri dan jauh dari rumah. Selain itu, ia juga melihat bahwa masa depan sebagai Imam merupakan masa depan yang mengasyikkan.
“Awalnya karena keinginan sendiri untuk mendaftar dan mengikuti tes setelah lulus SMP, karena tertarik untuk hidup mandiri dan jauh dari rumah. Dan melihat masa depan sebagai imam adalah masa depan yang mengasyikkan,” kata Reza yang sekarang bekerja sebagai pengacara.
Dalam agama Katolik, menjadi Pastor berarti harus hidup dalam kesederhanaan, ketaatan dalam Tuhan, dan selibat, yaitu menyerahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan. Maka dari itu, penyerahan diri ini bukanlah suatu tindakan mudah.
Bukan hanya dibutuhan keputusan bulat, iman pun harus kuat. Bahkan dalam menjalani pendidikan sampai menjadi Pastor, pastinya ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Bagi Bekti sendiri, tantangan terbesarnya adalah gaya hidup zaman sekarang. Pasalnya, memenuhi tiga prinsip hidup di jalan Tuhan tidaklah mudah pada masa sekarang.
“Untuk tantangan yang dihadapi pada zaman sekarang, itu terlebih kalo yang saya rasakan sekarang adalah, bagaimana mensiasati gaya hidup zaman sekarang. Karena menjadi Pastor, menjadi Frater, itu sebenarnya bukan sebagai cita-cita, bukan sebagai pekerjaan, bukan sebagai jenjang karir, tetapi menjadi Frater, menjadi Pastor, itu adalah pilihan hidup yang mengikrarkan (diri pada) tiga janji, kesederhanaan, ketaatan, dan kemurnian (selibat),” ucap Bekti.
Sementara bagi Reza, ketika ia menjadi siswa di Seminari, ia merasa bahwa tantangan itu datang dari gaya hidup pendidikan Seminari yang sangat teratur. Gaya hidup tersebut membuat dirinya merasa bosan. Selain itu, gairah seksualitas yang berkembang di masa puber juga menjadi tantangan yang cukup berat.
“Tantangan yang dihadapi bermacam-macam, mulai dari pola hidup yang teratur, mulai dari bangun sampai tidur semua terjadwal dengan jelas. Kegiatan yang berulang-ulang hingga muncul perasaan bosan, keinginan untuk hidup bebas di luar tanpa ada jadwal dan rutinitas yang mengikat, dan tentu saja yang paling berat adalah gairah seksualitas pada usia puber tersebut,” ungkap Reza. Karenanya, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ini.
Sebagai sebuah pilihan hidup, terlebih mengambil keputusan besar di usia yang cukup muda, menempuh pendidikan untuk nantinya menjadi Pastor memunculkan ragam respon dari keluarga. Untuk Bekti sendiri, keluarga cukup mendukung keputusannya. Meskipun berat di awal, namun ia merasakan dukungan tersebut tetap mengalir dari keluarga.
“Tanggapan keluarga, ya, mereka mungkin, ini dalam benak saya baru-baru ini, mungkin mereka agak berat, karena saya ini anak terakhir dan anak laki satu-satunya. Maka ketika masuk ke Seminari, mungkin secara kelihatan, secara nampak, mereka sungguh mendukung, tetapi ya pasti ada rasa, mungkin berat ya, karena saya harus meninggalkan rumah. Tetapi pada prinsipnya, untuk menjadi imamnya, tetap didukung, tetap diberikan keleluasaan, tanpa dipaksakan,” tutur Bekti.
Sama-sama menjadi anak laki satu-satunya di keluarga, Reza juga mengungkapkan kalau keluarganya sempat merasa keberatan dengan keputusannya di awal. Namun, akhirnya mereka dapat menerima keputusan Reza. Yang menarik, ketika dukungan penuh telah diraih, ia justru memilih tidak melanjutkan pendidikan tersebut. Keluarga yang sebelumnya keberatan, malah kemudian merasa lebih berat hati dengan keputusannya untuk tidak melanjutkan pendidikannya menjadi Pastor ke jenjang selanjutnya. Hal itu disebabkan keluarga yakin jika menjadi Imam adalah panggilannya. Tapi pada akhirnya, apapun keputusannya tetap didukung keluarga.
“Ketika memutuskan untuk keluar tentu ada hambatan, sama seperti awal masuk Seminari ada juga hambatan terutama dari keluarga. Saat mau masuk, mereka keberatan karena berpikir anak laki-laki satu-satunya tidak dapat meneruskan keturunan keluarganya. Namun saat mereka mulai dapat menerima kenyataan tersebut, mereka malah mendapatkan kabar dari saya kalau saya mau keluar. Tentu mereka keberatan karena mereka sudah yakin untuk saya menjadi Imam. Pada akhirnya, mereka membebaskan pilihan saya,” Tutur Reza.
Tekadnya yang keras untuk menjadi pelayan Tuhan membuat Bekti sekarang biasa dipanggil Frater Bekti. Ia pun sedang menempuh pendidikan Master Teologia. Sedangkan Reza yang sempat menempuh pendidikan Seminari ketika SMA, memilih untuk melanjutkan pendidikan di bidang hukum pada 2010 lalu.
Bertahan untuk melayani Tuhan dengan sepenuh jiwa dan raga pastinya bukan keputusan mudah. Hal ini juga enggak lepas dari latar belakang dan dukungan keluarga. Seperti yang dikatakan Bekti di awal, keinginanya menjadi seorang Pastor nantinya tak lepas dari pengaruh keluarganya yang terus aktif di gereja dan akhirnya ia bisa melihat Pastor sebagai figur teladan.
Sementara bagi Reza, menjadi Pastor atau tidak terpengaruh dari adanya faktor panggilan untuk melayani Tuhan. Lebih lagi, perbedaan lingkungan, sikap, dan prinsip hidup pun melatari keputusannya untuk berhenti.
“Memilih keluar dengan pertimbangan matang, karena akan menempuh hidup baru dengan lingkungan baru yang berbeda…tapi alasan terbesarnya adalah saya merasa jalan hidup panggilan Imamat bukanlah jalan hidup saya, karena melihat perbedaan lingkungan yang dirasa tidak berkesesuaian dengan sikap dan prinsip hidup saya,” tutup Reza.