Baru-baru ini kereta api ringan atau yang lebih dikenal dengan Light Rail Transit (LRT) sering jadi bahan perdebatan para politisi. Mulai dari Ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto yang bilang kalau nilai proyek LRT terlalu mahal. Ada lagi, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang ngomong kalau tiang LRT terlalu tinggi, dan menjadi penyebab mahalnya proyek pembangunan LRT.
“Kenapa bikin LRT tiangnya tinggi-tinggi, ya kan. Bikin saja LRT di bawah tanah. Supaya enggak perlu ada biaya tiang. Tiangnya tinggi-tinggi, mahal banget itu,” kata Fahri Hamzah pada media di DPR RI Senayan, Jakarta, Senin, 25 Juni 2018.
Ya, akhi. Kalau tiangnya pendek namanya jemuran… pic.twitter.com/uATjmTE1hl— Eko Kuntadhi (@eko_kuntadhi) June 25, 2018
Bahkan, kritikan dan tuduhan tentang adanya mark up pada proyek LRT langsung didengar oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan langsung ditangkis tudingannya.
“Suruh dia hitung, bawa ke sini. Saya cium kakinya kalau saya salah,” kata Luhut dengan nada menantang di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Jakarta, Senin, 25 Juni 2018.
Luhut juga bilang, kalau pembangunan LRT yang ada di Indonesia ini menggunakan model standar dari Prancis, dan udah penuhi standar internasional, dan semuanya udah diperhitungkan.
Nah, daripada saling berdebat. Mending, kita simak aja yuk hal-hal apa aja yang perlu kamu tahu tentang LRT.
Pembangunan LRT di Jakarta dan Palembang emang dianggap menjadi salah satu transportasi alternatif di perkotaan. Kereta Api Ringan ini ditargetkan agar menjadi salah satu gaya hidup masyarakat Indonesia, selain itu diharapkan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kemacetan yang ada di tengah-tengah kota.
Presiden Joko Widodo sendiri udah mulai mencanangkan proyek itu dengan menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) terkait percepatan proyek LRT sejak 2 September 2015. Di mana payung hukum pertama yang dikeluarkan yaitu Perpres No. 98 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Ringan/Light Rail Transit (LRT) terintegrasi di Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi.
Proyek LRT yang dibangun di Jakarta ini digarap oleh PT Adhi Karya (Persero) Tbk, yang dimulai dari jalur Cibubur-Cawang. Kemudian baru dilanjutkan pada rute Cawang-Dukuh Atas, Cawang-Bekasi Timur, dan tahap kedua dari lintasan Dukuh Atas-Palmerah-Senayan, Cibubur-Bogor, dan Palmerah-Grogol.
Sedangkan untuk proyek LRT di Palembang, Sumatera Selatan digarap oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Waskita mulai membangun LRT sepanjang 23,40 km dari Bandara Sultan Mahmud Badarudin II Kota Palembang sampai Kawasan OPI/Ogan Permata Indah Kabupaten Banyuasin, hingga melintas di atas Sungai Musi.
Berbeda dengan di Jakarta, pembangunan LRT di Palembang udah selesai diuji coba dan mulai beroperasi pada pertengahan Juli 2018. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bilang kalau LRT DKI Jakarta emang baru bisa rampung tahun 2019 mendatang. Hal itu terjadi karena jalur di Jakarta lebih panjang daripada di Palembang.
PT Jakarta Propertindo (Jakpro) sendiri pakai kereta yang diproduksi dari perusahaan Hyundai Roterm di Changwon, Korea Selatan untuk proyek LRT Jakarta fase I koridor I Kelapa Gading-Velodrome. Alasan pemilihan produksi kereta LRT dari Korsel, kata Direktur PT Jakpro Satya Heragandhi, karena perusahaan itu bisa diandalkan untuk mengejar target pengoperasian di bulan Agustus.
Karena, volume pembelian dalam satu batch itu minimal 16 kereta atau 8 trainset, dan hal itu enggak bisa dipenuhi produsen dalam negeri. Makanya, pembuatan kereta LRT Jakarta pun jatuh kepada perusahaan asal Korsel Hyundai Roterm.
LRT di Jakarta yang diproduksi oleh Hyundai Roterm sendiri udah berhasil jadi salah satu produksi kereta LRT yang tercepat di dunia, karena mereka bisa menyelesaikan pemesanan dalam kurun waktu satu tahun aja. Padahal, biasanya, waktu pembuatan LRT itu, kata Satya, berkisar hingga 28 bulan.
Enggak cuma bisa selesai dengan waktu yang cepat, tapi LRT milik Korsel itu juga punya sistem seperti kereta Amsterdam Metro di Belanda, karena metronya akan menggunakan lintasan standard gauge dan dioperasikan dengan rel listrik ketiga berdaya 750 V DC. Untuk total berat kereta LRT Jakarta per trainset mencapai sekitar 35 ton.
Buat masalah tiang yang tinggi, Kepala Badan Pengelola Trasportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono ngejelasin kalau sebelum pembangunan LRT di Jakarta maupun Palembang dimulai, udah ada studi yang dilakukan konsultan independen.
Bambang pun menerangkan, kalau pembangunan LRT dilakukan melayang di atas tiang pancang yang tinggi karena keberadaan infrastruktur yang dibangun lebih dulu, seperti jembatan penyeberangan.
Nah, kalau penjelasan dari Deputi III Bidang Koordinasi Infrastruktur Kemenko Kemaritiman Ridwan Djamaluddin, pembangunan LRT emang sengaja dibuat melayang, dengan maksud agar enggak menambah perlintasan di tanah yang justru malah ngebuat kemacetan baru. Selain itu, pembangunan kereta bawah tanah yang diusulkan Fahri Hamzah agar lebih murah, itu juga langsung disanggah.
“(Underground) malah lebih mahal. Kan harus digali, ada kabel, saluran air macam-macam. Jadi dari biaya lebih mahal. Selain biaya, sama masalahnya seperti membangun MRT, informasi bawah permukaan kita kurang lengkap, mesti disurvei,” ujarnya.