Isu Terkini

13 Tahun Pasca MoU Helsinki: Tantangan Menuju Pemerintahan Aceh yang Bebas Korupsi

Ahmad Fanani — Asumsi.co

featured image

“Saya hanya mau memberi pernyataan bahwa sebetulnya damainya Aceh dengan NKRI, saham saya besar di situ. Saya ikut mendamaikan, ikut mengumpulkan senjata, ikut berunding, dan akhirnya kayak sekarang”

Pernyataan di atas diungkapkan oleh Irwandi Yusuf sesaat setelah Gubernur Aceh tersebut terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus korupsi Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun Anggaran 2018 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (6 Juli). Dalam kesempatan itu, ia menceritakan jasa-jasanya dalam proses perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Singkat cerita pada perundingan damai berlangsung, disepakatilah Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang kemudian menghasilkan rekomendasi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.

Akan tetapi dalam artikel ini saya tidak bermaksud akan membela Irwandi Yusuf karena jasa-jasanya sebelum ia terkena OTT KPK. Justru sebaliknya saya ingin memberikan analisa kepada pembaca terkait potret masih gelapnya kondisi demokrasi di Aceh, terutama dalam hal pemerintahan yang bebas korupsi, beberapa belas tahun pasca rakyat Aceh mengalami konflik perang berdarah seperti yang telah diceritakan oleh Irwandi Yusuf di atas.

Sejak tahun 2005, tepatnya pasca perundingan damai, Aceh masih mengalami proses transisi demokrasi menuju Good Government. Pahitnya, proses transisi tersebut masih diselimuti oleh perilaku politik kekerasan yang korup oleh para pemain politik lokal. Entah karena nuansa kebatinan pasca konflik perang yang masih kuat atau karena juga alasan lain, tapi yang pasti politik kekerasan yang korup di Aceh masih menjadi fakta di lapangan.

Hal ini dapat kita lihat dari catatan KontraS yang menyatakan bahwa selama tahun 2005 hingga 2011 masih terjadi praktik kekerasan dominan di Aceh seperti penembakan, pembunuhan, dan pengeboman. Angka kekerasan paling tinggi terjadi di tahun 2009 dengan jumlah 25 kasus kekerasan. Sejumlah peristiwa tersebut terjadi pada masa kampanye partai-partai menjelang pemilihan umum (pemilu). Pada Pemilu Kepala Daerah di Aceh tahun 2006 dan Pemilihan Legislatif (Pileg) tahun 2009 dan 2014 masih dominan diwarnai berbagai tindak kekerasan. The Aceh Institute merekam pada Pileg 2014 terjadi 37 kasus terkait tindak pidana pemilu dan tindak pidana kekerasan pemilu.

Daftar catatan hitam demokrasi di Aceh juga termasuk tingginya kasus korupsi yang melibatkan elit politik Aceh. Masyarakat Transparan Aceh (MaTA) mencatat ada 15 kasus korupsi sepanjang semester I tahun 2018 di Aceh yang sedang dalam proses penyidikan Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Jumlah ini termasuk juga kasus korupsi dana Otsus yang menyeret Irwandi Yusuf. Selama kurun waktu 2017 dan semester I 2018, tercatat total kerugian negara mencapai 349,9 Miliar atau setara dengan 4.374 unit rumah sederhana untuk warga miskin.

KKR Aceh sebagai Pilar Demokrasi

Namun, di tengah kondisi masih gelapnya demokrasi di Aceh, ada harapan dari rakyat Aceh untuk menjadikan Aceh lebih baik lagi lewat MoU Helsinki. MoU ini salah satunya menghasilkan rekomendasi pembentukan KKR Aceh. KKR Aceh merupakan lembaga yang memiliki mandat untuk merumuskan dan menentukan rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran atas permasalahan pelanggaran HAM masa lalu di Aceh. Pada 24 Oktober 2016 KKR Aceh terbentuk dengan 7 (tujuh) komisioner dalam masa jabatan 5 (lima) tahun lewat mandat Qanun Aceh No 17/2013 tentang KKR Aceh.

KKR sendiri telah menjadi sebuah trend global dalam 40 tahun terakhir di berbagai belahan dunia. Jika dilihat dari beberapa pengalaman di negara-negara Amerika Latin maupun di Afrika, komisi ini bertujuan untuk mengungkap kebenaran atas kejahatan dalam sebuah rezim penguasa yang korup dan melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga negaranya.

Menurut Rhona K.M. Smith, dkk (Pusham UII, 2010) kesadaran akan pentingnya menuntaskan pelanggaran berat di masa lalu diyakini merupakan jalan menuju demokrasi dan KKR merupakan fenomena yang timbul di era transisi politik dari suatu rezim otoriter yang pro kekerasan ke rezim yang menjunjung tinggi demokrasi, bersih, dan bersandar pada rule of law.

Selain itu, menurut pakar politik J. Kristiadi, jaminan atas HAM, equality before the law, dan due process of law merupakan beberapa dari sepuluh prinsip utama pilar demokrasi. Karenanya, KKR Aceh boleh jadi termasuk salah satu dari pilar demokrasi di Aceh. Tentunya KKR Aceh bisa menjadi harapan untuk membersihkan cara politik yang cenderung korup di sistem pemerintahan Aceh, sehingga fenomena seperti korupsi Irwandi Yusuf dapat dicegah.

Irwandi Yusuf juga pernah memberikan sambutan dalam acara KKR Aceh sebagai berikut;

“there is no peace without justice. Rekonsiliasi sangat diperlukan untuk membangun masa depan bangsa dan negara yang demokratis. Tanpa adanya program rekonsiliasi yang efektif, proses perdamaian akan rapuh. Oleh sebab itu dukungan bagi kerja-kerja pengungkapan kebenaran harus kita berikan.”

Tantangan KKR Aceh

Meskipun demikian, KKR Aceh sendiri masih banyak menghadapi tantangan baik di tingkat internal maupun eksternal. Adapun beberapa tantangan itu di antaranya adalah Pertama, masih belum ada dukungan yang kongkret dari pemerintah Aceh baik berupa dukungan operasional, infrastruktur, dan dukungan koordinasi di antara KKR Aceh dengan Pemerintah Daerah dan DPRD Aceh. Kedua, KKR Aceh harus bekerja keras meyakinkan publik, tidak hanya publik Aceh namun juga publik Indonesia bahwa mekanisme ini dapat mengakhiri permasalahan HAM dan pemberian keadilan.

Ketiga, Pemerintah Indonesia juga harus bisa melihat keberadaan KKR Aceh sebagai komitmen untuk menjawab pelaksanaan isi dari MoU Helsinki, karena Pemerintah Pusat sendiri masih minim support. Hal ini dapat kita lihat dari sikap Mendagri pada masa Gamawan Fauzi yang pernah menyatakan melalui Surat Klarifikasi Nomor 188.34/1656/SJ tentang Klarifikasi Atas Qanun Aceh Nomor 17 Tahun 2003 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh bahwa terdapat substansi di dalam Qanun KKR Aceh yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, masih menurut Gamawan, alasan yang paling utama adalah tidak mempunyai dasar hukum pendelegasian (payung hukum).

Dengan adanya ketiga tantangan ini, maka upaya pembentukan KKR Aceh dalam membantu mewujudkan good government di Negeri Serambi Mekkah itu masih menemui jalan terjal. Sebelum seluruh lapisan pemerintah dari lokal hingga nasional berkomitmen untuk menjalankan berbagai fungsi dari KKR tersebut, maka jangan heran jika Irwandi Yusuf-Irwandi Yusuf yang lain akan muncul dan ikut memenuhi rutan KPK.

Penulis bernama Ahmad Fanani Rosyidi adalah seorang Pegiat Hak Asasi Manusia, beliau sekarang menjabat sebagai Ketua Bidang HAM HMI Badko Jabodetabeka Banten dan juga tergabung di SETARA Institute.

Share: 13 Tahun Pasca MoU Helsinki: Tantangan Menuju Pemerintahan Aceh yang Bebas Korupsi