Isu Terkini

Perang Dagang AS-Tiongkok, Apa Efeknya Untuk Indonesia?

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Saat ini, kita sedang menyaksikan babak baru hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok. Babak baru ini, secara khusus dikenal dengan istilah perang dagang. Maksud perang di sini tentu bukanlah perang yang terbuka dengan kedua negara saling melakukan baku tembak. Di sini, perang dagang dapat dipahami sebagai kondisi ketika negara A menerapkan tarif atau kuota pada impor dari negara X dan negara X pun melakukan tindakan proteksi yang sama terhadap impor dari negara A. Di dunia yang tidak terglobalisasi, mungkin kondisi ini hanya akan menimbulkan permasalahan terkait impor dan ekspor di negara-negara yang terlibat. Namun faktanya, dunia yang terglobalisasi membuat perang dagang ini memiliki imbas berskala global.

Negara-negara yang melakukan penerapan tarif biasanya menggunakan justifikasi untuk menjaga industri domestik dan meningkatkan jumlah lapangan pekerjaan di dalam negeri. Namun permasalahannya, perang dagang pun dapat menciptakan permasalahan ekonomi. Kejenuhan ekonomi domestik yang diakibatkan dari kebijakan proteksionis dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Perang dagang pun dapat memicu inflasi, karena tarif yang dikenakan pada barang impor tentunya meningkatkan harga barang-barang tersebut.

Perang Dagang Amerika Serikat – Tiongkok

Trump bertemu dengan Xi Jinping. sumber: www.share.america.gov

Trump, melalui retorika ‘Make America Great Again’ dan ‘America First’, memberikan gambaran bahwa kebijakan proteksionis yang dicanangkannya akan memberikan kemakmuran untuk masyarakat Amerika Serikat (AS). Dalam konteks perdagangan dengan Tiongkok, kebijakan proteksionis AS dimulai ketika Trump, di bulan Maret 2018, menandatangani tarif untuk barang impor baja dan aluminium, yang salah satunya dari Tiongkok. Selain itu, AS pun merasa bahwa Tiongkok telah melakukan pelanggaran hak cipta dan melakukan perdagangan yang tidak fair terhadap AS. Hal ini dibalas oleh Tiongkok dengan menerapkan tarif impor untuk total $3 miliar barang impor AS. Dengan tindakan kedua negara ini, perang dagang pun seolah dimulai.

Kelanjutan dari tindakan proteksionis kedua negara pun berlangsung dinamis. Kondisi memanas ketika Amerika Serikat melarang perusahaan Tiongkok, ZTE, untuk membeli teknologi AS selama tujuh tahun. Tiongkok pun membalasnya dengan menerapkan kebijakan anti-dumping untuk tanaman Sorgum. Tak lama berselang, AS dan Tiongkok pun melakukan dialog untuk menyelesaikan hal ini.

Di bulan Mei 2018, pernyataan bersama dilakukan oleh AS-Tiongkok. Hal ini pun meredakan situasi, meski hanya untuk sementara waktu. Trump merasa bahwa pernyataan bersama tersebut harus ada yang dirubah. Dari saat itu, perang kata-kata dan kebijakan tarif impor masih terus terjadi antara AS dan Tiongkok. Meskipun ada beberapa pertemuan lanjutan, kedua negara tetap saja bersikukuh untuk menerapkan tarif impor dan memanaskan situasi. Salah satu yang terbaru adalah AS menerapkan tarif impor pada  $34 miliar barang Tiongkok. Hal ini pun langsung dibalas oleh Tiongkok dengan menerapkan tarif impor pada barang-barang AS, termasuk kacang kedelai dan kendaraan.

Dinamika hubungan AS-Tiongkok di atas tentunya menggambarkan bahwa adanya ‘perang’ yang berlangsung dengan jelas. Lalu, apa ya imbasnya untuk Indonesia?

Imbas Perang Dagang AS – Tiongkok untuk Indonesia

Untuk Indonesia sendiri, perang dagang AS–Tiongkok sendiri belum memberikan dampak masif. Beberapa dampak yang terasa seperti mata uang yang melemah, tidak hanya berdampak pada Indonesia, tetapi juga pada mata uang negara lain. Namun ‘belum’ bukan berarti ‘tidak akan’.

Di bulan April, AS memulai kajian ulang terhadap Generalised System of Preferences (GSP) atau insentif bebas tarif bea masuk untuk produk tertentu dari Indonesia. Hasil dari kajian ini lah yang menentukan apakah AS akan menerapkan tarif impor untuk Indonesia atau tidak. Eko Listiyanto, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan bahwa hubungan dagang Indonesia–AS bersifat komplementer. Sehingga, seharusnya AS tidak mengalami kerugian dan tidak menerapkan tarif impor yang dapat merugikan negaranya sendiri. Selain itu, Indonesia pun bukan mitra dagang utama AS, sehingga seharusnya AS tidak merasakan defisit perdagangan yang besar. Jika memang benar terjadi pun, Indonesia seharusnya siap untuk beradaptasi, karena memang barang impor Indonesia dari AS dapat disubstitusi dari beberapa negara lain.

Jadi, untuk melihat posisi Indonesia terkait perang dagang AS–Tiongkok, penting untuk melihat kesuksesan kebijakan yang diambil AS kepada Tiongkok terlebih dahulu. Posisi Indonesia yang saat ini hanya sebatas penonton tentu dapat berubah tergantung dari kesuksesan AS dalam menerapkan tarif impor pada Tiongkok. Jika kebijakan tarif impor ini sukses, AS tentunya tidak akan segan-segan menerapkan kebijakan tarif impor yang sama, dengan berharap kesuksesan yang sama pula. Apalagi jika kajian ulang terhadap GSP Indonesia menunjukkan adanya defisit dagang yang besar terhadap Indonesia. Namun, jika kebijakan tarif impor barang Tiongkok tersebut malah menghambat perekonomian AS, ditambah GSP Indonesia di AS tidak memiliki defisit yang besar, tentu AS akan mengurungkan niatnya tersebut. Maka dari itu, mari kita tunggu kelanjutan dari dinamika perdagangan global ini.

Share: Perang Dagang AS-Tiongkok, Apa Efeknya Untuk Indonesia?